Sang ibu kaget bukan main ketika anak pertamanya itu mengaku habis dihajar ramai-ramai oleh beberapa siswa pada siang bolong di madrasah tempatnya bersekolah. Empat hari kemudian, anak itu akhirnya meninggal.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Pengakuan BT (13) tentang dirinya yang baru saja dipukuli beramai-ramai oleh siswa di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 1 Kotamobagu, Sulawesi Utara, Rabu (8/6/2022), mengejutkan FM (34), sang ibu. Sempat dirawat di rumah sakit, BT akhirnya tak tertolong.
BT tak langsung mengadu kepada orangtuanya setelah kejadian. Hanya saja, gejala fisiknya tak bisa disembunyikan. Pada Kamis (9/6/2022), sepulang sekolah, ia sakit perut dan muntah-muntah. Sang ibu mengira itu hanya karena asam lambung naik. Namun, pada Sabtu (11/6/2022), perut BT menggembung seolah tak bisa menyerap air yang ia minum.
Pengamatan ultrasonografi (USG) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kotamobagu menunjukkan adanya obstruksi atau sumbatan usus sehingga makanan tak bisa dicerna. Sekitar 30 sentimeter dari bagian ususnya rusak dan menghitam sehingga harus diangkat.
Siswa kelas tujuh itu langsung dirujuk ke RSUP Kandou, Manado, 174 kilometer dari Kotamobagu. Hasil rontgen abdomen mengindikasikan ada trauma akibat pukulan benda tumpul. Dokter pun segera mengendus ketidakwajaran.
Namun, BT terus merahasiakan apa yang ia alami. Sebagai anak yang nyaris tak pernah terlibat masalah, ia takut dimarahi ibu dan ayahnya, KT (41). Baru pada Sabtu malam, akhirnya ia mengungkapkan insiden yang menimpanya. Kepada dokter, ia juga mengaku sempat muntah dan kencing berdarah setelah dihajar beberapa siswa itu.
”Siapa saja yang pukul kamu?” tanya FM mendesak. Bocah malang itu mengaku tidak tahu karena ada seseorang yang menutupi matanya dari belakang saat ia dipukuli di bagian perut dan kelaminnya oleh beberapa siswa. Namun, ia sempat melihat ada seorang temannya yang kebetulan lewat.
Sang ibu segera mengadukan keadaan BT kepada Jusna Husein, wali kelasnya, malam itu juga. Sementara itu, salah satu paman BT yang tetap tinggal di Kotamobagu segera melapor ke kepolisian.
Keesokan harinya, BT menjalani operasi pengangkatan 30 cm ususnya. Meski demikian, setelah itu kondisinya terus memburuk. Sekitar pukul 11.00 Wita, ia meninggal. FM, yang senantiasa berada di samping BT sejak awal, tak kuasa membendung dukanya. Ia jatuh terduduk dan menangis tersedu-sedu.
Malam hari setelah kematian BT, Satuan Reserse Kriminal Polres Kotamobagu memanggil sembilan siswa MTsN 1 Kotamobagu untuk diperiksa. Mereka adalah anak-anak yang diduga terlibat menganiaya almarhum. Penyidikan masih terus dilakukan.
”Harapan kami, semoga pelakunya diberi hukuman setimpal. Pokoknya sesuai peraturan perundang-undangan,” kata KT saat ditemui dirumahnya di Desa Kopandakan 1, Kotamobagu Selatan, Kamis (16/6/2022) pagi.
”Tidak apa-apa kalau anak-anak itu masuk penjara. Orangtuanya masih bisa tengok mereka di sana. Kalau kami tidak bisa, anak kami sudah tidak ada lagi,” kata FM.
Keduanya tidak hanya sedih, tetapi juga sangat kecewa. Tak pernah mereka sangka, dugaan penganiayaan yang diceritakan BT itu terjadi di dalam area sekolah sebergengsi MTsN 1 Kotamobagu pada siang bolong selepas ujian.
Pasangan yang berduka itu lebih meradang setelah kepala madrasah itu, Intan Safitri Mokodompit, mengatakan tidak terjadi apa-apa di lingkungan sekolah. Terlebih hal itu disampaikan ketika sedang melayat jenazah BT. Alhasil, para pelayat mengusir rombongan guru.
”Kami melapor ke polisi karena ada pengakuan anak saya, bukan karena kami mengada-ada. Hasil rontgen dan USG juga membuktikan. Lagi pula anak saya tak pernah punya riwayat sakit parah,” ujar FM.
Penyidikan
Pada Kamis pagi, Intan hadir di lapangan MTsN 1 Kotamobagu. Sekitar 07.30 Wita, ia naik ke podium di depan barisan para siswa.
”Kejadian kemarin itu harus jadi pelajaran. Anak-anak yang laki-laki, bercandanya jangan berlebihan. Yang perempuan juga. Kalau ada teman yang mengganggu atau memukul, biarpun tidak sakit, harus langsung bilang ke guru, bilang ke wali kelas,” katanya.
Pada penutup pidato singkatnya, ia meminta para siswa menitipkan salamnya kepada orangtua mereka. Rupanya, Intan telah dipindahtugaskan ke madrasah lain sampai proses hukum terhadap beberapa siswanya tuntas.
”Saat ini masih dalam penyidikan kepolisian. Ada anak-anak yang masih dimintai keterangan. Kalau mau tahu kronologinya, silakan hubungi kepolisian,” kata Intan saat ditanya tentang insiden perundungan itu.
Polisi telah memeriksa 14 siswa dan empat tenaga pendidik madrasah itu sebagai saksi. Kepala Polres Kotamobagu Ajun Komisaris Besar Irham Halid mengatakan, pihaknya mulai mengidentifikasi beberapa anak yang ikut menganiaya BT pada Rabu siang itu.
Kami juga sudah tugaskan pekerja sosial untuk mendampingi mereka. Ada juga pengacara dan psikolog klinis anak. (Susilawaty Glilaom)
Meski begitu, pengungkapan kasus ini tidaklah mudah. Pertama, tidak ada rekaman kamera pemantau (CCTV) untuk menjustifikasi pernyataan korban dan Intan soal ada tidaknya penganiayaan.
Kedua, kepolisian baru bisa menetapkan tersangka jika hasil otopsi terhadap sampel tubuh korban sudah selesai. Sampel-sampel itu harus dikirim ke Makassar, Sulawesi Selatan, karena tidak ada laboratorium forensik kepolisian di Sulut.
”Paling cepat dua minggu sejak tanggal 12 (Minggu), itu pun bisa lebih lama lagi,” ujarnya.
Saat dimintai keterangan, beberapa anak sempat ketakutan, tetapi akhirnya mereka mau membeberkan apa adanya. ”Kami berusaha semaksimal mungkin supaya mereka tidak sampai trauma. Jadi, untuk sementara, hasil penyidikan tidak bisa disampaikan ke publik,” katanya.
Sesuai sistem peradilan pidana anak, mereka didampingi orangtua masing-masing, Unit Pelaksana Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kotamobagu, serta Badan Pemasyarakatan (Bapas) Manado. Mereka diperiksa di rumah aman yang tak terjangkau publik demi melindungi identitas mereka.
Kepala UPTD PPA Kotamobagu Susilawaty Glilalom mengatakan, pihaknya sudah menjamin anak-anak tersebut aman dari sorotan publik dengan menyediakan rumah aman untuk pemeriksaan. ”Kami juga sudah tugaskan pekerja sosial untuk mendampingi mereka. Ada juga pengacara dan psikolog klinis anak,” katanya.
Namun, kini foto sembilan anak yang pertama kali dipanggil kepolisian telah tersebar di dunia maya. Ini meresahkan Irham yang sejak awal berhati-hati menangani kasus itu. Ia pun mempertimbangkan tindakan hukum untuk membuat jera penyebar identitas para saksi anak.
”Kalau seperti ini caranya, apa bedanya dengan para perundung?” kata Irham sembari menghela napas panjang.