Harga Tuna di Sulut Disebut Meningkat Seiring Kenaikan Harga BBM
Harga ikan tuna di Sulawesi Utara disebut mulai merangkak naik seiring meningkatnya harga bahan bakar minyak. Para nelayan dengan kapal berbobot hingga 30 gros ton pun diimbau untuk mengurus surat rekomendasi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Harga ikan tuna di Sulawesi Utara disebut merangkak naik seiring meningkatnya harga bahan bakar minyak. Para nelayan dengan kapal berbobot hingga 30 gros ton diimbau segera mengurus surat rekomendasi agar bisa tetap menggunakan bahan bakar minyak bersubsidi.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulut Tienneke Adam, Jumat (9/9/2022), mengatakan, harga tuna di setiap tingkatan kualitas (grade) telah meningkat sekitar Rp 5.000 per kilogram. Tuna grade A dan B yang sebelumnya di kisaran Rp 70.000-Rp 80.000 per kg kini menjadi Rp 85.000-Rp 95.000 per kg.
”Sekarang harganya sudah bersaing dengan harga di Filipina. Kan sejak dulu, harga tuna di Filipina berkisar Rp 80.000-Rp 90.000 per kg. Makanya, banyak nelayan kita di wilayah kepulauan (Sangihe dan Talaud) yang jual ke sana,” kata Tienneke, merujuk kemampuan nelayan lokal berlayar ke General Santos di Davao dalam waktu 3-4 jam.
Adapun, tuna grade C yang dijual untuk konsumsi lokal, termasuk diolah menjadi ikan kaleng, kini mencapai Rp 30.000 per kg dari biasanya Rp 20.000 per kg. Kendati begitu, Harga tuna kaleng relatif konstan di kisaran Rp 10.000-Rp 14.000 per buah.
Menurut Tienneke, kenaikan harga tuna adalah hal yang tidak bisa dihindari akibat kenaikan harga pertalite dan solar bersubsidi. Pertalite melonjak dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter, sedangkan solar bersubsidi dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter sejak 3 September.
”Mau tidak mau, otomatis harga produk perikanan harus naik. Tidak mungkin harga tidak naik karena operasional kapal perikanan tinggi, biaya melaut juga tinggi. Kalau harga tidak naik akan merugikan nelayan,” kata Tienneke.
Ia pun mengimbau semua nelayan, dari kecil sampai yang menggunakan kapal 30 gross ton (GT), untuk mengurus surat rekomendasi di DKP Sulut. Dengan begitu, mereka bisa menikmati harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang disebut telah diupayakan agar dinikmati yang berhak, termasuk nelayan.
”Untuk sekarang memang nelayan belum ribut memprotes. Kita, ada SPBN (stasiun pengisian bahan bakar nelayan) khusus nelayan kecil sampai kapal 30 GT. Mereka masih bisa dapat subsidi kalau beli di SPBN. Kalau tidak mengurus rekomendasi, ya tidak,” kata Tienneke.
Di sisi lain, Ketua Ikatan Pengusaha Perikanan (IPP) Sulut Budi Wahono mengatakan, ketersediaan BBM adalah tantangan terbesar untuk nelayan saat ini. Pada Maret 2022, misalnya, solar bersubsidi sempat langka sehingga para pengusaha perikanan harus membiayai kapal penangkap dengan solar industri yang harganya saat itu Rp 13.200 per liter.
Sepanjang 2022, Sulut mendapatkan alokasi solar bersubsidi sebanyak 143.987 kiloliter. Ketersediaannya memang sudah lebih stabil. Namun, peningkatan harga tidak dimungkiri tetap berdampak bagi nelayan dan pengusaha perikanan. Kendati harga ikan terpantau naik, trennya selalu fluktuatif.
”Harga ikan tidak bisa langsung ikut naik seiring BBM. Dia sangat dipengaruhi alam. Saat angin kencang atau saat musim spawning (pemijahan), ikan itu pasti sulit didapat. Tetapi, biaya yang kami keluarkan sama. Sebaliknya kalau ikan lagi banyak antara Maret dan Juni, harganya juga pasti turun,” kata Budi.
Ia pun memprediksi kesulitan pengusaha ikan akan semakin bertambah dengan penerapan kebijakan perikanan terukur yang sedang diuji coba oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Biaya kontrak penangkapan ikan dengan kuota 100.000 ton di zona industri, diduga pasti akan sangat besar. Biaya operasional sehari-hari pun akan membengkak karena kenaikan BBM.
”Harus diingat bahwa ikan ini bukan sumber daya yang diam di tempat. Dia bergerak terus, bisa berkurang jumlahnya karena predasi atau penyakit. Apakah pemerintah bisa menjamin ketersediaan ikan di satu tempat itu konstan? Kalau ternyata tidak sampai 100.000 ton, apa pemerintah mau mengganti rugi? Keilmiahan data potensi itu harus dipertanggungjawabkan,” ujar Budi.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut Rignolda Djamaluddin meminta pemerintah memudahkan akses bagi nelayan kecil untuk membeli BBM bersubsidi. Di Manado, misalnya, ada ratusan nelayan tradisional yang tersebar di garis pantai sepanjang 18,7 kilometer. Namun, SPBN hanya terletak di Pelabuhan Tumumpa di sisi utara.
Nelayan pun selama ini bergantung pada pertalite eceran seharga Rp 10.000 per liter, sebelum 3 September. Namun, seiring kenaikan harga, pertalite eceran juga meningkat menjadi Rp 13.000 per liter.
“Seharusnya pemerintah mulai menyediakan SPBN yang dikelola langsung oleh nelayan atau kelompok nelayan tradisional. Jadi, sebelum mereka berangkat melaut, bisa mampir dulu di situ. Nelayan tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk pergi ke Tumumpa,” katanya.