Bantuan Pemerintah Hanya Cukup untuk Menutupi Biaya Transportasi Sebulan
Kenaikan harga BBM bersubsidi memukul para buruh. Karena selain biaya transportasi yang kian mencekik, sejumlah harga bahan pangan juga melonjak. Bantuan pemerintah pun tak akan berdampak banyak.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi memukul para buruh. Selain karena biaya transportasi yang kian mencekik, sejumlah harga bahan pangan juga melonjak. Bantuan pemerintah pun seakan hanya menjadi dana darurat yang akan habis hanya dalam waktu kurang dari satu bulan.
Sembari berjaga di pos keamanan, Hendra Riyanto (40), petugas keamanan di salah satu perkantoran swasta di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (13/9/2022), sejenak merenung. Dia harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pendapatannya yang sebesar Rp 2,4 juta per bulan tidak cukup untuk menghidupi kebutuhan keluarganya.
”Karena itu, selain bekerja sebagai (petugas) satpam, saya juga nyambi jadi pengemudi ojek daring,” ungkapnya.
Pekerjaan sampingan yang ia geluti sejak lima tahun lalu itu memberikan sedikit tambahan dari minimnya gaji yang ia terima. Dari hasil ngojek, dia bisa memperoleh uang Rp 15.000-Rp 30.000 per hari.
Namun, sejak harga BBM meningkat, pendapatannya pun anjlok. Kenaikan tarif ojek daring tidak sebanding dengan kenaikan harga BBM.
Ayah tiga anak ini merinci, dalam satu hari biasanya dia mengeluarkan uang sekitar Rp 15.000 per hari untuk membeli bahan bakar sepeda motornya. Bahan bakar itu digunakan untuk ongkos transportasi dari rumah ke kantor yang berjarak sekitar 15 kilometer. Kini, ongkos BBM meningkat menjadi sekitar Rp 20.000 per hari.
Jika dihitung, bantuan subsidi upah (BSU) dari pemerintah sebesar Rp 600.000 hanya cukup untuk membiayai kebutuhan bensin selama sebulan. Bantuan itu tidak mampu menutupi kenaikan harga sembako dan ongkos transportasi yang juga melonjak pasca-kenaikan harga BBM bersubsidi.
”Ongkos sekolah dan uang jajan anak saya saja sudah naik,” ucap ayah tiga anak ini. Dia pun sedang mencari cara untuk menambah pendapatan guna mencukupi kebutuhan.
Keluhan serupa disampaikan Muhammad (52), tenaga pemasaran di sebuah perusahaan swasta di Palembang. Dia tidak mau terlalu banyak berharap pada bantuan pemerintah lantaran pihak vendor yang menaunginya kurang aktif dalam menyambut bantuan tersebut.
Tahun lalu, ketika ada bantuan untuk dampak Covid-19, ia beberapa kali tidak mendapatkan bantuan. Padahal, bantuannya cukup besar, yakni mencapai Rp 2 juta yang dibagi dalam dua kali penyaluran.
”Bantuan ini, walau tidak besar, cukup sebagai biaya darurat,” ucapnya.
Kini, proses pencairan bantuan juga cukup ribet karena harus melalui bank pemerintah. Padahal, selama ini ia menggunakan bank swasta kala menerima gaji.
”Daripada repot, lebih baik saya tidak ambil bantuan tersebut,” kata Muhammad.
Pasca-kenaikan harga BBM, ongkos transportasi yang harus dikeluarkannya juga meningkat, dari semula Rp 400.000 per bulan menjadi sekitar Rp 600.000 per bulan. Ongkos tersebut dikeluarkan karena dia harus berkeliling Kota Palembang guna menawarkan produk yang dijualnya. Belum lagi waktu kerjanya terpotong karena harus mengantre hingga 30 menit untuk mendapatkan bahan bakar pertalite.
”Saya kira kalau harga sudah naik, antrean berkurang. Nyatanya (antrean) tetap saja panjang,” ujar Muhammad.
Tak sebanding
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sumsel Abdullah Anang beranggapan bantuan yang diberikan pemerintah tidak sebanding dengan kenaikan harga barang yang harus ditanggung para buruh akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Apalagi, dalam dua tahun terakhir upah buruh tidak naik.
Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, kemungkinan pada 2023 buruh di Sumsel tidak akan menerima kenaikan upah. Hal ini karena upah minimum regional (UMR) Sumsel sudah mencapai Rp 3.144.446 dan dianggap sudah melebihi batas atas yang ditentukan.
”Ini tentu akan sangat memberatkan buruh,” ujar Abdullah.
Pada kenyataannya, kenaikan harga BBM bersubsidi ini akan berdampak pada kenaikan harga kebutuhan rumah tangga yang diperkirakan mencapai 15 persen. Jika tidak ada penyesuaian upah, menurut dia, buruh akan semakin merana.
Jika dirinci dengan kebutuhan hidup saat ini, gaji Rp 3,5 juta hanya cukup untuk kehidupan selama dua sampai tiga minggu. Sisanya, buruh akan mencari pendapatan tambahan atau bahkan harus berutang.
”Belum lagi jika mereka memiliki lebih dari dua anak, tentu kebutuhannya akan lebih tinggi lagi,” ujar Abdullah. Karena itu, penyesuaian upah adalah satu-satunya solusi.
Sebelumnya, Kepala Dinas Sosial Sumsel Mirwansyah menyatakan, untuk bantuan langsung tunai (BLT) dampak kenaikan harga BBM, Sumsel mendapatkan jatah Rp 182,9 miliar yang akan dibagikan kepada 304.803 keluarga. Bantuan itu akan dibagikan dalam dua tahapan dalam jangka waktu empat bulan.
”Sekali tahapan mendapatkan Rp 300.000 per keluarga,” kata Mirwansyah. Dalam penyaluran, pihak Kementerian Sosial sudah memvalidasi penerima bantuan. Dengan pola ini, diharapkan bantuan dapat diterima oleh mereka yang berhak.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sumsel Erwin Soeriadimadja mengatakan, jika berkaca pada kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2015, dampak inflasi berkisar 0,8 persen sampai 1,5 persen. Risiko inflasi itu bisa diredam dengan usaha dari semua pihak.
”Peran dari pemerintah daerah juga sangat diperlukan, terutama dalam mengendalikan harga bahan pangan agar bisa terkendali sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga,” ujar Erwin.
Di sisi lain, bantuan sosial seperti bantuan tunai langsung dan BSU bisa segera disalurkan untuk mendongkrak daya beli masyarakat.
Ada beberapa langkah yang bisa diterapkan pemda, seperti refocusing anggaran untuk memberikan subsidi pada ongkos angkut atau bantuan sosial. Selain itu, perlu ada langkah lanjutan agar permintaan bahan pangan dan pasokan tetap terjaga.
Jika dilihat dari kondisi pasar, ungkap Erwin, beberapa komoditas volatile food mengalami penurunan harga. Hanya, kondisi ini mungkin saja bisa berubah pada akhir tahun ketika permintaan barang melonjak. Ia mengimbau, dalam kondisi seperti ini, warga lebih bijak dalam mengatur keuangan, terutama dalam pemakaian BBM.
Gubernur Sumsel Herman Deru menginstruksikan agar bantuan dari pemerintah akibat kenaikan BBM bersubsidi dapat segera disalurkan. Bantuan tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat Sumsel yang terdampak.
Dia mengakui bahwa inflasi di Sumsel merangkak naik pasca-kenaikan harga BBM, yakni di atas 5 persen. Namun, beragam upaya terus dilakukan. Salah satunya adalah memperkuat usaha mikro, kecil, dan menengah untuk bisa mendongkrak perekonomian daerah.
Misalnya, dengan memberikan kredit usaha rakat (KUR), pelatihan dan pendampingan, serta pemasaran yang berkelanjutan. Di sisi lain, pemerintah juga berupaya mengajak warga untuk mandiri dalam menyediakan sejumlah bahan pangan mulai dari pekarangan rumahnya.
”Dengan cara ini, diharapkan pola pikir masyarakat untuk lebih produktif bisa lebih terbangun,” katanya.