Masyarakat Hentikan Paksa Reklamasi Pantai di Manado
Puluhan warga pesisir Malalayang 1, Manado, menghentikan secara paksa kegiatan reklamasi pantai yang sedang berlangsung. Mereka merasa tak pernah dilibatkan secara bermakna dalam perencanaan proyek tersebut.
MANADO, KOMPAS — Puluhan warga pesisir Malalayang 1, Manado, Sulawesi Utara, menghentikan paksa kegiatan reklamasi pantai yang sedang berlangsung, Kamis (15/9/2022). Mereka merasa tidak pernah dilibatkan secara bermakna dalam perencanaan proyek infrastruktur pariwisata di atas lahan timbunan seluas 5,33 hektar itu.
Sejak pagi, pembangunan jetty telah berlangsung sekitar 100 meter dari tepi pantai. Truk-truk hilir mudik mengangkut bebatuan besar, lalu menumpahkannya di dekat sebuah ekskavator yang bertugas menatanya, sementara para nelayan tradisional menonton dari tepi pantai.
Warga yang menolak reklamasi lantas berbondong-bondong datang ke jetty dan menuntut pekerjaan itu dihentikan. Debat kusir dari karyawan PT TJ Silfanus, perusahaan pelaksana proyek, sempat terjadi. Sebagian warga lalu menghampiri ekskavator, lalu menggiring operator membawanya keluar area proyek. Meski sempat cekcok, pihak perusahaan akhirnya mengalah.
Karyadi Monde (50), nelayan Kampung Baru, Malalayang 1, mengatakan, sejak awal masyarakat tidak pernah menyetujui kehadiran PT TJ Silfanus. Pada 2018, warga sempat diundang menghadiri sosialisasi pendirian apartemen, hotel, dan dermaga. ”Tetapi, pas pertemuan, yang dibicarakan justru reklamasi, maka masyarakat menolak,” katanya.
Kendati begitu, proses perizinan investasi senilai Rp 2,5 miliar itu tetap berlangsung mulus hingga tahapan reklamasi bisa berlangsung saat ini. Karyadi menduga, perusahaan menggunakan tanda tangan warga pada daftar hadir sosialisasi sebagai bukti pelibatan masyarakat dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Kini, jetty yang telah dibangun PT TJ Silfanus sepanjang ratusan meter menghalangi akses langsung nelayan tradisional ke Teluk Manado. Mereka harus memutari jetty terlebih dahulu dan ini memungkinkan saat air sedang surut. ”Secara tidak langsung mereka telah mencuri hak hidup kami sebagai nelayan,” kata Karyadi.
Baca juga: Proyek Reklamasi Rp 2 Triliun Diduga Rusak Terumbu Karang di Teluk Manado
Arsi Dahlan (29), nelayan lainnya, mengatakan, ikan di tepian semakin sedikit sejak reklamasi berlangsung. Jaring yang dipasang melingkar di tepi pantai pun tak lagi mangkus (ampuh) untuk menangkap ikan. Ia khawatir masyarakat akan tergusur dan berganti profesi demi membuka jalan bagi pembangunan hotel, mal, dan pusat pameran di atas lahan reklamasi.
Proyek ini juga mulai mengganggu kenyamanan masyarakat. ”Mereka kerja dari pagi sampai tengah malam. Masyarakat yang sedang tidur terganggu karena suara alat berat,” ujarnya.
Rignolda Djamaluddin, Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut, juga dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, menyatakan, reklamasi juga telah merusak terumbu karang. Timnya telah menyelami perairan di sekitar lokasi proyek dan menemukan terumbu karang yang rusak karena tertimpa batu-batu besar.
Hal ini adalah pelanggaran hukum menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta dapat diganjar maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar. ”Kalau mau menimbun, kemudian ketemu terumbu karang, seharusnya berhenti sekalipun berizin,” ujarnya.
Melalui pemetaan, Rignolda juga menemukan adanya indikasi ketidaksesuaian 22 titik koordinat yang tertera dalam izin pelaksanaan reklamasi dengan kenyataan di lapangan. ”Mereka membangun di luar titik koordinat. Memang dari awal kami sudah curiga bahwa dokumen lingkungan tidak menampilkan keadaan yang sebenarnya,” katanya.
Di samping itu, PT TJ Silfanus disebut belum mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari KKP yang diatur dalam beberapa aturan turunan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Alasan perusahaan, izin lokasi reklamasi di Pantai Malalayang 1 telah diurus sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) KKP Hendra Yusran Siry mengatakan, PKKPRL adalah ganti dari izin lokasi. Dalam kasus PT TJ Silfanus, izin lokasi reklamasi dapat berlaku selama dua tahun, setidaknya hingga 2022.
Rignolda telah melaporkan dugaan pelanggaran-pelanggaran PT TJ Silfanus kepada Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP pada 30 Agustus agar ada tindakan segera. Petugas Pangkalan PSDKP telah turun ke lapangan, tetapi hingga kini belum ada instruksi penghentian reklamasi.
”Ini yang membuat saya kecewa. Saat pelanggaran dilakukan, justru penegak hukum tidak melakukan tindakan. Jangan sampai menterinya yang dituduh melakukan pembiaran,” kata Rignolda.
Baca juga: PT TMS Ngotot Bertahan di Sangihe
Tunggu perintah Jakarta
Di sisi lain, Kepala Pangkalan PSDKP Bitung Harlym Raya Maharbhakti menyangkal pembiaran yang dikeluhkan Rignolda. Petugasnya telah meninjau lokasi reklamasi dua kali, meminta informasi dari perusahaan, dan mengirimkan hasil tinjauan ke Ditjen PSDKP.
Dugaan pelanggaran PT TJ Silfanus yang ditemukan PSDKP Bitung adalah ketidaksesuaian koordinat dalam izin lokasi reklamasi dengan kenyataan di lapangan. ”Dokumen-dokumen yang diwajibkan sudah dimiliki (lengkap), tetapi terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan reklamasi,” kata Harlym.
Di luar pelanggaran izin, ia belum bisa mengonfirmasi kerusakan terumbu karang sebagaimana didokumentasikan tim Rignolda. Diperlukan kajian lebih dalam, terutama terkait persentase tutupan terumbu karang yang terdampak.
Di lain pihak, perwakilan perusahaan bersikeras semua ketentuan hukum dan perizinan telah dipenuhi. Marvil Budiman, Koordinator Public Relations PT TJ Silfanus, menyatakan, 30 perwakilan masyarakat telah menyetujui reklamasi ketika sosialisasi. Perusahaan juga telah menerima dukungan dari 270 warga dalam bentuk tanda tangan di atas meterai.
Ia menegaskan, proyek tersebut telah sesuai dengan Peraturan Daerah Sulut No 1/2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Dalam lampiran perda tersebut, Pantai Malalayang 1 memang ditetapkan sebagai zona pariwisata. Wilayah yang lebih jauh ke arah laut juga ditetapkan sebagai zona fasilitas umum.
Menurut Marvil, masyarakat seharusnya tidak menghentikan kegiatan perusahaan secara sepihak. ”Kalau pemerintah pemberi izin yang menyuruh kami berhenti, kami pasti berhenti. Bukan karena paksaan masyarakat secara pribadi,” ujarnya.
Ketika ditanya tentang partisipasi bermakna masyarakat dalam penyusunan amdal, Marvil menyatakan itu bukan ranah perusahaan. Sebab, amdal dibuat oleh panitia independen yang dibentuk pemerintah daerah. ”Yang jelas tata ruangnya memungkinkan. Silakan tanya ke pemerintah soal amdal. Mereka yang mengeluarkan izin karena sudah mengkaji,” katanya.
Marvil menambahkan, reklamasi bukan hal baru di Manado. Setidaknya tiga pusat bisnis dan perbelanjaan telah berdiri di atas lahan reklamasi, yaitu Megamas, Manado Town Square, dan Bahu Mall. Wilayah-wilayah ini pula yang rusak paling parah kala Teluk Manado dilanda gelombang besar.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPTSP) Sulut Franky Manumpil telah dihubungi, tetapi menolak memberikan keterangan lewat telepon. Sebelumnya, ia menyatakan sangat sulit menggaet investor ke Sulut selama pandemi. Target investasi senilai Rp 7,4 triliun sepanjang 2022 pun sulit dicapai.
Akan tetapi, sejak 2021, beberapa investasi yang masuk ke Sulut justru menimbulkan masalah lingkungan dan konflik dengan masyarakat. Di Kepulauan Sangihe, masyarakat telah menang di pengadilan melawan PT Tambang Mas Sangihe yang telah mengantongi kontrak karya operasi pertambangan emas selama 33 tahun.
Di Minahasa Utara, pembangunan Eco Family Hotel, yang telah berganti nama menjadi Manado Marriott Resort and Spa, disebut menyebabkan kerusakan hutan bakau serta menghalangi akses para nelayan ke laut. Masyarakat telah mengadukan PT Bhineka Manca Wisata sebagai pengembang ke Pengadilan Tata Usaha Negara Manado.