Proyek Reklamasi Rp 2 Triliun Diduga Rusak Terumbu Karang di Teluk Manado
Proyek reklamasi di Pantai Minanga, Manado, menyebabkan kerusakan pada terumbu karang yang tumbuh di bibir Teluk Manado. Kendati begitu, pemerintah provinsi menegaskan proyek itu telah memiliki perizinan yang lengkap.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Proyek reklamasi di Pantai Minanga, Manado, Sulawesi Utara, disebut menyebabkan kerusakan pada terumbu karang yang tumbuh di bibir Teluk Manado. Proyek reklamasi itu dikhawatirkan juga akan merenggut akses nelayan ke laut. Kendati begitu, pemerintah provinsi menegaskan proyek itu telah memiliki perizinan lengkap.
Lokasi proyek yang dikerjakan PT TJ Silfanus itu terletak di perairan Teluk Manado yang terletak di Kelurahan Malalayang 1. Area seluas lebih kurang 5,3 hektar akan ditimbun menjadi daratan untuk membuka ruang bagi pembangunan hotel bintang lima, pusat pameran, mal, teater outdoor, serta wahana olahraga air.
Akan tetapi, investasi senilai sekitar Rp 2 triliun yang akan memprivatisasi sekitar 500 meter garis pantai itu diduga justru menyebabkan kerusakan terumbu karang. Dihubungi via telepon, Rabu (31/8/2022), Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut, Rignolda Djamaluddin, mengatakan, kerusakan itu disebabkan penimbunan yang berlangsung selama 1-19 Agustus.
”Kami sudah mengambil gambar lokasi timbunan dari udara dengan drone, kemudian menyelam untuk mengambil dokumentasi bawah air. Hasilnya, area yang terumbu karangnya masif tertimpa bongkahan batu besar yang beratnya pasti berton-ton,” kata Rignolda yang juga dosen Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi.
Menurut hasil riset yang ia pimpin, perairan Pantai Minanga ditutupi terumbu karang tepi (fringing reefs). Wilayah itu juga merupakan habitat kima (giant clams), kerang-kerangan dalam genus Tridacna yang hidup di perairan laut hangat. Kima termasuk hewan laut yang dilindungi Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.
Di samping itu, wilayah yang akan direklamasi juga sangat berdekatan dengan habitat ikan raja laut alias coelacanth (Latimeria manadoensis) yang kerap ditemukan nelayan lokal. ”Ini penting dalam konteks perlindungan spesies meskipun masih perlu eksplorasi dan identifikasi lebih jauh,” kata Rignolda.
Lebih dari itu, kerusakan terumbu karang yang diakibatkan empasan bebatuan selama proyek reklamasi berlangsung merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menurut Pasal 35, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang menimbulkan kerusakan ekosistem terumbu karang.
”Lokasi reklamasi jelas merupakan wilayah terumbu karang yang tidak dapat dirusak dengan cara apa pun. Pantai Minanga juga adalah perairan tradisional yang merupakan wilayah tangkap nelayan tradisional serta menjadi satu-satunya akses bagi mereka untuk melaut. Apalagi, ada potensi sumber daya perikanan demersal yang besar di sana,” tutur Rignolda.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, menyebut proyek reklamasi itu sebagai penghancuran wilayah pesisir dan ekosistem di dalamnya secara terencana. Proyek itu bertolak belakang dengan semangat perlindungan wilayah pesisir, khususnya terumbu karang yang diperjuangkan warga.
Sejak proyek reklamasi dimulai, warga setempat yang merupakan bagian dari subsuku Minahasa Bantik telah menyatakan penolakan mereka, bahkan menghentikan langsung kegiatan di lapangan. Pada 25 Agustus, Pemprov Sulut telah memfasilitasi konsultasi masyarakat dengan PT TJ Silfanus, tetapi tetap berakhir dengan penolakan warga.
Kendati begitu, ada pula sekelompok warga yang menyambut baik proyek itu, yakni yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pesisir Pantai Malalayang I. Mereka memasang spanduk bertuliskan ”Tidak semua orang Bantik Menolak Reklamasi. Kami mendukung 100 persen Reklamasi Pantai Malalayang I”.
Di sisi lain, melalui siaran pers tertulis, Direktur PT TJ Silfanus, Aswin Widjanarko, menyatakan telah memiliki izin lengkap dari Pemprov Sulut. Perizinan tersebut meliputi Izin Lokasi Reklamasi No 530/SPMPTSPD/1157/XI/2020, Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup No 503/DPMPTSPD/SKKL/79/2021, serta Izin Pelaksanaan No 503/DPMPTSP/IP-REKLAMASI/800/VII/2021.
”Kami sedang dalam tahap desain dan perencanaan. Di lokasi itu, kami akan membangun hotel bintang lima dan convention center besar. Itu bisa untuk kegiatan nasional dan internasional. Referensi pembangunan kami konsepnya seperti Pantai Indah Kapuk,” ujar Aswin.
Ia juga menjanjikan keterlibatan masyarakat Bantik dalam perekonomian. Akan ada fasilitas kuliner dan usaha kecil yang akan didirikan di sana. ”Kami tidak main-main dalam pembangunan ini. Pembangunan ini ramah lingkungan dan tentu akan sangat berdampak besar bagi masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulut Franky Manumpul menyatakan, sangat sulit untuk menggaet investor semasa pandemi. Padahal, pemprov memiliki target mendatangkan investasi senilai Rp 7,4 triliun sepanjang 2022.
”Karena itu, jika ada permasalahan, pemerintah akan membantu mencari solusi agar kegiatan investasi dapat berjalan. Prinsipnya, kita membangun, tetapi tidak merusak lingkungan. Kegiatan reklamasi yang dilakukan PT TJ Silfanus ini telah sesuai Peraturan Daerah No 1/2017 tentang RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil),” kata Franky.
Dalam lampiran perda tersebut, Pantai Minanga di Malalayang 1 termasuk zona pelabuhan. Menurut Franky, wilayah itu sangat diminati para investor sejak 2014 lalu, tetapi belum ada yang bisa masuk karena ketiadaan RZWP3K.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulut Erny Tumundo menyatakan selalu mengawasi tenaga kerja di lokasi proyek. Nantinya, area reklamasi itu akan menyediakan lapangan kerja bagi 5.000 orang.