Penuhi Hak untuk Berkembang dan Akses Pekerjaan bagi Teman Tuli
Jumlah teman tuli di Aceh lebih dari 1.000 orang. Tidak semua dari mereka mendapatkan hak pendidikan yang layak. Sebagian bahkan tidak bisa berbahasa isyarat.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional 2022, komunitas teman tuli atau tunarungu di Aceh mengampanyekan kesetaraan. Mereka berharap publik tidak menstigma teman tuli sebagai masyarakat kelas dua. Mereka juga mendesak pemerintah memberikan perlindungan dan pemenuhan hak bagi penyandang tunarungu/tuli, seperti hak untuk berkembang dan hak mengakses pekerjaan.
Ratusan anggota Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Aceh, Minggu (25/9/2022), melakukan pawai di sepanjang jalan protokol Kota Banda Aceh. Adapun Hari Bahasa Isyarat Internasional jatuh setiap 23 September.
Mereka membawa spanduk berisi kampanye Hari Bahasa Isyarat Internasional. Mereka juga mengenakan kaus bertuliskan simbol-simbol huruf yang digunakan dalam bahasa isyarat.
Ketua Gerkatin Aceh Mubaraq menuturkan, sebagai manusia ciptaan Tuhan, teman tuli setara dengan teman dengar. Namun, stigma terhadap teman tuli sebagai kelompok minoritas masih ditemukan. Mereka diperolok oleh teman dengar dan tidak diberikan kesempatan untuk berkembang.
”Kita semua setara. Saya berharap bahasa isyarat membuat kita saling memahami satu sama lain,” kata Mubaraq.
Saat wawancara dengan Kompas, Mubaraq didampingi oleh juru bahasa isyarat. Persoalan lain, di Aceh, juru bahasa isyarat juga sangat sedikit.
Gerkatin Aceh merupakan wadah bagi teman tuli untuk saling belajar dan memperjuangkan hak. Di Aceh, diperkirakan jumlah teman tuli lebih dari 1.000 orang.
Di antara para teman tuli, tidak semua mendapatkan hak pendidikan yang layak. Ada faktor penghambat dari keluarga dan lingkungan.
Penghambat dari dalam keluarga misalnya memandang tidak perlu memberikan akses pendidikan yang tinggi bagi anggota keluarga yang mengalami tunarungu/tuli. Selain itu ,ada keraguan terhadap kemampuan tunarungu untuk mandiri. Kondisi ekonomi keluarga yang lemah juga membuat pendidikan bagi tunarungu dinomorduakan.
Sementara faktor penghambat dari luar adalah tidak tersedianya fasilitas pendidikan yang representatif bagi teman tuli. Di perkotaan, fasilitas pendidikan bagi teman tuli lebih baik daripada di perdesaan.
”Hanya sedikit teman tuli mendapatkan pendidikan yang bagus. Sebagian teman tuli tidak bisa berbahasa isyarat,” ujar Mubaraq.
Acara pemerintah dan kegiatan publik di Aceh sangat jarang melibatkan teman tuli. Siaran berita televisi lokal juga nyaris tidak ada yang menampilkan bahasa isyarat.
Terdapat sekitar 300 jenis bahasa isyarat di dunia. Di Indonesia, terdapat dua jenis yang digunakan, yakni Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (Sibi) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo).
Mubaraq mengatakan, teman tuli kesulitan memperoleh pekerjaan yang layak, terutama di sektor formal. Pada instansi pemerintah sangat jarang ditemukan teman tuli menjadi karyawan atau staf. Pada umumnya teman tuli bekerja di sektor informal.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Aceh Isnandar menuturkan, perlindungan dan pemenuhan hak bagi teman disabilitas bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan semua pihak.
Pemerintah melalui dinas sosial, balai latihan kerja, dan lainnya rutin mengadakan pelatihan keterampilan bagi penyandang disabilitas. ”Bukan hanya untuk tunarungu, namun untuk disabilitas lain juga rutin diadakan pelatihan,” kata Isnandar.
Saat ini sedang berlangsung pelatihan menjahit bagi tunadaksa. Pelatihan keterampilan merupakan upaya meningkatkan taraf ekonomi penyandang disabilitas. Dengan adanya keterampilan, mereka dapat membuka usaha.
Sebelumnya, Dinas Sosial Banda Aceh dan Balai Latihan Kerja Banda Aceh melatih teman tuli sebagai barista. Kini, sebagian dari mereka telah dapat meracik kopi. Dinas Sosial Kota Banda Aceh membuka kedai kopi Hana Sue (tidak bersuara) dan mempekerjakan teman tuli.
Teman tuli di Banda Aceh, Tari Tiaralita Putri (25), adalah salah seorang peserta pelatihan barista yang kini bekerja di kedai kopi Hana Sue. Tari beruntung kini telah diangkat menjadi pegawai kontrak di Dinas Sosial Banda Aceh. Dia ditugaskan mengelola kedai kopi Hana Sue.
Meski demikian, Tari berharap suatu hari dapat membuka usaha kedai kopi sendiri. Dia sedang mengumpulkan modal untuk membeli gerobak dan mesin espreso.
Tari berharap semua teman tuli diberikan akses untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan peningkatan keterampilan.