Jabar Alokasikan Rp 80 Miliar untuk Antisipasi Inflasi Pasca-Kenaikan Harga BBM
Bayang-bayang inflasi mulai diantisipasi pasca-kenaikan harga BBM bersubsidi. Setiap daerah menggelontorkan anggaran untuk memasang jaring pengaman sosial dalam bentuk bantuan tunai dan lainnya.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Jawa Barat mengalokasikan Rp 80 miliar untuk mengantisipasi potensi inflasi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM. Dana tersebut dibagi menjadi bantuan sosial hingga mengakomodasi fasilitas untuk menghadapi lonjakan harga.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil di Kota Bandung, Senin (12/9/2022), menyatakan, pengalokasian dana sesuai dengan arahan pemerintah pusat melalui peraturan menteri keuangan. Penggelontoran dana dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari bantuan sosial hingga memenuhi fasilitas lainnya.
Di samping itu, Gubernur yang kerap dipanggil Emil ini menyatakan, setiap pemerintah kabupaten dan kota di Jabar juga mengalokasikan Rp 3 miliar hingga Rp 4 miliar untuk kepentingan yang sama. Dia berharap dana yang digelontorkan ini bisa mengurangi dampak kenaikan harga di tengah-tengah masyarakat.
”Pemerintah Provinsi Jabar ada anggaran Rp 80 miliar untuk bansos (bantuan sosial), Rp 30 miliar untuk (bantuan) tunai, sisanya untuk fasilitas lain-lain. Jika dikalikan dengan 27 (kabupaten/kota), ada Rp 180 miliar dana dari pemerintah daerah untuk bantuan sosial,” paparnya setelah rapat daring pengendalian inflasi di daerah bersama Presiden Joko Widodo.
Menurut Emil, saat ini Jabar masih belum merasakan lonjakan harga bahan pokok setelah kenaikan harga BBM. Sebelumnya, saat memantau Pasar Tradisional Balubur Town Square (Baltos), Kota Bandung, di hari yang sama, dia melihat tidak semua harga terpantau naik.
Emil hanya menemukan harga ikan yang terpantau naik setelah kenaikan harga BBM. Dia melihat kenaikan harga ikan laut mencapai Rp 6.000 per kilogram. Sementara lonjakan harga komoditas lainnya, seperti cabai, terjadi karena pasokan dan itu sudah terjadi sebelum harga BBM naik.
”Tidak ada kenaikan setelah BBM itu kecuali ikan. Jadi, itu karena pengaruh BBM ke nelayan langsung. Yang tadinya Rp 20.000, sekarang dijual Rp 26.000. Kalau dinamika yang lain, itu karena suplai bukan karena BBM,” paparnya.
Meski belum terjadi kenaikan, sejumlah sektor akan diperhatikan untuk menghadapi potensi lonjakan harga. Apalagi, kenaikan harga BBM bersubsidi mencapai 30 persen, yakni dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 untuk jenis pertamax. Sementara harga BBM jenis solar mengalami kenaikan dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Kedua harga tersebut berlaku di sebagian besar daerah, seperti Sumatera dan Jawa.
”Kami terus pantau perkembangan situasi ekonomi pasca-kenaikan harga BBM. Pihak yang terdampak ini antara lain petani, nelayan, dan pelaku UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah),” paparnya.
Di samping itu, pengawasan terhadap penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) BBM terus dilakukan. Dia mengklaim data yang disalurkan mampu tepat sasaran karena telah melakukan penyaringan hingga 23 kali sejak zaman pandemi Covid-19.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar Iendra Sofyan menyebut, salah satu sektor yang mendapatkan perhatian berkaitan dengan rantai pasok yang panjang. Adanya distribusi ini membutuhkan transportasi yang notabene terdampak atas kenaikan harga BBM.
”Biasanya kenaikan barang terjadi pada rantai distribusi yang panjang. Karena itu, bantuan sosial ini akan diarahkan ke nelayan dan petani. Saya kira bansos ini tepat kalau diarahkan ke jasa transportasi, khususnya untuk perikanan,” paparnya.