Petani Milenial, Wajah Segar Pertanian Jabar
Petani milenial diharapkan menjadi energi baru pertanian Jawa Barat untuk mendukung ketahanan pangan bangsa.
Sebanyak 1.249 warga Jawa Barat berusia di bawah 40 tahun diwisuda sebagai Petani Milenal di Kampus Institut Pertanian Bogor, Kamis (24/3/2022). Ketekunan mereka di bidang pertanian, perkebunan, hingga perikanan diharapkan meredakan stigma petani. Tidak lagi berkubang dalam kemiskinan, petani harus menjadi inspirasi.
Tahun 2019 menjadi titik terendah dalam hidup Yulianti (26), petani dan pengusaha gula aren dari Cililin, Bandung Barat. Saat itu, dia merugi hingga Rp 80 juta akibat tidak mampu memenuhi janji pengiriman komoditas. Petani mitra yang dia percaya memilih menjual gula aren kepada pihak lain.
”Saya terpukul dan sempat ingin mengakhiri usaha pembuatan gula. Namun, setelah berpikir panjang, saya urungkan. Ada banyak petani lain yang tidak boleh saya tinggalkan,” kata Yuli, Kamis.
Yuli adalah perintis Gandrung Alam, kelompok tani gula aren di Desa Batulayang, Cililin. Anggotanya ratusan petani aren di lahan seluas 36 hektar. Sejak 2016, misinya lebih dari sekadar mencari penghasilan. Dia ingin membantu petani gula aren hidup layak.
”Kebetulan petani gula aren masih minim pilihan menjual produk. Mereka terbelit tengkulak nakal,” kata lulusan D-3 Manajemen Komunikasi ini.
Pola bisnis yang dia pilih adalah perusahaan sosial. Setelah mengembangkan hasil panen dan pengolahan yang baik, anggota kelompok tani diajak mencari tengkulak yang mau membeli panen dengan harga ideal. Dia dan kelompoknya juga menyisihkan 5 persen pendapatan untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan bersama-sama.
”Kini, kemampuan kelompok kami beragam. Kami menjual gula semut dan gula aren cair,” kata anak buruh lepas ini.
Baca juga: Petani Milenial Menyongsong Masa Depan di Cekungan Bandung
Kini, ketekunannya terus berbuah manis. Penghasilan petani aren di kampung setara dengan pekerjaan orang kota. Dia mencontohkan, sebelum pandemi penghasilannya sekitar Rp 25 juta per bulan.
Tahun ini, saat pandemi Covid-19, dia tetap bersyukur karena masih mendapat Rp 10 juta per bulan. Dia bahkan melebarkan usaha ke Tasikmalaya, mendampingi petani gula aren di kaki Gunung Galunggung.
Pasar luar negeri juga tengah dia bidik. Dia sadar, ada peningkatan keahlian hingga sertifikasi yang harus dilakukan untuk meraih itu semua.
Alasan itu juga yang membuatnya ikut dalam program Petani Milenial. Dia berharap mendapat banyak masukan dan pendampingan untuk ekspor.
”Terakhir, ada sekitar 50 kilogram sudah kami kirim ke Mesir. Sampel gula aren juga sudah kami kirimkan ke Turki dan Dubai. Harapannya, semakin banyak gula aren dari kampung di Jabar bisa menembus pasar dunia,” katanya.
Perjalanan panjang
Kisah Yuli yang tinggal di desa, punya rezeki kota, dengan bisnis mendunia ini sejauh ini sesuai dengan Petani Milenial yang digagas Pemerintah Provinsi Jabar. Dimulai Maret 2021, 8.996 orang dalam rentang usia 19-39 tahun mendaftarkan diri.
Sebanyak 2.240 diterima pada gelombang pertama. Mereka didampingi Pemprov Jabar hingga Bank BJB.
Setahun kemudian, 1.249 orang di antaranya diwisuda Gubernur Jabar Ridwan Kamil di Bogor, Kamis. Yuli adalah salah satu lulusannya yang menerima rompi berwarna coklat dan topi lapangan berwarna senada.
Gubernur yang biasa disapa Emil ini mengatakan, Petani Milenial muncul melihat tingginya kekuatan komoditas pangan. Saat pandemi, misalnya, sektor pertanian tetap melejit.
Merujuk data Badan Pusat Statistik Jabar, geliat pertanian melejit saat komoditas unggulan lain cenderung negatif. Tahun 2020, pertanian tangguh bertahan.
Produk domestik regional bruto sektor pertanian pada triwulan II-2020 tumbuh 7,6 persen dibandingkan dengan triwulan II-2019. Nilai produksinya mencapai Rp 60,83 triliun. Bahkan, jika dibandingkan dengan triwulan I-2020, meningkat 45,8 persen.
Baca juga: Di Tengah Pandemi, Ekspor Pertanian Indonesia Terus Meningkat
Akan tetapi, fakta masih rendahnya kesejahteraan petani juga tidak bisa diabaikan. Petani masih sulit hidup sejahtera. Data BPS Jabar 2020, persentase penduduk miskin tinggi ada di Indramayu dengan 12,70 persen, Cirebon (11,24 persen), Cianjur (10,36 persen), Tasikmalaya (10,34 persen), dan Garut (9,98 persen).
Kondisi itu kian memprihatinkan saat banyak petani, termasuk di Jabar, berusia tidak muda. Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018 yang dilakukan BPS, jumlah petani di Jabar mencapai 3.250.825 orang.
Akan tetapi, hanya 945.574 orang (29 persen) berusia 25-44 tahun. Kondisi ini mengisyaratkan tidak hanya produk akhirnya yang butuh perbaikan, regenerasi petani jelas membutuhkan perhatian.
”Dengan kondisi itu, kami kira butuh petani berusia muda jika ingin menjamin ketahanan pangan tetap terjaga,” katanya.
Emil mengatakan, perjuangan para petani milenial yang diwisuda jelas tidak ringan. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi saat menjalankan program ini bersama.
Dia mengibaratkan program ini seperti hiking ke puncak gunung. Ada peserta yang kelelahan dan mundur melanjutkan perjalanan. Ada juga yang salah rute hingga pingsan di jalan. Namun, dia bersyukur sebagian besar peserta mendekati puncak gunung yang dituju.
Emil mengakui setahun belum bisa menggambarkan hasil akhir. Dia memprediksi hasilnya bisa dinikmati pada 2045. Saat itu, banyak anak muda kembali bertani dengan memanfaatkan perkembangan zaman.
”Sekarang, kami masih terus berusaha mencarikan lahan untuk petani yang tidak punya tanah, fasilitasi permodalan, hingga bantuan peralatan. Selain itu, sangat penting mempromosikan penerapan aplikasi teknologi untuk menghasilkan produk berkualitas dan terukur,” katanya.
Aplikasi teknologi
Ujang Margana (28) sudah merasakan keunggulan teknologi saat mengelola 30 hektar lahan bawang merah bersama Kelompok Tani Tri Cipta di Cimenyan, Kabupaten Bandung, sejak 2016.
Dia kini menerapkan aplikasi tanam yang bisa mengukur kebutuhan tanaman. Mulai dari kebutuhan nutrisi, curah hujan, hingga kecepatan angin. Semuanya bisa dikendalikan melalui telepon genggam.
”Jadi, sekarang saya bisa tahu tanaman mana yang butuh nutrisi. Dengan begitu, kami bisa menjaga dan meningkatkan kualitas produksi,” kata Ujang yang menjadi penjamin bagi 300 petani binaan yang mengelola lebih dari 200 hektar lahan bawang.
Dia yakin, apabila hasil produksi terus terjaga, manfaatnya bisa dirasakan banyak pihak. Ia mencontohkan, pada 2016 pernah terlibat membuat stabilitasi harga bawang.
Saat itu, harga bawang di pasar menyentuh Rp 120.000 per kg. Bukannya mencari untung, ia justru menyanggupi permintaan pemerintah menggelontorkan 5.000 ton ke pasar.
”Alhamdulillah, harganya turun, pasokan aman. Kami berpikir masalahnya bakal tambah panjang untuk petani jika masuk bawang impor,” katanya.
Pilihan itu terbukti berbuah manis. Pendapatan Ujang tidak berkurang. Dia kini bahkan mendapat Rp 30 juta per bulan dari hasil penjualan bawang yang stabil. Fakta pendapatan yang menjanjikan itu, kata dia, berhasil menarik banyak petani muda untuk kembali ke kebun.
Inspirasi
Tidak jauh dari Irfan Rahadian (32), petani sekaligus pemilik kedai kopi Kiwari juga berhasil mengajak anak muda bertani. Tidak sekadar berbicara rupiah, lewat kelompok tani Kiwari Farmers, lulusan Gottingen University, Jerman, ini mengedukasi warga dengan beragam ilmu baru.
Salah satunya adalah pentingnya menanam kopi untuk mencegah longsor. Kawasan Cimenyan adalah dataran tinggi di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang rawan gerakan tanah.
”Kami ajak petani menanam asparagus dan cabe gendot hingga tanaman jamu di bawah pohon kopi. Harapannya, alamnya terjaga, petani tetap mendapat penghasilan tambahan,” kata Irfan yang bisa meraup Rp 100 juta per bulan dari lahan kopi seluas 3 hektar.
Selain itu, ia juga menyisihkan sebagian pendapatan untuk petani. Bentuknya pelatihan hingga pembagian bibit berkualitas. Dengan begitu, kemampuan petani mengelola kebunnya bisa jauh lebih baik.
Sejauh ini, ide Irfan diterima petani. Buktinya, kopi Kiwari kerap didapuk sebagai salah satu yang berkualitas dalam beragam kompetisi. Kopi andalannya, Manglayang Karlina, juga laku dikirim ke sejumlah negara. Model bisnisnya juga menjadi inspirasi bagi petani lain.
”Saya selalu terbuka untuk berbagi ilmu dengan banyak orang yang mau belajar. Yang pasti, jadi petani harus dimulai dari cinta. Lewat bertani, banyak kebermanfaatan yang bisa kita dapatkan hingga berikan kepada orang lain,” kata Irfan.
Muda, penuh cinta, dan punya nyali bertani adalah perpaduan tepat untuk menjadi petani milenial yang menginspirasi. Semua diharapkan menjadi wajah masa depan derah dari Jabar untuk menjaga ketahanan pangan bangsa.
Baca juga: Peran Petani Milenial Wujudkan Ketahanan Pangan Nasional