Kisah Bisnis Sepatu Roda di Semarang yang Terus Eksis
Meski olahraga sepatu roda sudah tidak sepopuler dulu, peminatnya tak pernah redup. Di Kota Semarang, Jawa Tengah, sejumlah bisnis terkait olahraga sepatu roda masih eksis hingga sekarang.
Meski olahraga sepatu roda sudah tidak sepopuler dulu, peminatnya tak pernah redup. Di Kota Semarang, Jawa Tengah, sejumlah bisnis yang terkait dengan olahraga sepatu roda, mulai dari penjualan perlengkapan sepatu roda sampai jasa pemberangkatan latihan sepatu roda ke luar negeri, masih eksis hingga sekarang.
Suasana sebuah toko peralatan olahraga di Kelurahan Pekunden, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, tampak lengang, Jumat (9/9/2022) pagi. Wiwin (56) adalah pelanggan pertama yang datang ke toko itu.
Warga Kelurahan Pedirikan Kidul, Kecamatan Semarang Tengah, itu disambut hangat oleh salah seorang pramuniaga. Kepada pramuniaga itu, Wiwin bilang mau cari sepatu roda untuk cucunya yang berumur lima tahun.
Pelayan itu kemudian mengarahkan Wiwin ke bagian pojok toko. Di tempat itu, sepatu roda beraneka warna dan jenis dipajang berderet. Wiwin disarankan untuk membeli sepatu roda dengan ukuran S.
Sepatu yang memiliki panjang insole 16-19 sentimeter itu dinilai cocok untuk anak umur lima tahun. Wiwin pun setuju, kemudian berjalan menuju kasir untuk membayar sepatu yang dibanderol dengan harga Rp 378.000 tersebut.
Ari (60), supervisor toko tersebut, mengatakan, penjualan sepatu roda di toko peralatan olahraga itu memang tak seramai sebelumnya. Setahun belakangan, penjualan sepatu roda berkisar satu hingga dua pasang per hari. Harga sepatu roda yang ditawarkan di toko itu mulai dari Rp 275.000 sampai Rp 750.000 per pasang.
”Waktu sepatu roda booming di Semarang tahun 2012-2013, kami bisa jual sampai di atas 200 pasang per hari. Waktu itu, pembelinya tidak cuma dari Semarang, tetapi juga dari daerah lain, seperti Pekalongan, Tegal, Kudus, dan Banyumas. Bahkan, kami juga sempat beberapa kali kirim sepatu roda ke reseller di Kalimantan,” kata Ari.
Baca juga : Suka-suka di Atas Sepatu Roda
Ari menyebut, kebanyakan pembeli sepatu roda waktu itu adalah orang-orang yang ingin menjual kembali atau menyewakan sepatu roda. Salah satu pusat penyewaan sepatu roda terbesar di Semarang kala itu berada di Lapangan Simpang Lima yang berjarak sekitar 500 meter dari toko tersebut.
”Waktu itu, jumlah orang yang membuka jasa penyewaan di Simpang Lima mencapai ratusan. Mulai habis maghrib sampai tengah malam, dulu kawasan itu selalu ramai, penuh orang main sepatu roda,” kenang Ari.
Hartini (51), mantan atlet sepatu roda yang sempat membuka jasa penyewaan sepatu roda di Simpang Lima, menyebut, harga sewa sepatu roda kala itu Rp 20.000 per jam. Dalam satu malam, Hartini bisa mendapatkan uang sampai dengan Rp 2 juta. Karena kewalahan, Hartini bahkan sempat memberdayakan anak jalanan di sekitar kawasan Simpang Lima untuk membantunya.
”Anak-anak jalanan itu saya ajari dulu cara bermain sepatu roda dan teknik-teknik dasarnya supaya mereka bisa membantu orang-orang yang akan menyewa. Lumayan, waktu itu, mereka saya upah Rp 200.000 per orang setiap harinya,” tutur Hartini.
Bisnis penyewaan sepatu roda milik Hartini dan orang-orang di kawasan Simpang Lima gulung tikar pada tahun 2013. Penyebabnya, kebanyakan orang sudah memiliki sepatu roda sendiri. Di samping itu, popularitas sepatu roda juga mulai menurun.
Kini, hanya tinggal satu atau dua orang yang membuka penyewaan sepatu roda di kawasan Simpang Lima. Kebanyakan, yang disewakan di tempat itu adalah sekuter dan kereta kayuh.
Pakaian
Saat jasa penyewaan sepatu roda mulai turun pamor, bisnis penjualan pakaian untuk bersepatu roda justru naik daun. Setelah memiliki sepatu roda, orang-orang kemudian mulai membutuhkan perlengkapan pendukung lain, seperti aksesori hingga pakaian. Peluang itu ditangkap oleh Muhammad Arif Rahman (36), mantan atlet sekaligus pelatih sepatu roda di Kota Semarang.
Arif memulai bisnis penjualan pakaian pesepatu roda pada tahun 2012. Ia memproduksi sendiri pakaian untuk pesepatu roda itu, baik yang dipakai untuk latihan maupun lomba.
Baca juga : Hobi Sepatu Roda Anak-anak di Lampung
Bisnis penyewaan sepatu roda milik Hartini dan orang-orang di kawasan Simpang Lima gulung tikar pada tahun 2013.
Dari hasil menjual pakaian khusus untuk bersepatu roda, Arif mendapatkan omzet rata-rata Rp 50 juta per bulan. Omzetnya memang sempat terjun bebas menjadi Rp 20 juta per bulan selama pandemi. Namun, kini usahanya itu kembali menggeliat.
”Prospek bisnis apparel (pakaian) ini masih akan cerah sampai beberapa waktu ke depan. Sebab, pasarnya kini semakin banyak. Awalnya, di Jateng itu hanya Kota Semarang saja yang ada pembinaan atlet sepatu rodanya. Kini, dari jumlah 35 kabupaten/kota, sebanyak 25 di antaranya sudah mulai melakukan pembinaan. Ini berarti, peluang bisnis penjualan apparel masih sangat baik,” tuturnya.
Impor
Bisnis lain yang masih awet adalah impor sepatu roda. Kendati grafiknya naik turun, bisnis itu tetap bisa mendatangkan cuan. Allan Chandra (35), mantan atlet sekaligus importir sepatu roda di Kota Semarang, menuturkan, belum banyak sepatu roda lokal yang kualitasnya menyamai sepatu roda impor. Kondisi itu yang membuat sepatu roda impor masih banyak diminati.
Sejak tahun 2012, penyumbang tujuh medali emas Pekan Olahraga Nasional untuk Jateng itu sudah menekuni bisnis impor sepatu roda. Bisnis itu awalnya dilakoni Allan tidak dengan sengaja.
Allan yang kala itu sering latihan dan mengikuti perlombaan di luar negeri memiliki koneksi dengan produsen-produsen sepatu roda. Ia lantas ditawari menjadi importir untuk pasar Indonesia. Bisnis itu tetap ditekuni Allan sampai dengan saat ini.
Seiring dengan perjalanan bisnisnya sebagai importir sepatu roda, Allan mendapatkan peluang bisnis lain, yakni jasa pemberangkatan atlet untuk latihan di luar negeri. Lagi-lagi, bisnis itu muncul karena relasi Allan dengan pelaku bisnis sepatu roda di luar negeri.
Baca juga : Pakai Jalan Protokol, Polisi Tegur Atlet Sepatu Roda Jakarta
”Mula-mula, saya hanya membantu atlet yang ingin latihan di luar negeri, satu sampai dua orang. Setelah itu, entah bagaimana ceritanya, kalau ada atlet yang mau latihan ke luar negeri pasti meminta bantuan saya,” ujar Allan.
Menurut dia, banyak atlet sepatu roda dari Indonesia yang memperdalam ilmunya dengan cara mengikuti program latihan di luar negeri. Ada pula atlet-atlet yang mengikuti program latihan dalam rangka persiapan menghadapi perlombaan tingkat dunia di luar negeri.
Negara-negara seperi China, Taiwan, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Spanyol banyak menjadi tujuan atlet-atlet sepatu roda asal Indonesia untuk berlatih. Hal itu karena dari negara-negara itu lahir banyak juara dunia sepatu roda.
”Rata-rata, atlet berlatih di luar negeri itu mulai dari satu bulan hingga dua tahun, tergantung kebutuhan. Kalau kebutuhannya cuma belajar biasa paling cuma sekitar satu sampai enam bulan. Kalau misalnya punya tujuan untuk jadi juara dunia, biasanya berlatih sampai dua tahun,” tuturnya.
Biaya jasa pemberangkatan atlet untuk latihan di luar negeri yang ditawarkan Allan beragam. Hal itu tergantung harga tiket pesawat, biaya penginapan, dan biaya program latihan di suatu negara. Di China, misalnya, untuk bisa mengikuti program latihan selama sebulan lengkap dengan akomodasinya, setiap atlet harus mengeluarkan uang hingga Rp 40 juta.
”Untuk setiap atlet, saya mengambil Rp 2,5 juta-Rp 3 juta. Uang itu untuk membayar tiket pesawat dan biaya tinggal saya selama di sana. Sebab, kalau saya tidak ikut, rata-rata (penyedia jasa program latihan) tidak mau memasukkan atlet (dari Indonesia) ke dalam program latihan mereka,” katanya.
Bisnis sepatu roda seperti tak ada habisnya. Meski mengalami pasang surut, sepanjang peminatnya masih ada, olahraga yang cukup digemari ini akan terus ada dan mewarnai denyut kehidupan kaum urban.