Bajulmati menjadi salah satu titik konservasi penyu semialami di luar kawasan konservasi. Dari tempat ini, anak penyu kembali dilepasliarkan ke Samudra Hindia.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Sebanyak 105 tukik bergegas menuruni pasir pantai yang landai. Satu per satu tubuh mungil mereka kemudian lenyap ditelan gulungan ombak. Matahari yang lengser, Sabtu (17/9/2022) sore, itu pun menjadi saksi kembalinya fauna dilindungi itu ke samudra luas.
Ini merupakan pelepasliaran anak penyu lekang (Lepidochelys olivacea) kelima yang dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur bersama Bajulmati Sea Turtle Conservation (BSTC). Pelepasliaran dilakukan di Pantai Bajulmati, Desa Gajahrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Kegiatan yang diikuti sejumlah elemen, mulai dari masyarakat, kepolisian, perhutani, perguruan tinggi, hingga tokoh adat, ini hanya berselang satu bulan dari pelespaliaran serupa pada 18 Agustus lalu. Saat itu, sebanyak 175 tukik lekang dikembalikan ke laut dari titik yang sama.
Seperti pelepasliaran sebelumnya, tukik-tukik yang tengah diantar menuju kebebasan itu baru berumur sekitar 1 bulan. Mereka berasal dari telur penyu yang ditemukan di kawasan setempat. Oleh BSTC, telur yang berada di bawah pasir itu digali, dikumpulkan, dan pindahkan ke lokasi ke area yang lebih aman hingga menetas.
”Saat ini masih ada beberapa ekor tukik yang masih belum dirilis karena kondisi fisiknya belum siap. Sebelum dilepasliarkan, mereka disortir dulu mana yang sudah siap dan mana yang belum,” ujar Mahisa (25), salah satu sukarelawan dari Komunitas Sato.
Memastikan kesiapan mereka sebelum mengarungi lautan memang menjadi bagian penting dari proses konservasi. Pasalnya, di alam bebas, anakan penyu itu bakal mempertahankan hidup masing-masing dari ancaman berbagai predator.
Selama ini ada anggapan dari 1.000 tukik yang dilepasliarkan, hanya satu ekor yang akhirnya mampu bertahan hidup hingga dewasa. Sisanya tak mampu bertahan dan menyerah terhadap keganasan alam. Penyu yang bertahan hidup itu bakal kembali lagi ke titik tempat ia dilahirkan untuk regenerasi.
Selain tukik yang belum siap dilepasliarkan, saat ini di BSTC juga masih ada 400-an butir telur penyu yang masih dalam proses pengeraman. Telur itu merupakan hasil sitaan dari kasus penyelundupan di Banyuwangi dan Bali—yang kemudian oleh BBKSDA dititipkan ke BSTC.
Ketua Penggiat Konservasi BSTC Sutari mengatakan, ada sekitar 700 tukik telah dikembalikan ke laut selama tahun 2022. Mereka dilepaskan dalam lima tahap. BSTC sendiri mulai aktif mengonservasi penyu sejak 2009.
Upaya itu pun sempat menemui kendala. Seperti halnya kegiatan lain, upaya konservasi penyu juga terimbas pandemi yang baru mereda. ”Tahun ini paling sedikit tukik yang dilepasliarkan karena kemarin ada Covid-19. Selama pandemi, sebagian kami biarkan menetas sendiri,” ujarnya.
Selama ini Bajulmati (berjarak sekitar 70 kilometer dari Kota Malang) dan pantai lain di sekitarnya menjadi kawasan pendaratan penyu, khususnya jenis lekang. Lokasinya masih relatif terjaga. Sapari mengidentifikasi ada puluhan titik yang biasanya digunakan penyu bertelur.
Selain lekang, di kawasan pantai selatan Kabupaten Malang juga ada penyu jenis lain, seperti sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), bahkan penyu belimbing (Dermochelis coriaceae). Namun, untuk penyu hijau dan belimbing jarang ditemukan.
Saat musim penyu bertelur, setiap malam Sutari dan angota Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokwasmas) Pilar Harapan—yang ia pimpin—biasa berpatroli menyisir pantai. Begitu mendapati penyu mendarat, mereka langsung mengamankan telurnya.
Kalau penyu tidak ada, ikan juga tidak ada.
Begitu pula jika ada penyu bertelur di pantai lain—dan BSTC mendapat laporan—saat itu juga mereka bergegas menuju lokasi.Rata-rata penyu lekang bertelur pada bulan Maret sampai Agustus.
Penetasan telur penyu juga sangat bergantung pada cuaca. Dalam kondisi cuaca hangat 35-40 derajat celsius, telur itu bisa menetas dalam waktu 30-40 hari. Sementara jika cuaca lebih dingin, waktu penetasan akan lebih lama.
Sutari menyebut masalah kesadaran masih menjadi kendala yang dihadapi dalam upaya pelestarian penyu di wilayahnya. Dia menyebut wisatawan yang semakin masif acapkali belum memiliki kesadaran soal penyu. Mereka acapkali beraktivitas di atas sarang yang berisi telur sehingga menganggu proses penetasan.
”Misalnya, menyalakan api unggun di atas pasir yang ternyata sarang penyu. Ada juga yang menggunakan kendaraan segala medan (APV) sehingga melindas sarang,” ucap Sutari yang berprofesi sebagai nelayan itu.
Oleh karena itu, dalam setiap kegiatan konservasi, BSTC berupaya melibatkan banyak pihak. Langkah ini dilakukan sekaligus sebagai upaya sosialisasi. Pada pelepasliaran kali ini, misalnya, Sutari sengaja menggandeng tokoh adat setempat.
Salah satu tokoh adat setempat, Darto, mengatakan, pihaknya mendukung upaya pelestarian laut di pesisir selatan Kabupaten Malang. Selain ada kaitannya dengan mitos yang berkembang di masyarakat setempat, menurut Darto, konservasi penyu juga merupakan langkah nyata menjaga lingkungan.
Jika kelestarian alam terganggu, dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Mata penghidupan mereka yang mengandalkan pada hasil laut bisa terganggu. Ini tentunya tidak diinginkan oleh semua orang.
”Kalau penyu tidak ada, ikan juga tidak ada. Penyu makan ubur-ubur. Jika ubur-ubur banyak, sinar matahari tidak bisa menembus permukaan air sehingga perkembangan ikan juga akan terganggu. Dampaknya, warga akan kesulitan mendapatkan penghidupan,” ujarnya.
Kepala BBKSDA Jawa Timur Nur Patria Kurnia mengatakan, adanya kesadaran masyarakat dalam melakukan konservasi tidak hanya berpotensi menjaga keberadaan penyu, tetapi juga menambah populasinya. Mengingat tingkat keberhasilan regenerasi penyu cukup kecil, tidak semua tukik yang menetas mampu tumbuh menjadi dewasa.
Di Jawa Timur sendiri terdapat beberapa lokasi penangkaran semialami di luar kawasan konservasi, seperti di Banyuwangi, Blitar, dan Trenggalek. Adapun lokasi di kawasan konservasi yang sudah kerap menjadi tempat penetasan telur penyu, antara lain, ada di Ngaggelan di kawasan Taman Nasional Alas Purwo dan Sukamade di Taman Nasional Meru Betiri, keduanya di Banyuwangi.
”Ini (BSTC) penangkaran semialami. Jangan sampai telur yang ditinggalkan induknya ada yang diambil orang, terdampak wisata, atau dimakan satwa lain, maka harus ada campur tangan manusia. Kami sebagai pihak yang punya yuridiksi memberikan apresiasi terhadap apa yang dilakukan teman-teman di sini,” katanya.
Menurut Nur Patria, kegiatan konservasi penyu oleh masyarakat menjadi media edukasi bagi generasi muda akan pentingnya keberadaan satwa yang dilindungi itu sekaligus mereduksi upaya penangkapan satwa unik tersebut, termasuk aktivitas perburuan akan telur-telurnya.