Penanganan pascaproduksi pada air kemasan galon perlu ditingkatkan untuk mengurangi potensi migrasi BPA ke dalam air.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Balai Pengawas Obat dan Makanan didorong untuk segera merevisi aturan tentang label pangan olahan menyusul temuan bisfenol A atau BPA di dalam air kemasan galon berbahan polikarbonat yang melebihi ambang batas di enam daerah, yakni Kota Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Penanganan pascaproduksi pada air kemasan galon perlu ditingkatkan untuk mengurangi potensi migrasi BPA ke dalam air.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sumatera Utara Asman Siagian, Selasa (13/9/2022), mengatakan, pihaknya mendorong Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) merevisi Peraturan BPOM Nomor 31/2018 tentang Label Pangan Olahan. ”Kami mendorong BPOM me-review peraturan itu, bahkan lebih jauh mendorong revisi aturan demi perlindungan pada masyarakat,” kata Asman.
Hal serupa juga disampaikan Kepala Ombusdman RI Perwakilan Sumatera Utara Abdyadi Siregar. Sosialisasi tentang bahaya BPA perlu terus dilakukan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait termasuk pencantuman label pada kemasan.
”Dengan berlaku kata wajib, sanksi pada badan usaha yang tidak menjalankannya bisa dilakukan, termasuk meninjau izin usaha hingga menutup usaha oleh pemerintah daerah,” kata Abdyadi.
Label yang dimaksud adalah pencantuman ”simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam”. Sementara air minum dalam kemasan (AMDK) yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan ”berpotensi mengandung BPA”
Pada akhirnya, kata Abyadi, bisa dilakukan pendekatan pidana jika terbukti konsumen memproduksi makanan berbahaya.
Seperti diketahui, hasil uji migrasi bisfenol A pada galon air minum dalam kemasan berbahan polikarbonat yang dilakukan BPOM pada 2021-2022 menemukan kandungan BPA melebihi ambang batas, yakni 0,6 bagian per sejuta (ppm), di enam daerah, yakni Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tenggara. Di Medan, misalnya, BPOM bahkan menemukan angkanya 0,9 ppm per liter.
BPA merupakan zat kimia pengeras plastik yang digunakan untuk memproduksi galon. Paparan berlebih pada air berbahaya jika dikonsumsi tubuh. Selain dapat mengganggu sistem reproduksi dan sistem kardiovaskular, BPA juga bisa memicu kanker, diabetes, obesitas, dan penyakit ginjal. Perkembangan otak juga terganggu, khususnya pada anak.
Paparan BPA dalam air kemasan galon diketahui banyak muncul pascaproduksi saat dalam proses distribusi dan penanganannya sebelum dikonsumsi masyarakat.
Pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Henny Sri Wahyuni, dalam sarasehan ”Upaya Perlindungan Kesehatan Masyarakat melalui Regulasi Pelabelan Bisphenol A pada Air Minum dalam Kemasan” di Medan, sehari sebelumnya, mengatakan, faktor penyebab migrasi BPA ke dalam air dipengaruhi oleh suhu dan waktu kontak, pH air mineral, sistem penanganan kemasan (handling system), goresan dan gesekan saat pencucian kemasan ulang, ketebalan botol, berat botol, rasio antara volume cairan dan volume botol kemasan, radiasi ultraviolet matahari, serta umur material.
”Diperlukan regulasi dan edukasi kepada masyarakat secara masif terkait penggunaan air minum dalam kemasan yang berpotensi mengandung BPA,” kata Henny.
Kami membeli air dalam kemasan galon bukan karena tidak ada air, tapi karena air yang berkualitas untuk dimasak tidak ada.
Pantauan Kompas di Medan, air kemasan galon didistribusikan ke distributor dengan truk-truk bak terbuka yang rawan terpapar matahari. Distributor mengantar air kemasan galon ke rumah-rumah warga menggunakan becak barang atau sepeda motor yang juga terbuka.
Ada distributor yang meletakkan air kemasan galon di tempat yang sejuk dan aman, bahkan membersihkan galon terlebih dahulu sebelum dijual kepada konsumen. Akan tetapi, banyak yang meletakkannya sembarangan di depan toko.
Novita Sianipar (43), ibu dua anak warga Helvetia, pinggiran Kota Medan, mengatakan, jangankan di warung, di supermarket saja air dalam kemasan galon diletakkan sembarangan, bahkan terpapar matahari. Banyak yang bahkan kemasannya bonyok-bonyok dan pembeli tidak diberi tisu antiseptik.
”Kami membeli air dalam kemasan galon bukan karena tidak ada air, tapi karena air yang berkualitas untuk dimasak tidak ada. Air PDAM sering kotor. Karena sekarang apa-apa mahal, pemerintah perlu menaikkan kualitas air PDAM,” kata Novita.
Ia mengaku pernah membaca tulisan bahaya BPA dan tahu penanganan galon yang buruk akan berakibat buruk pula pada kualitas airnya. Namun, ia baru tahu dari media bahwa penanganan yang buruk pada galon akan bisa menyebabkan air terkontaminasi BPA.
Novita berharap pemerintah memperhatikan kesehatan masyarakat dengan memberikan pilihan-pilihan air sehat yang bisa dikonsumsi, termasuk air dalam kemasan galon yang tidak berbahaya.
Sebelumnya, Leiman, Direktur CV Himudo, salah satu produsen air minum dalam galon di Medan, mengatakan, pihaknya mendukung langkah pemerintah. Pihaknya sudah memproteksi produk dengan menggunakan galon yang bersertifikat dan bebas BPA.
Menurut Leiman, pelaku usaha dan para pakar perlu duduk bersama untuk mencari tahu apa penyebabnya dan mempelajari bagaimana penanganan pascaproduksi. ”Kami, misalnya, selalu mengalasi produk air kemasan kami dengan karpet,” kata Leiman.
Adapun terkait pelabelan, pihaknya meminta kajian mendalam. Dia berharap isi ulang air kemasan juga perlu disertakan dalam kebijakan itu.
Sales Manager PT Tirta Alpin Makmur William mendukung apa pun peraturan pemerintah. Namun, selama ini tidak pernah ada imbauan terkait BPA kepada pelaku usaha.
Ke depan, idealnya perlu dilakukan sistem transportasi tertutup pada AMDK sehingga produk tidak terpapar sinar matahari. Selain itu, penting memberi lapisan penutup pada kemasan dan memberi informasi kepada konsumen untuk menjaga air dengan baik.