Harga BBM Naik, Beban Sopir Angkot di Kendari Kian Berat
Ratusan sopir angkot dan mahasiswa melakukan aksi penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi di Kendari, Sultra. Mereka menuntut pemerintah membatalkan kebijakan yang berdampak luas ke banyak sektor ini.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Ratusan sopir angkutan perkotaan dan mahasiswa melakukan aksi penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Mereka menuntut pemerintah membatalkan kenaikan harga bahan bakar yang berdampak luas ke banyak sektor. Pihak DPRD Sultra sepakat menolak kenaikan harga bahan bakar ini karena dianggap menyulitkan masyarakat kecil.
Aksi penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi berlangsung di Kendari sejak Senin (5/9/2022) menjelang siang. Ratusan sopir angkot mogok massal dan mendatangi kantor DPRD Sultra. Ratusan mahasiswa dari berbagai lembaga juga ikut bersama mereka.
Didin (36), koordinator sopir angkot, menyampaikan, aksi mogok massal angkutan kota dilakukan karena kesulitan memenuhi biaya operasional. Harga bahan bakar bersubsidi yang melonjak sekitar 30 persen membuat sopir sulit mendapat untung.
”Kami kasih naik juga (tarif angkot), diprotes sama penumpang. Kita berdebat terus. Karena itu kami minta harga BBM bersubsidi tidak naik, atau tarif angkot dinaikkan secara resmi,” kata Didin.
Aksi mogok massal angkot, ia melanjutkan, akan dilakukan hingga tuntutan mereka dipenuhi. Sebanyak 3.000 sopir angkot di Kendari mengikuti aksi mogok massal karena dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
Edi Karno, dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kendari menjelaskan, kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Sebab, masyarakat sangat terdampak setelah didera pandemi Covid-19 dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Terlebih lagi, kenaikan harga BBM bersubsidi dilakukan pemerintah saat harga minyak dunia sedang turun. Pemerintah juga telah menjanjikan tidak adanya kenaikan harga BBM pada 2022 ini.
”Karena itu, kami menuntut pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga BBM bersubsidi ini. Dampak kenaikan telah terjadi di semua sektor yang membuat masyarakat semakin kesulitan,” katanya.
Ketua Komisi III DPRD Sultra Suwandi Andi menyampaikan, pihak DPRD Sultra bersepakat menolak kenaikan harga BBM bersubsidi ini. Sebab, kebijakan pemerintah pusat tidak berpihak kepada masyarakat kecil dan berdampak luas ke sektor transportasi, harga bahan kebutuhan pokok, dan sektor lainnya.
Oleh karena itu, Suwandi menambahkan, pihaknya akan bersurat kepada pemerintah pusat agar ada kebijakan untuk membatalkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Sejumlah pernyataan sikap dari lembaga yang berunjuk rasa pada Senin ini telah dikirimkan juga kepada DPR.
”Kami sepakat menolak kenaikan harga BBM bersubsidi ini. Kehadiran kami di sini memastikan bahwa DPRD Sultra secara kelembagaan ingin menyampaikan kepada pemerintah pusat agar harga BBM segera diturunkan,” katanya.
Ini akan menjadi spiral effect, dari transportasi, ke distribusi, harga barang, dan kenaikan harga lainnya.
Pemerintah telah menaikan harga BBM bersubsidi, yakni pertalite dan solar, sejak Sabtu (3/9/2022). Harga pertalite naik dari sebelumnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Harga per liter solar bersubsidi naik dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800. Selain itu, pemerintah juga mengumumkan kenaikan harga pertamax nonsubsidi dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
”Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Saya sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi dari APBN,” kata Presiden Joko Widodo saat bersama menteri terkait menggelar konferensi pers perihal pengalihan subsidi bahan bakar minyak di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (3/9/2022).
Akan tetapi, lanjut Presiden, anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat, yakni dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun dan diperkirakan terus meningkat. Di sisi lain, ditemukan fakta bahwa 70 persen lebih subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, yaitu pemilik mobil-mobil pribadi (Kompas, 3/9/2022).
Kepala Laboratorium Ekonomi Universitas Halu Oleo Syamsir Nur berpendapat, kenaikan harga bahan bakar tentunya akan diikuti kenaikan tarif transportasi. Hal tersebut lalu akan disusul dengan kenaikan harga di sektor lainnya, yang akan memicu dampak ke banyak hal.
”Ini akan menjadi spiral effect dari transportasi ke distribusi, harga barang, dan kenaikan harga lainnya. Secara makro tentu akan menyebabkan inflasi di daerah. Apalagi, Sultra sejumlah kebutuhan utamanya didatangkan dari luar,” ucapnya.
Selain inflasi, ia melanjutkan, kenaikan harga BBM akan berdampak pada jutaan masyarakat rentan miskin. Mereka akan mengalami kenaikan pengeluaran dengan pemasukan yang tidak bertambah. Akibatnya, mereka akan jatuh ke kelompok masyarakat miskin. Tidak hanya itu, Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan juga akan meningkat. Sebab, peningkatan pengeluaran akan terjadi tidak hanya untuk makanan, tetapi juga ke sektor lain.