Balada Mim, Nelayan Pulau Terluar di Kepulauan Riau yang Tercekik Harga BBM
Nelayan di pulau terluar perbatasan negara menghabiskan lebih dari 75 persen penghasilan untuk membeli bahan bakar. Bantuan langsung tunai dari pemerintah bak gula-gula yang bakal lenyap dalam sekejap.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
Kelompok nelayan yang mencari penghidupan di pulau terluar negeri ini adalah kelompok rentan yang paling merasakan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Tidak cukup dengan bantuan langsung tunai (BLT) yang besarannya tidak memadai, tetapi juga diperlukan tindakan afirmasi untuk secara langsung memastikan mereka mendapatkan akses pada BBM bersubsidi yang menjadi hak mereka.
”Kalau (harga) minyak goreng naik, kami masih bisa makan (dengan) merebus ikan. Tetapi kalau (harga) pertalite yang naik, kami tak bisa kerja untuk cari makan,” kata Mim (43), Kamis (8/9/2022).
Mim tinggal di Pulau Pelampung, Kelurahan Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Pulau itu berbatasan dengan perairan Singapura. Ada tiga keluarga yang tinggal di sana.
Sehari-hari, Mim mencari nafkah dengan menangkap ikan menggunakan jaring dan memasang bubu (perangkap ikan). Dari hasil menjual ikan, ayah dua anak itu setiap bulan mengantongi sekitar Rp 4 juta hingga Rp 5 juta.
Namun, uang itu tak lama digenggam Mim. Sebagian besar habis untuk membeli pertalite sebanyak dua drum atau 400 liter untuk kebutuhan satu bulan berikutnya. Saat harga pertalite masih Rp 7.650 per liter, ia bisa membeli dua drum dengan harga Rp 3 juta.
”Setelah harga pertalite naik jadi Rp 10.000, saya cuma mampu beli 1,5 drum. Kalau dipaksakan tetap beli 2 drum, nanti (hasil jual ikan) tak ada sisa untuk belanja,” ujar Mim.
Sebagai warga yang tinggal di pulau terluar, perahu motor adalah kendaraan satu-satunya untuk Mim dan keluarganya. Selain dipakai saat menangkap ikan, perahu juga digunakan saat belanja atau berobat ke pulau lain.
Mim belum tahu apakah akan mendapat bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 600.000 yang disalurkan untuk mengatasi kenaikan harga BBM. Namun, sekalipun mendapat BLT, uang bantuan itu jauh dari cukup bagi warga pulau terluar seperti Mim untuk menutup kebutuhan membeli bahan bakar.
”Saat menaikkan harga BBM, mungkin pemerintah tak melihat masyarakat di pulau terluar seperti kami. Ke mana-mana kami harus pakai perahu sendiri karena tak ada angkutan umum di pulau terluar,” ucap Mim.
Selain penyaluran BLT sebesar Rp 600.000 dari pemerintah pusat, warga miskin juga akan mendapat bantuan sosial dari pemerintah daerah mengatasi kenaikan harga BBM. Terkait hal itu, Pemerintah Provinsi Kepri telah mengalokasikan 2 persen dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH).
Gubernur Kepri Ansar Ahmad menyatakan, tersedia dana sebesar Rp 5,5 miliar untuk bantuan sosial bagi warga miskin. Bantuan dari pemerintah daerah akan difokuskan untuk subsidi di sektor transportasi bagi nelayan, sopir angkot, dan pengemudi ojek.
Selain itu, Pemprov Kepri juga membatasi kenaikan harga tiket kapal sebesar 20 persen. Ansar meminta operator kapal penyeberangan tidak menaikkan harga tiket di atas batas itu agar tidak memberatkan warga.
Secara terpisah, Anggota Komisi IV DPRD Batam Mochamad Mustofa mengatakan, dampak kenaikan harga BBM lebih berat dirasakan di pinggiran negeri, apalagi di wilayah kepulauan. Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM adalah pil pahit bagi warga miskin di Kepri.
Mustofa juga menilai, BLT sebesar Rp 600.000 yang diberikan pemerintah juga tidak menyelesaikan persoalan. Jumlah itu terlalu kecil untuk menjadi bantalan sosial bagi warga miskin untuk memenuhi kebutuhan di tengah harga kebutuhan lain yang nanti juga akan ikut naik.
”Kalau pemerintah bilang subsidi BBM salah sasaran, seharusnya solusinya tidak dengan menaikkan harga BBB, tetapi menciptakan sistem distribusi BBM bersubsidi yang tepat sasaran untuk warga miskin,” ucap Mustofa.