Petani Milenial Penjaga Harapan Masa Depan Jabar
Petani milenial di Jawa Barat diharapkan menjadi masa depan ketahanan pangan. Semangat anak muda dan digitalisasi menjadi kombinasi terbaik untuk sejahtera kelak.
Kekayaan hasil perikanan, pertanian, dan perkebunan di selatan adalah masa depan ketahanan pangan Jawa Barat. Semangat anak muda dan penerapan teknologi menjadi harapan di tengah ancaman krisis global.
Menjelang senja, Minggu (28/8/2022), Aji (23) menabur benih udang vaname dan ikan nila di kolam UPTD Perikanan Air Payau dan Laut Wilayah Selatan (PAPLWS), Kabupaten Pangandaran. Ia tidak hanya membesarkan udang, tetapi juga menebar harapan hidup sejahtera.
Aji merupakan salah satu peserta Petani Milenial, program Pemprov Jabar yang mendorong generasi muda berperan dalam kemandirian pangan sejak 2021. Bersama lima pemuda lainnya, warga Pangandaran ini belajar membudidayakan udang vaname dan ikan nila dengan teknologi.
”Awalnya, saya lagi cari cara budidaya ikan nila dan udang di Youtube. Terus ada iklan program Petani Milenial. Saya daftar dua bulan lalu. Alhamdulillah, diterima,” kisahnya. Melalui program tersebut, Aji ingin belajar lebih dalam soal pembesaran dua komoditas perikanan itu.
Sebenarnya, Aji berasal dari keluarga petani udang vaname dan nila. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, remaja belasan tahun ini sudah membantu orangtuanya di tambak. Bahkan, saat sekolah menengah kejuruan soal komputer, ia bikin kolam udang kecil-kecilan.
Dengan modal sekitar Rp 2 juta, ia pernah memanen 300.000 udang kecil dalam waktu 22 hari. Aji meraup Rp 5 juta dengan keutungan bersih sekitar Rp 3 juta. Sayangnya, udangnya terserang penyakit yang tak ia ketahui. Keterbatasan modal memaksanya angkat tangan.
Ia lalu merantau ke Kota Banjar, 50 kilometer dari Pangandaran. Di sana, ia jadi bagian pemasaran di perusahaan ekspedisi. Namun, Aji merasa jiwanya bukan di bidang itu. Penghasilannya sekitar Rp 1,5 juta per bulan juga tidak cukup membiayai indekos dan lainnya.
”Kalau jenuh, saya cari kolam untuk nongkrong dan ngopi. Rasanya, adem aja lihat ikan,” ucap Aji. Ia pun mencoba budidaya benih ikan nila dua tahun terakhir. Dari ratusan indukan di 16 kolam, ia bisa memanen sekitar 100.000 ekor larva ukuran 2-3 sentimeter dalam sebulan.
Setiap ekor larva nila dijual Rp 150. Ia pun bisa meraup sekitar Rp 1,5 juta per bulan atau setara gajinya saat kerja di daerah orang. Aji juga mencoba membudidayakan larva udang vaname di kolam kecil ukuran 2 meter x 6 meter seminggu terakhir. Namun, kali ini usahanya berjalan di tempat.
”Saya mau coba pembesaran nila dan udang. Makanya, ikut program ini,” ucap Aji yang mengenakan baju putih bertuliskan ”Petani Milenial”. Dengan begitu, harga ikan nila bisa Rp 25.000-Rp 27.000 per kilogram, sedangkan udang vaname dipatok minimal Rp 65.000 per kg.
Baca Juga: Petani Milenial, Tunas-tunas Muda dari Jawa Barat
Sekitar dua pekan menjadi petani milenial, Aji belajar banyak hal baru. Misalnya, penggunaan probiotik atau bakteri yang dapat mengurai sampah organik dan sisa pakan sehingga menjaga kualitas air.
Teknologi pun diterapkan. Pemberian pakan otomatis hingga pengukuran suhu di kolam, misalnya, cukup melalui ponsel. Selain menghemat tenaga, aplikasi itu juga dapat memantau kondisi udang dan kebutuhan pakannya. Terlalu banyak pakan, menimbulkan kotoran.
Sebaliknya, kekurangan pakan bisa menyebabkan udang kanibal. Kondisi lebih buruk jika udang memakan temannya yang terserang virus. Otomatis, penyakit bakal menular cepat. Akhirnya, banyak udang mati seperti yang ia alami. ”Dulu, kasih pakan pakai kira-kira aja,” ucapnya.
Bagi Aji, penerapan teknologi itu tidak sulit jika pemerintah memfasilitasi alatnya. Apalagi, ia dan petani lainnya sudah punya gawai. ”Ilmu di sini akan saya aplikasikan dan bagi ke petani lainnya. Kalau di tempat saya, harus ada contoh sukses dulu baru yang lain mengikuti,” ucapnya.
Ramah lingkungan
Aji juga ingin membentuk kelompok petani udang dan nila. Budidaya udang membutuhkan kolaborasi karena sumber airnya sama, yakni laut. Jika laut tercemar akibat pakan berlebih karena tidak memanfaatkan teknologi, para petani juga yang terdampak. Lingkungan pun rusak.
”Kerja sama penting. Kalau saya dapat permintaan 2 ton, sedangkan saya cuma punya 5 kuintal, pasti saya minta ke petani lainnya,” ujarnya. Dalam tiga bulan, Aji menargetkan panen minimal 50 kg udang dengan harga Rp 65.000 per kg atau total Rp 3,25 juta.
Teknologi
Kepala UPTD PAPLWS Jabar Ade Kurniasih mengatakan, kolam tempat petani milenial belajar merupakan model baru, yakni berbentuk bulat berdiameter 20 meter. Kolam itu dapat meminimalisasi pencemaran air karena kotoran tidak tertumpuk di sudut seperti kolam kotak.
Hasil satu petak kolam, lanjutnya, bisa 1-1,5 ton udang. Ini setara dengan produksi 30 ton per hektar. Kolam itu juga lebih murah, yakni ratusan jutah rupiah, dibandingkan kolam kotak konvensional yang butuh Rp 1 miliar per hektar.
”Kolam ini diharapkan menarik minat (kaum) milenial. Kalau saya ’kolotnial’,” ucapnya tertawa. Kolot dalam bahasa Sunda berarti tua. Tahun ini, Ade bersiap untuk pensiun.
Kolam itu juga mendapat pasokan listrik dari panel surya berkapasitas 2 kilowatt peak (kWp). Pembangkit ramah lingkungan itu diklaim dapat menghemat energi 2.094 kilowatt hour (kWh) per tahun. Emisi karbon pun dapat berkurang 1.722,435 kilogram karbon dioksida per tahun. Penggunaannya disebut yang pertama diterapkan di Jabar.
Di masa depan, hidup paling nikmat itu tinggal di desa, rezeki kota. Caranya, dengan digitalisasi.
Seperti kolam petani milenial yang menggunakan energi terbarukan itu, ketahanan pangan masa depan ada di jalur selatan. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jabar Hermansyah mengatakan, kualitas air untuk budidaya udang di pantai selatan lebih baik dibandingkan pantai utara.
”Produksi udang di selatan bisa dua kali lipat dibandingkan daerah utara. Sudah ada beberapa investor dari dalam dan luar negeri yang ingin budidaya udang di selatan,” ujarnya. Dari potensi 10.000 hektar lahan tambak udang, baru ratusan hektar yang dikembangkan.
Upaya memanfaatkan kekayaan Jabar selatan adalah program Petani Milenial yang memadukan pertanian serta perikanan dengan digitalisasi. ”Di masa depan, hidup paling nikmat itu tinggal di desa, rezeki kota. Caranya, dengan digitalisasi,” ucap Gubernur Jabar Ridwan Kamil.
Pada Maret lalu, pihaknya mewisuda 1.249 warga Jabar berusia di bawah 40 tahun sebagai petani milenial. Syarat wisuda adalah pendapatan para peserta setara upah minimum kota.
Ridwan Kamil atau akrab disapa Emil optimistis petani milenial jadi solusi Indonesia di masa depan. Bertani di desa dengan bisnis mendunia, lanjutnya, bakal mengurangi kepadatan kota yang identik dengan stres.
Pandemi Covid-19, lanjut Emil, jadi bukti bagaimana perekonomian di kota terpukul. Virus kian cepat menyebar dalam daerah padat. Sebaliknya, sektor pertanian dan perikanan di desa bergeliat. Konsep petani milenial dapat menjadi solusi di tengah ancaman krisis pangan global.
Tahun ini, Pemprov Jabar berhasil mendapatkan 5.658 petani milenial baru, termasuk Aji. Mereka terpilih dari pendaftar mencapai 20.894 orang.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jabar Sumasna mengatakan, tahun ini, selain pemerintah, pendampingan juga ikut dilakukan petani milenial yang sudah diwisuda. Harapannya, petani milenial memiliki banyak bekal ilmu dan praktik secara bersamaan.
”Pendampingan dilakukan oleh petani di daerah yang sama. Harapannya, ke depan, mereka juga bisa berjejaring untuk mendapatkan pola usaha yang lebih baik,” katanya.
Iis Sunisih (35), petani kopi robusta di Sidamulih, Pangandaran, Jabar, tidak keberatan mendampingi para petani milenial muda baru. Dia sudah merasakan manfaat program itu.
”Kurang dari setahun, omzet usaha kopi saya meningkat 20 kali lipat. Dari awalnya Rp 1 juta per bulan menjadi Rp 20 juta per bulan,” kata Iis yang ikut program Petani Milenial tahun 2021.
Iis mengatakan, ia belajar banyak tentang membangun rasa percaya diri. Hal itu, kata dia, tidak ia miliki sebelum ikut Petani Milenial.
”Saat itu, saya sudah punya inovasi produk olahan kopi. Prosesnya dari riset cukup lama. Enak. Namun, belum tahu bagaimana mempromosikannya," katanya.
Kini, Iis tengah menikmati hasil risetnya. Ia benar, kopinya diminati karena punya rasa seperti durian dan gula aren. Dalam sebulan, ia bisa mengirimkan 1 kuintal kopi ke sedikitnya 20 kedai kopi di Pangandaran.
Dia juga sukses membuang stigma robusta sebagai kopi kelas dua menjadi incaran kedai kopi. Iis juga berjejaring usaha bersama sesama petani milenial di Garut dan Majalengka.
”Saya selalu terbuka bagi siapa saja yang mau belajar. Sekarang ada 20 petani di Pangandaran sedang belajar tanpa biaya. Tentu akan sangat menyenangkan apabila nanti petani milenial Jabar ikut sama-sama belajar mengangkat potensi alam Pangandaran,” tuturnya.
Petani milenial membuka jalan anak muda di Jabar sejahtera di kampung halaman. Lebih dari itu, mereka bakal menjadi andalan baru mendukung kemandirian hingga ketahanan pangan bangsa di tengah zaman yang penuh tantangan ini.
Baca Juga: Petani Milenial, Wajah Segar Pertanian Jabar