Berbagi Senyuman Bahagia Petani Hadapi Inflasi
Petani bawang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, berbagi hasil panen untuk menekan inflasi ke sejumlah daerah di Indonesia. Dukungan bagi mereka adalah harapan membuat petani dan bangsa ini tetap sejahtera.
Dari ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, petani bawang merah di Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ikut menekan inflasi negeri ini. Bawang milik mereka melanglangbuana ke ibu kota negara hingga melintasi lautan.
Rehat siang di kebun bawang merah Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terasa hangat, Senin (12/9/2022). Sembari menyantap donat dan teh manis panas, tawa delapan petani itu terdengar sangat renyah.
Gudang pengeringan bawang merah baru di hadapan mereka kali ini menjadi pokok pembicaraannya. Ditemani secangkir teh hangat, Acep Budiman (32) mengatakan, gudang itu bisa membantu proses pengeringan lebih cepat. Bila sebelumnya membutuhkan 8-14 hari, kini hanya dibutuhkan 4 hari.
Odeh Suganda (69) punya pendapat lain. Gudang itu membantu mengefisienkan proses pengepakan karena dilengkapi dua belt conveyor atau sabuk angkut. Alat itu memudahkan pengiriman bawang merah ke gudang pengepakan yang tepat berada di atasnya. ”Bagi petani yang sudah sepuh, itu sangat membantu,” katanya.
Sambil menggigit donat bertabur gula halus Omar Sanjaya (50), petani lainnya, berpendapat serupa. Bagi pemilik kebun bawang merah seluas enam hektar itu, daya tarik utama gudang pengering adalah mampu menekan pengeluaran biaya angkut.
Sebelumnya, menurut Omar, untuk membawa 60 ton bawang merah saat panen, dia membutuhkan 15 pekerja atau setara Rp 750.000 per hari. Butuh 10 hari untuk pengangkutan, dia harus menyediakan Rp 7,5 juta.
”Setiap pekerja minimal membawa 1 ton bawang per hari. Jarak kebun ke gudang pengeringan yang lama sekitar 6 kilometer,” katanya.
Kini, dia bisa berhemat. Gudang pengeringan yang baru berjarak sekitar 2 km dari kebunnya. Dengan begitu, dia hanya butuh enam orang. Biayanya kurang dari Rp 2 juta per bulan.
”Dulu, kalau sudah selesai proses angkut, bisa libur berhari-hari karena badan sakit semua. Sekarang, karena lebih dekat, saya tidak perlu bantu angkut bawang lagi. Saya bisa fokus menanam,” katanya.
Rampung tahun ini, gudang pengering baru berkapasitas 10 ton itu itu hadir lewat kerja sama Bank Indonesia Perwakilan Jabar dengan Kelompok Tani Tricipta. Keberadaannya melengkapi empat gudang pengeringan lain dengan kapasitas total hingga 50 ton.
Baca juga: Digitalisasi dan Keuangan Syariah, Dua Kawan Baik untuk Semua
Tricipta adalah kelompok tani di Kabupaten Bandung. Acep, Odeh, dan Omar adalah bagian dari kelompok tani yang menaungi sekitar 300 orang dengan luas lahan mencapai 200 hektar. Sebagian besar ditanami bawang merah.
”Di tengah hujan dan perubahan iklim, gudang pengering bersirkulasi udara dan conveyor belt sangat membantu proses produksi. Ujungnya, kami bisa menjaga pasokan dan menikmati harga tetap ideal di atas biaya produksi,” kata Ujang Margana (28), pendiri Kelompok Tani Tricipta di tahun 2015.
Berjarak sekitar 15 kilometer atau sejam dari pusat Kota Bandung, penerapan inovasi di Tricipta tidak hanya gudang pengeringan. Untuk pengolahan tanah, petani tidak lagi menggunakan cangkul konvensional. Sejak 2017, mereka terbiasa memakai kultivator karena lebih efisien dan bisa menekan ongkos produksi.
Ujang menyebut, bila hanya memakai cangkul, butuh sekitar Rp 15 juta dan 10 pekerja untuk mengolah 1 hektar tanah. Durasinya bisa memakan waktu hingga 30 hari.
Sementara dengan kultivator, biaya pengolahan tanah hanya Rp 2 juta. Hanya dengan lima tenaga kerja, proses pengolahan tanah bisa selesai dalam dua hari.
Proses tanam juga terukur lewat aplikasi teknologi Habibi Garden. Lewat aplikasi ini, petani bisa mendapatkan air sistem irigasi otomatis hingga pemantauan kondisi tanah dan fisik tanaman secara otomatis. Potensi hama dan penyakit juga bisa diprediksi lewat prakiraan cuaca terdigitalisasi.
”Semuanya bisa dipantau dari mana saja lewat telepon pintar,” kata Ujang yang mewajibkan petani Tricipta menanam dengan pola terasering dan tanaman penguat untuk meminimalkan longsor di pegunungan.
Berbagai inovasi membuahkan hasil manis. Kini, petani binaan Tricipta bisa menghasilkan sedikitnya 2.000 ton bawang merah setiap panen. Lewat pengolahan pascapanen yang tepat dan ketersediaan pasar, permintaan pasar hingga 14 ton per hari bukan masalah lagi.
”Untuk penjualan, selain konvesional, kami bekerja sama dengan lima lokapasar. Sekarang ada petani bawang yang bisa mendapat penghasilan hingga Rp 30 juta per bulan,” katanya.
Akan tetapi, Ujang menekankan, kelompoknya tidak hanya sekadar mencari untung besar. Untung sewajarnya, tapi bisa memberikan hasil yang panjang menjadi prinsip utama.
Ujang mencontohkan saat harga bawang merah tembus Rp 120.000 per kilogram di Jakarta tahun 2016. Saat itu, pihaknya menyanggupi permintaan pemerintah memasok 120 ton bawang merah. Harganya yang disepakati Rp 20.000 per kg. Dari analisis usaha produksi, Ujang mengatakan, petani masih untung Rp 4.000 per kg.
Baca juga: Bukan Sekadar Mendulang Ekonomi, Wisata Halal Ikut Sebarkan Kebaikan
Dukungan
Kerelaan itu terbukti manjur. Lonjakan harga mereda. Meski dianggap sejumlah pelaku usaha melepas keuntungan besar, Ujang dan kelompoknya diapresiasi bangsa. Bahkan, Presiden Joko Widodo mengundang langsung Ujang ke Istana Negara pada 2018.
Meski sangat bahagia kiprahnya dihargai negara, Ujang mengatakan, semua dilakukan bukan untuk mengejar penghargaan, tetapi demi masa depan petani.
Dia khawatir, apabila harga tidak terkendali, jalan keluar yang diambil selanjutnya adalah impor bawang. Impor, kata dia, bakal merugikan petani.
”Harga bawang merah impor saat masuk ke Indonesia Rp 6.000 per kg. Petani bisa untung satu musim tanam, tapi rugi hingga tiga musim tanam,” katanya.
Hingga tahun ini, niat baik itu masih dilakukan Tricipta. Pada Mei lalu, mereka memasok 8 ton bawang merah ke Bangka Belitung. Harganya Rp 25.000 per kg untuk menekan lonjakan harga Rp 85.000 per kg.
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Jabar Herawanto mengatakan, peran Kelompok Tani Tricipta vital mengendalikan inflasi, baik untuk jangka pendek maupun menengah-panjang. Ujang dan kelompoknya menyediakan diri sebagai sumber operasi pasar sekaligus menjaga pasokan produksi ke depan. Tidak mencari untung besar, cukup dengan margin ideal dari hasil produksinya.
”Kami berharap banyak dukungan bagi kelompok tani, seperti Tricipta, guna memberi ruang keleluasaan bagi mereka terus terlibat menekan inflasi,” katanya.
Merawat
Rehat para petani siang itu tidak lama. Terbiasa bekerja efisien, waktu sangat berharga untuk dibuang begitu saja. Apalagi, kini mereka tidak hanya punya bawang. Ada komoditas volatile atau harganya rentan bergejolak lainnya yang tengah mereka rawat.
Sejak setahun lalu, Omar membudidayakan kedelai. Ditanam bersama bawang merah, ia bisa panen 1,5 kuintal per tiga bulan. Harga kacang kedelai antara Rp 18.000-Rp 35.000 per kg.
”Ke depan, saya berharap bisa lebih banyak menanam produk pertanian yang harganya belum stabil. Selain bisa dapat untung, banyak orang pasti akan terbantu apabila pasokannya tersedia,” katanya.
Acep juga tengah merintis budidaya cabai rawit. Dia menanamnya tumpang sari bersama bawang di lahan seluas 10 hektar. Dalam 1 hektar bakal ditanam 25.000 pohon per hektar. Dia berharap bisa mendapat Rp 3 kg per pohon saat panen nanti.
Seperti bawang, Acep mengatakan, penanaman cabai lebih dari sekadar mencari untung. ”Bawang dan cabai pasangan memicu inflasi. Semoga cabai saya juga bisa ikut menekan dampak inflasi,” katanya dengan senyum mengembang.
Senyum anggota Tricipta idealnya menjadi milik petani lainnya di negeri ini. Gambaran masa depan ketahanan pangan bangsa ini seharusnya sama dengan wajah mereka, bahagia, bukannya muram.