Secara umum, meningkatnya tekanan inflasi di Aceh karena adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. Faktor penyebab bisa karena distribusi pangan yang tidak merata dan produksi yang tidak mencukupi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Aceh berusaha mengendalikan inflasi dengan meningkatkan produksi komoditas pangan pemicu inflasi dan pemerataan distribusi. Kemandirian pangan menjadi solusi paling tepat untuk mengendalikan inflasi.
Wakil Ketua Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Aceh Achris Sarwani, Minggu (11/9/2022), mengatakan, pihaknya telah menggelar rapat khusus membahas strategi pengendalian inflasi, salah satunya terkait produktivitas pangan. ”Kita sepakat bersama untuk penanganan inflasi Aceh melalui gerakan pangan. Ketika kita bisa menghasilkan pangan penyumbang inflasi, ini akan mampu menekan laju inflasi,” katanya.
Dalam beberapa bulan terakhir, komoditas pangan pemicu inflasi di Aceh di antaranya bawang merah, cabai, dan telur ayam ras. Diprediksi hingga akhir tahun 2022 komoditas pangan tetap akan menjadi pemicu inflasi di Aceh.
Akumulasi laju inflasi Provinsi Aceh pada 2022 sebesar 6,97 persen. Angka ini menempatkan Aceh sebagai provinsi dengan laju inflasi terbesar kelima di Indonesia.
”Pemerintah pusat, daerah, dan semua stakeholder akan menjaga inflasi tetap terkendali, terutama harga pangan. Dampak rambatan kebijakan ini perlu diantisipasi. Oleh karena itu, untuk melindungi masyarakat yang kurang mampu dan rentan, pemerintah memberikan bansos dan bantuan langsung tunai,” ujar Achris.
Dia mengatakan, secara umum, meningkatnya tekanan inflasi di Aceh karena adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. Faktor penyebab bisa karena distribusi pangan yang tidak merata dan produksi yang tidak mencukupi.
Dia mencontohkan, kebutuhan bawang merah di Aceh setahun 70.000 ton, tetapi yang mampu diproduksi hanya sebanyak 12.000 ton. Selama ini kekurangan dipasok dari provinsi lain. Namun, persoalan bukan selalu karena kekurangan produksi, melainkan distribusi yang tidak merata juga dapat memicu gejolak harga.
Achris menambahkan, manajemen pola tanam juga perlu dibenahi agar ketersediaan pangan merata di sepanjang waktu. Selama ini petani menanam serempak sehingga ketika panen besar otomatis harga rendah. Sebaliknya, saat panen sedikit, harga melambung. Dia mengatakan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dapat mendorong kenaikan harga komoditas pangan karena terjadi kenaikan biaya produksi atau biaya angkut.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bidang Ketersediaan Pangan Dinas Pangan Aceh Badriah Hasballah mengatakan, saat ini stok pangan strategis mencukupi. Namun, potensi perubahan harga dapat terjadi karena dipengaruhi faktor lain, seperti biaya produksi dan biaya angkut. ”Kenaikan harga BBM membuat biaya angkut naik. Kami memberikan subsidi biaya angkut untuk menekan kenaikan harga barang,” katanya.
Komoditas pangan strategis di antaranya beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, daging sapi/kerbau, daging ayam, telur ayam, gula pasir, dan minyak goreng. Di Aceh, komoditas seperti bawang merah, cabai, telur ayam, dan ikan tongkol paling sering memicu inflasi. Oleh karena itu, selain menjamin produksi, pemerataan distribusi juga menjadi jalan keluar mengendalikan inflasi.
Selain pemerintah, dunia kampus juga mengambil peran untuk mengendalikan inflasi. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh mendampingi petani bawang di Aceh Besar untuk meningkatkan produksi. Sementara di Aceh Tamiang, pemerintah setempat melakukan penanaman jagung dalam skala besar.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah Aceh Bustami Hamzah menyatakan, koordinasi antara pihak diperkuat untuk menjalankan langkah-langkah yang sudah disusun. Di sini lain, penggunaan anggaran daerah untuk program pengentasan kemiskinan akan dimaksimalkan.