Harga Baru Pertalite Menyulitkan Hidup Nelayan Tradisional di Manado
Lonjakan harga pertalite kala harga ikan stagnan menyebabkan nelayan tradisional di Manado terimpit secara ekonomi. Mereka ingin setidaknya diperbolehkan mengakses bahan bakar bersubsidi tersebut di SPBU.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Lonjakan harga pertalite kala harga ikan stagnan menyebabkan nelayan tradisional di Manado, Sulawesi Utara, terhimpit secara ekonomi. Mereka ingin setidaknya diperbolehkan mengakses bahan bakar bersubsidi tersebut di stasiun pengisian bahan bakar umum mana pun yang paling dekat jangkauan.
Hal ini diungkapkan salah satunya oleh Haris Nyompa (54), ketua Kelompok Nelayan Kerang Putih, ketika ditemui di dermaga kawasan pertokoan Megamas, di daerah Sario, Selasa (6/9/2022). Beban yang ditanggung para nelayan tradisional sangat berat karena mereka selama ini sangat bergantung pada pertalite yang dijual secara eceran.
Namun, sejak harga pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter pada Sabtu (3/9/2022), harga pertalite eceran turut meningkat dari Rp 10.000 menjadi Rp 12.000-Rp 13.000 per liter. ”Memang ada yang hanya butuh minimal lima liter untuk melaut 1-2 mil, tetapi ada juga yang butuh 25 liter karena harus cari ikan di dekat Pulau Bunaken, sekitar 14 mil laut,” kata Haris.
Mayoritas nelayan sebenarnya sudah memiliki kartu pembelian BBM bersubsidi, tetapi hanya dapat digunakan di stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) di Pelabuhan Perikanan Tumumpa, di ujung utara Manado. Padahal, ada 980 nelayan tradisional yang tinggal di sepanjang garis pantai kota, sekitar 18,7 kilometer dari utara ke selatan.
Menurut Haris, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyewa mobil atau sepeda motor dengan bak, ditambah ongkos bensin dan kurirnya, justru lebih mahal bagi belasan anggota kelompoknya. Pada saat yang sama, mereka tidak diperbolehkan membeli pertalite di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
”Ada SPBU di seberang Boulevard (Piere Tendean), tetapi petugas tidak mau layani sehingga kami terpaksa beli eceran saja. Ini yang bikin berat karena kadang tangkapan tidak seberapa, apalagi saat angin kencang. Dapat 150 ekor tude (ikan kembung) sudah bagus,” kata Haris.
Alfan Lawaneng (46), anggota Kelompok Nelayan Firdaus yang juga bermarkas di kawasan Megamas, berharap nelayan tradisional yang menggunakan perahu bermesin ketinting atau motor tempel diizinkan membeli pertalite di SPBU terdekat. Sebab, mulai banyak pengecer pertalite yang memasang harga ngawur, seperti Rp 20.000 per 1,5 liter.
Kebijakan itu sangat dibutuhkan karena nelayan tidak bisa sekonyong-konyong menaikkan harga ikan tangkapan. Tude dan oci (ikan kembung berukuran besar), misalnya, kini dijual Rp 10.000 per lima sampai tujuh ekor. Saat tangkapan nelayan sedang banyak, harganya pun bisa turun lebih jauh.
”Jadi, kami minta tolong kepada pemerintah, kalau memang tidak bisa turunkan harga pertalite, layani nelayan di SPBU. Kalau tidak, kami sulit penuhi kebutuhan hidup, dari makan sampai biaya sekolah anak. Sehari paling sedikit kami butuh Rp 150.000,” ujar Alfan.
Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut Rignolda Djamaluddin mengatakan, kenaikan harga BBM bersubsidi seharusnya diiringi dengan kebijakan yang memudahkan nelayan mengaksesnya. Selama ini SPBN sudah ada, tetapi hanya menyediakan solar. Padahal, nelayan tradisional di Manado menggunakan mesin berbahan bakar pertalite.
Seharusnya, pemerintah bisa mulai menyediakan SPBN yang dikelola nelayan atau kelompok nelayan di beberapa titik.
Antra Sulut pernah memfasilitasi pembuatan surat rekomendasi agar para nelayan bisa membeli pertalite di SPBU yang harus diperbarui setiap bulan. ”Itu pun masih mendapatkan kendala. Petugas sering tidak menerima surat rekomendasi itu sehingga tidak jarang terjadi debat, cekcok di SPBU,” kata Rignolda.
Menurut dia, ini menandakan pemerintah tidak pernah memberikan solusi tepat yang memudahkan kehidupan nelayan. ”Seharusnya, pemerintah bisa mulai menyediakan SPBN yang dikelola nelayan atau kelompok nelayan di beberapa titik. Jadi, mereka bisa beli di situ sebelum pergi melaut,” ucap Rignolda.
Menurut data Dinas Pertanian, Kelautan, dan Perikanan (DPKP) Manado, 980 nelayan tradisional yang ada di Manado tergabung dalam 54 kelompok usaha bersama. Kepala DPKP Manado M Sofyan mengatakan, pihaknya akan mengupayakan kemudahan nelayan membeli pertalite.
”Jangan sampai sudah mahal, aksesnya juga susah. Kami akan mengomunikasikan kebutuhan ini dengan Pertamina sambil berkoordinasi dengan pemprov. Kami sudah pernah coba setelah ada keluhan. Kami bikinkan rekomendasi, tetapi ternyata nelayan masih tidak dilayani,” tuturnya.
Di sisi lain, Senior Supervisor Communication and Relations Pertamina Marketing Operation Region VII Taufiq Kurniawan mengatakan, pihaknya sudah berkali-kali menggelar sosialisasi tahun ini di kalangan nelayan agar mereka membeli pertalite di SPBN. Hanya saja, proses tersebut sulit karena para nelayan terbagi-bagi dalam puluhan kelompok.
”Kami sudah coba melalui Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Manado maupun Sulut, sebagaimana kami lakukan di Organda untuk kalangan sopir angkot. Kami minta para ketuanya untuk terus mengimbau nelayan sehingga mereka mau membeli di SPBN,” kata Taufiq.