Kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan sekolah masih terus terjadi di Jawa Tengah. Komitmen semua pihak untuk melindungi anak harus ditegakkan agar tercipta ruang aman bagi anak di sekolah.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan sekolah masih terus terjadi. Terakhir, seorang guru SMP di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, melakukan kekerasan seksual kepada 35 siswinya. Semua pemangku kepentingan perlu lebih serius bersinergi menciptakan ruang aman bagi anak dan membatasi ruang gerak predator anak.
Kejadian memilukan itu terungkap setelah salah seorang korban mengadu kepada orangtuanya. Setelah ditanyai lebih lanjut, korban mengaku bukan satu-satunya orang yang mengalami kekerasan seksual oleh guru mereka, Agus Mulyadi (33). Para orangtua yang anaknya menjadi korban lalu menggeruduk rumah Agus dan juga sekolah tempatnya mengajar.
Agus diketahui melakukan kekerasan kepada 35 siswa dalam kurun waktu Juni hingga Agustus 2022. Agus yang merupakan pembina organisasi siswa intra sekolah (OSIS) memanfaatkan jabatannya untuk melancarkan aksi bejatnya. Modus yang ia gunakan adalah tes kejujuran dalam seleksi pengurus OSIS.
Polisi menyebut, bentuk kekerasan yang dilakukan Agus beragam, mulai dari sentuhan hingga persetubuhan. Guru yang sehari-hari mengajar pelajaran agama tersebut memperdaya para korban agar menuruti keinginannya.
”Ada tiga kluster korban dalam kasus ini, yakni kluster kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX. Untuk tempat pelecehan ada tiga, yakni ruang OSIS, ruang kelas, dan di dalam mushala sekolah,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jateng Komisaris Besar Djuhandhani Rahardjo Puro, pekan lalu.
Seusai kejadian itu, Agus yang berstatus sebagai aparatur sipil negara itu dipecat. Polisi juga sudah meringkus dan menetapkan Agus sebagai tersangka. Agus dijerat dengan Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya 15 tahun penjara, ditambah sepertiga masa hukuman, karena Agus adalah guru yang seharusnya berkewajiban melindungi murid-muridnya.
Dalam kurun waktu sebulan terakhir, sedikitnya ada dua kasus kekerasan seksual lain yang dilakukan oleh guru kepada siswanya di Jateng. Di Banjarnegara, SAW (32), guru di sebuah pondok pesantren, diringkus polisi setelah melecehkan tujuh siswa yang seluruhnya laki-laki. Sementara itu, di Kota Semarang, RAZ (31), guru di sebuah sekolah luar biasa, memperkosa salah satu siswinya yang merupakan penyandang disabilitas saat pulang sekolah.
Kepala sekolah, guru, maupun staf kepegawaian di sekolah harus lebih sensitif terhadap penanganan kekerasan seksual. Mereka harus tahu, harus bagaimana kalau ada kekerasan seksual di sekolah, termasuk harus lapor ke mana dan penanganan korbannya seperti apa.
Moralitas
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan belum menjadi tempat aman bagi anak-anak dari pelaku kekerasan seksual. Guru yang seharusnya melindungi para siswa malah menjadi pelaku. Rata-rata mereka manfaatkan ketidakberdayaan murid-murid untuk melancarkan aksi bejatnya.
”Faktor penyebab pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap siswa adalah menurunnya moralitas para pelaku. Para pelaku ini, kan, semuanya berpendidikan, bisa berpikir secara sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu melanggar hukum, tapi (mereka) tetap melakukan perbuatan itu. Artinya, (mereka) memang tidak bermoral,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang, Raden Rara Ayu, Kamis (15/9/2022).
Para guru predator gagal melaksanakan kewajibannya melindungi anak-anak didik. Sebaliknya, mereka malah memanfaatkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara dirinya dan murid-murid untuk melancarkan perbuatannya. Tak jarang, para guru pelaku kekerasan seksual juga mengintimidasi atau mengancam korban agar kejahatan yang ia lakukan tidak terungkap.
Ayu berharap lembaga pendidikan lebih gencar menyosialisasikan pencegahan tindak kekerasan seksual kepada siswa, guru, ataupun warga sekolah lainnya. Prosedur standar serta mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual di sekolah juga harus disusun dan diketahui oleh semua warga sekolah.
”Kepala sekolah, guru, maupun staf kepegawaian di sekolah harus lebih sensitif terhadap penanganan kekerasan seksual. Mereka harus tahu, harus bagaimana kalau ada kekerasan seksual di sekolah, termasuk harus lapor ke mana dan penanganan korbannya seperti apa,” imbuhnya.
Ia menambahkan, sekolah harus berpihak kepada korban. Korban harus dilindungi dan dibantu pemulihan traumanya supaya bisa melanjutkan pendidikannya.
”Di banyak kasus kekerasan seksual, sekolah mengeluarkan siswi korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan alasan supaya tidak menjadi contoh siswi lain. Perbuatan ini secara tidak langsung membuat siswi menjadi korban dua kali,” katanya.
Pemulihan korban
Upaya pemulihan psikologi para korban kekerasan di tiga daerah di Jateng itu terus dilakukan sejumlah pihak. Psikolog dari kepolisian ataupun pemerintah setemat diterjunkan untuk mendampingi mereka pasca-kejadian.
Di Batang, salah satu siswi korban kekerasan yang sempat mengalami trauma berat disebut telah membaik. Siswi tersebut dan puluhan korban lain di Batang sudah mulai bersekolah seperti biasa.
”Kami bekerja sama dengan berbagai pihak juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya menghibur para siswa, menciptakan kembali suasana riang dan gembira, supaya proses belajar-mengejar di sekolah itu kembali kondusif,” kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Batang Achmad Taufiq.
Kasus yang terjadi di Batang memantik perhatian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Batang lantas disarankan untuk memasang kamera pemantau (CCTV) di sekolah-sekolah untuk menekan gerak pelaku kekerasan seksual di sekolah.
Pembinaan dan penguatan moralitas para guru dan tenaga pengajar juga disarankan. Hal itu diharapkan bisa dilakukan untuk meningkatkan kesadaran mereka terkait dampak kekerasan seksual serta ancaman hukuman yang menanti jika mereka melanggar.
”Pembentukan kanal pengaduan di sekolah-sekolah juga akan kami bantu sehingga jika ada siswa yang ingin mengadu, ada tempatnya,” ujar Taufiq.