Wajah Ironi di Kepingan Surga Suwarnabhumi
Muaro Jambi selama berabad-abad pernah menjadi ibu kota Melayu dan menjadi nadi kehidupan masyarakat. Kini, nasibnya jauh berbeda. Pusat peradaban itu tercemar akibat aktivitas pertambangan dan penebangan pohon.
Di bawah bulan purnama di tepi Sungai Batanghari, Nasaruddin Umar menyinggung betapa beruntungnya masyarakat di sepanjang sungai itu. Sebab, mereka menjadi para penghuni kepingan surga, yang juga dikenal sebagai jantung peradaban Melayu tua.
Peradaban itu diperlengkapi kekayaan alam melimpah. ”Bukan saja indah, tetapi melimpah luar biasa,” kata Imam Besar Masjid Istiqlal itu sewaktu menghadiri pembukaan Kenduri Suwarnabhumi di Jambi, Agustus 2022.
Mulai dari hutan-hutan nan rimbun di sekitar sungai, air sungai nan jernih, serta udara segar.
Belum lagi limpahan hasil buminya. Komoditas hutan dan kebun hingga hasil ekstraktif berupa emas, minyak bumi, dan batubara. Limpahan itu bagaikan kekayaan yang berlapis-lapis. Seluruhnya berada di tengah peradaban masyarakat di sepanjang sungai itu.
Kata-kata Nasaruddin seketika membawa ingatan Rahmi (62) mengalir ke masa lalunya. Sungai Batanghari, kenang Rahmi, memang pernah indah. Dulu, airnya sangat jernih. Pepohonan berbaris memesona, mengantar lekukan sungai hingga ke hilir.
Hingga 15 tahun silam, ia pun masih kerap mandi dan berenang-renang di sungai itu. Airnya digunakan memenuhi kebutuhan sehari-hari, mulai dari untuk minum hingga memasak.
Kemudian, hulu sungai digerayangi aktivitas tambang dan penebangan. Batanghari berangsur tercemar. Tidak hanya keruh airnya, sampah pun semakin deras memenuhi aliran sungai. Apalagi di musim hujan, terbawa pula batang-batang kayu besar, sisa kayu tebangan dari hulu yang terbawa sampai ke hilir.
Kini, Rahmi tak berani lagi mandi di sungai, apalagi memanfaatkan airnya untuk minum. ”Lha (sudah) tercemar nian aeknyo.”
Pencemaran Sungai Batanghari menyelipkan keprihatinan. Hal itu melahirkan rangkaian acara budaya bernama Kenduri Suwarnabhumi. Setidaknya tiga bulan terakhir, rangkaian kenduri digelar, mulai dari hulu ke hilir. Kenduri itu mengusung satu semangat, ”Cintai Budaya, Kita Lestarikan Sungai. Cintai Sungai, Kita Lestarikan Budaya.”
Baca juga: Kenduri Swarnabhumi Suarakan Pentingnya Pemulihan Sungai Batanghari
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Fitra Arda berharap kenduri itu menjadi gaung pemulihan kembali Sungai Batanghari. Lewat beragam acara festival, tujuan kenduri ingin meningkatkan kesadaran masyarakat bersama-sama menjaga Sungai Batanghari.
Rangkaian festival berlangsung mulai dari hulu sungai di Sumatera Barat hingga hilirnya di Jambi. Rangkaian kegiatan itu digelar di 14 lokasi di tepi Sungai Batanghari yang tercemar parah akibat tambang dan pembabatan hutan agar lebih menyentuh masyarakat luas dan pemangku kebijakan terkait.
Baca juga : Selamatkan Daerah Aliran Sungai Batanghari
Pada hulunya, digelar Festival Pamalayu di Kabupaten Dharmasraya. Di Kabupaten Tebo, ada Negeri Pemuncak Pagelaran Apung. Lebih ke hilir di Kabupaten Batanghari, berlangsung Festival Tapa Melenggang. Sementara di Kota Jambi, berlangsung pembukaan Kenduri Suwarnabhumi. Digelar pula Festival Tudung Lingkup di kawasan seberang kota. Selanjutnya di Kabupaten Muaro Jambi, ada Sedekah Dusun Senaung. Puncak Kenduri berlangsung di hilir, yakni Kabupaten Tanjung Jabung Timur lewat Kenduri Lawang Suwarnabhumi. Kenduri yang akan dilangsungkan di Kampung Laut pada Sabtu dan Minggu (18-19/9/2022) mendatang akan mengumpulkan perwakilan masyarakat mulai dari hulu hingga hilir sungai untuk berembuk, membahas masa depan Sungai Batanghari sebagai pusat peradaban di masa lalu.
”Harapannya, kenduri ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat menjaga Sungai Batanghari serta membangun kebijakan publik tentang pelestarian sungai berbasis budaya,” katanya.
Kata kenduri merupakan idiom bersahaja sebagai penanda merayakan masa lampau yang gilang gemilang. Sementara suwarnabhumi diambil dari nama Sumatera lawas, yang berarti ’negeri emas’.
Lewat Kenduri Suwarnabhumi yang mengambil tema ”Dulu, Kini, dan Nanti”, masyarakat bertemu untuk saling terhubung. Kesadaran dibangun agar bersama-sama mengangkat kembali kejayaan peradaban lampau.
Peranan penting
Sungai Batanghari yang panjangnya 800 kilometer itu memiliki peranan penting bagi sebagian besar masyarakat Jambi dan Sumatera Barat. DAS Batanghari juga merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia. Mencakup luas areal tangkapan air dengan luas 4,9 juta hektar.
Aliran sungai itu melintasi enam kabupaten di Jambi, yakni Bungo, Tebo, Kabupaten Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur, dan Kota Jambi. Adapun di Sumbar, Batanghari melintasi Solok Selatan dan Dharmasraya.
Batanghari juga merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai besar lainnya, seperti Batang Sangir, Batang Merangin, Batang Tebo, Batang Bungo, dan Batang Tembesi. Peradaban Melayu Kuno hidup dan berkembang di sepanjang tepian sungai. Perairan dimanfaatkan sebagai jalur penting kehidupan.
Baca juga : Kawasan Muaro Jambi Dihidupkan Lagi sebagai Pusat Pendidikan
Pusat ibadah dan kampus terbesar dibangun di kawasan yang kini bernama Muaro Jambi. Diperkirakan Abad VII hingga XIV, Muaro Jambi dikenal sebagai kampus penting bagi para biarawan dan penimba ilmu. Tak hanya ilmu agama, Muaro Jambi menjadi tempat menimba ilmu pengobatan, filsafat, dan perbintangan.
Lana Atisya, salah seorang biksu muda asal India, sempat bersekolah di Muaro Jambi selama 12 tahun sebelum kembali ke India. Muaro Jambi pernah pula disinggahi Pendeta I-Tsing asal China. Ia membuat catatan, ribuan orang belajar dalam bangunan bertembok. Masyarakatnya ikut menyiapkan makanan dan ikut belajar. Keharmonisan tumbuh di Muaro Jambi.
Ahli filologi Uli Kozok juga menyatakan dalam bukunya, Muaro Jambi selama berabad-abad pernah menjadi ibu kota Melayu. Peneliti Belanda, Schnitger, menyebut bangunan Muaro Jambi sebagai bagian dari sebuah kota yang besar. Situs ini tak kalah dengan Muara Takus di Riau, Padanglawas di Sumatera Utara, atau Bumiayu di Sumatera Selatan. Demikian pula McKinnon yang menilai Muaro Jambi merupakan situs terbesar di Sumatera.
Terus beranjak ke hulu, sejumlah catatan menyebut adanya penjelajahan penguasa Kerajaan Singosari, Kertanegara, di Sungai Batanghari menuju Dharmasraya. Perjalanan itu sebagai upaya mempererat hubungan dengan Kerajaan Melayu. Sungai Batanghari akhirnya menjadi salah satu jalur utama untuk menyatukan Nusantara.
Begitu besarnya peradaban di masa lalu kini pupus berganti Sungai Batanghari yang muram. Tak hanya tercemar, bencana banjir dan longsor pun silih berganti. Penulis The History or Sumatra, William Marsden, pun bilang, sangat disayangkan bahwa negeri yang menawan ini dianugerahkan untuk bangsa yang tidak menyadari kekayaan alamnya sendiri.