Menyeberangi Pulau Terluar demi Memburu Vaksin Covid-19
Di sebuah pulau terpencil yang terletak di perairan perbatasan Indonesia-Singapura, dua laki-laki harus berjuang mengarungi selat dengan perahu kayu yang rapuh demi mendapatkan vaksin Covid-19 untuk keluarganya.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Bagi warga di pulau terluar, mendapatkan vaksin Covid-19 bukanlah perkara yang mudah. Setelah berlayar menyeberangi lautan, belum tentu di pulau yang dituju bisa langsung mendapatkan vaksin.
Pagi itu, tiga orang dewasa dan seorang anak laki-laki duduk terpisah dari kerumunan warga lain yang menunggu giliran vaksinasi Covid-19 di Pulau Pemping, sekitar 10 kilometer dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, Selasa (29/6/2021). Ketiganya warga Pulau Pelampung yang merupakan pulau terluar di Kelurahan Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam.
Pulau Pelampung berbatasan dengan perairan Singapura. Pulau itu dihuni tiga keluarga dengan 11 jiwa yang berasal dari satu garis keturunan sehingga ”bin Hasan” menjadi nama belakang mereka semua. Di sana, mereka harus menampung air hujan untuk mendapatkan air bersih. Adapun aliran listrik didapat dari panel surya pada siang dan mesin diesel saat malam.
Pagi itu, Mim bin Hassan (42) mengajak kakaknya, yakni Mazlan bin Hasan (47) beserta istri dan anaknya, mengikuti vaksinasi Covid-19 di kantor kelurahan di Pulau Pemping. Dari Pulau Pelampung, mereka berangkat menggunakan perahu kayu dengan mesin ganda. Perjalanan ke Pulau Pemping yang jaraknya sekitar 10 kilometer membutuhkan waktu lebih kurang 30 menit.
Ini adalah kali kedua Mim mendatangi pulau lain untuk mendapatkan vaksin. Satu minggu sebelumnya, ia datang ke kantor kecamatan di Pulau Belakang Padang yang berjarak dua kali lebih jauh dari perjalanan ke Pulau Pemping. ”Waktu itu baru sekitar pukul 08.00, tetapi antreannya sudah lebih dari 100 orang. Jadinya saya mengurungkan niat,” katanya.
Padahal, Mim sudah merogoh kocek Rp 450.000 untuk menempuh perjalanan dari Pulau Pelampung ke Pulau Belakang Padang. Uang itu ia pakai untuk membeli bensin sebanyak 60 liter. Sebenarnya, Mim bisa menghemat biaya jika hanya memakai satu mesin. Namun, perjalanan akan lebih lama dan risikonya lebih besar apabila hanya bergantung kepada satu mesin.
”Maklumlah, ini, kan, di perbatasan Indonesia-Singapura. Kalau hanya bawa satu mesin terus mogok, bisa-bisa nanti perahu kami hanyut sampai ke perairan Singapura lalu masalahnya jadi semakin panjang,” ujar Mim.
Orangtua Mim pernah bercerita kepadanya, dulu Pulau Pelampung yang luasnya 0,7 hektar itu penduduknya jauh lebih banyak dari sekarang. Namun, pulau itu ditinggalkan seluruh penduduknya saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia pada 1960-an.
”Saat konfrontasi Indonesia-Malaysia mereda setelah Soekarno lengser, hanya atok (kakek) saya yang kembali lagi ke Pulau Pelampung. Sampai sekarang, penghuni pulau itu hanya keluarga kami,” ucap Mim.
Aparat pemerintahan, petugas kesehatan, dan relawan jemput bola mendatangi pulau-pulau dengan perahu. Kami meyakini warga di pulau-pulau terluar juga memiliki hak yang sama untuk mendapat akses kesehatan seperti halnya warga di daerah lain.
Almarhum Hasan, ayah Mim, juga meneruskan tekad sang atok untuk bertahan tinggal di Pulau Pelampung. Meskipun bermukim di pulau terpencil, almarhum Hasan tak mau pendidikan empat anaknya terabaikan. Mim dan tiga orang kakaknya semua bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi di Yogyakarta.
”Saya ambil jurusan hubungan internasional, sedangkan Bang Mazlan ambil teknik perminyakan. Namun, kami memilih tetap tinggal di pulau (Pemping) meneruskan pekerjaan ayah sebagai nelayan dan merawat ibu yang sudah tua,” ujar Mim.
Hingga 30 Juni, kasus positif Covid-19 secara kumulatif di Kecamatan Belakang Padang mencapai 156 orang. Sebanyak 16 orang di antaranya meninggal. Hal itu membuat Mim dan Mazlan khawatir. Meskipun tinggal di pulau yang terpisah jauh dari tempat lain, itu tidak menjadi jaminan mereka bakal terus terlindungi dari paparan virus Covid-19.
”Dua minggu sekali kami harus pergi ke (Pulau) Belakang Padang untuk belanja kebutuhan pokok. Di sana, kan, kami ketemu banyak orang. Jadi, kami berpotensi tertular Covid-19 juga,” kata Mim.
Namun, kekhawatiran Mim sedikit berkurang setelah mendapat suntikan pertama vaksin Sinovac di Pulau Pemping pada pagi hari itu. Hari itu, setidaknya 20 liter bensin yang ia beli seharga Rp 150.000 untuk mencapai Pulau Pemping tidak terbuang percuma.
”Ternyata begini, ya, rasanya disuntik vaksin (Covid-19) itu, cepat sekali dan enggak terasa apa-apa. Cuma kaya begini, kok, ada orang yang takut divaksinasi,” ujarnya mengusap-usap lengan sambil berjalan menuju perahu kayu miliknya untuk pulang ke Pulau Pelampung.
Pulau Pelampung tempat tinggal Mim adalah salah satu dari 166 pulau di wilayah Kecamatan Belakang Padang. Dari ratusan pulau itu, hanya 44 pulau yang berpenghuni. Di kecamatan itu, jumlah warga yang harus divaksinasi ada 13.801 jiwa. Hingga 30 Juni, warga yang sudah divaksinasi mencapai 5.939 jiwa.
Camat Belakang Padang Yudi Admajianto mengatakan, antusiasme warga pulau-pulau sekitar untuk mengikuti vaksinasi sangat tinggi. Bahkan, kini, dua hari sekali petugas kesehatan dari puskesmas setempat harus berkeliling ke enam kelurahan dengan perahu untuk menjemput bola.
”Aparat pemerintahan, petugas kesehatan, dan relawan jemput bola mendatangi pulau-pulau dengan perahu. Kami meyakini warga di pulau-pulau terluar juga memiliki hak yang sama untuk mendapat akses kesehatan seperti halnya warga di daerah lain,” kata Yudi.