Harga Naik Sekejap Tak Obati Derita Peternak Selama Pandemi
Membaiknya harga telur ayam beberapa waktu terakhir dinilai peternak belum sebanding dengan harga rendah yang dialami peternak selama dua tahun pandemi.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Kandang ayam petelur milik salah satu peternak di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, dibiarkan kosong akibat harga telur rendah cukup lama, Kamis (1/9/2022)
Tak terdengar suara riuh ayam bersahut-sahutan layaknya peternakan dengan ribuan ekor ayam di dalamnya. Suasananya sepi tanpa aktivitas manusia. Yang tampak tersisa hanya rak-rak bambu susun memanjang lengkap dengan wadah pakan dari paralon.
Meski terlindung dari sengatan matahari dan hujan, aroma menyengat sisa pakan tidak tercium. Jangankan sisa pakan, kotoran ayam yang biasanya berserakan di kolong rak pun tak tampak. Benar-benar seperti kandang kosong di tengah tegalan yang lama ditinggal oleh penghuninya.
Begitulah pemandangan yang terlihat di kandang ayam layer milik Cipto Utomo (66), salah satu peternak ayam layer di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Kamis (1/9/2022) siang. Enam kandang berkapasitas 15.000 ekor kosong semua.
Sebanyak 2.000 ayam ”penghuni terakhir” telah diafkir satu bulan lalu dengan harga Rp 24.000 per kilogram, sedangkan 13.000 ekor lainnya telah dijual lebih dulu secara bertahap. Merugi akibat harga telur rendah berkepanjangan selama pandemi menjadi alasan Cipto mengosongkan kandang.
Dia pun tak merespons harga telur yang sempat melonjak hingga di angka Rp 27.000 per kg pekan lalu. ”Ibarat hujan sekali belum mampu mendinginkan tanah yang terpapar panas setahun. Wong sekarang harga telur juga sudah kembali di bawah Rp 24.000,” ujarnya saat ditemui di rumahnya yang berjarak sekitar 400 meter dari kandang.
Lelaki lanjut usia itu meminjam perumpamaan di atas untuk menggambarkan nasib peternak yang hanya menikmati membaiknya harga telur tetapi hanya dalam hitungan hari. Sebelumnya, selama dua tahun pandemi, harga telur berfluktuasi bahkan pernah turun sampai Rp 14.000 per kg.
Membaiknya harga telur juga tidak mampu memengaruhi Cipto untuk kembali mengisi kandang. Pria yang telah menjadi peternak sejak 15 tahun lalu itu masih akan melihat perkembangan dalam beberapa waktu ke depan.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Kandang ayam petelur milik salah satu peternak di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, dibiarkan kosong akibat harga telur rendah cukup lama, Kamis (1/9/2022)
Kalau harga masih di bawah Rp 23.000 per kg, langkahnya untuk membeli bibit ayam bakal tertunda lebih lama. Sebagai gambaran, bibit ayam sampai siap produksi butuh waktu 4-5 bulan.
”Saya membaca situasi ke depan dulu. Lebih baik kandang kosong meski akan rusak jika terlalu lama tidak dipakai dan butuh renovasi ketimbang diisi ayam baru tetapi merugi. Penghasilan tidak sepadan dengan harga jual telur,” kata Cipto yang kini lebih mengandalkan penghasilan dari kebun tebu.
Dengan kondisi saat ini, menurut dia, peternak baru akan untung jika harga telur di atas Rp 23.000 per kg mengingat harga pakan juga terus naik. Saat ini harga pakan oplosan (konsentrat, jagung, katul) Rp 7.000 per kg, sedangkan tiap 1.000 ayam butuh 2,25 kuintal pakan setiap hari.
Dengan itung-itungan di atas kertas, ongkos produksi yang harus dikeluarkan oleh peternak mencapai Rp 1.575.000 tiap 1.000 ayam dalam sehari. Itu hanya untuk biaya pakan saja, belum termasuk gaji buruh, listrik, wadah telur, dan keperluan lainnya.
Sementara, hasil telur yang didapat dari jumlah ayam yang sama hanya Rp 1.060.000 dengan asumsi harga telur Rp 23.000 per kg. ”Saya sendiri sering nombok. Kadang kerugiannya bisa sampai Rp 3 juta dalam sehari kalau harga telur sangat rendah,” ujarnya.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan Cipto bisa dimaklumi. Dari sembilan peternak di Pohgajih, kini tingggal satu orang yang masih bertahan. Sisanya telah mengosongkan kandang. ”Perkiraan saya di Blitar ini ada 50 persen peternak yang mengosongkan kandang. Padahal, ada ribuan peternak di sini,” ujarya.
Kompas mencoba menemui Widodo Setiohadi (64), peternak yang masih bertahan di Pohgajih. Namun, siang itu yang bersangkutan sedang keluar. Kandang miliknya terkunci dari luar. Yang terdengar hanya suara ayam dari dalam kandang.
Melalui telepon, Widodo membenarkan jika harga telur mulai turun di angka Rp 24.800 per kg (31 Agustus). Proses turunnya bertahap, Rp 27.000, Rp 26.500, Rp 26.800, Rp 25.200, dan Rp 24.800.
Pria berkumis tebal ini mengakui membaiknya harga telur tidak terlepas dari permintaan konsumen yang meningkat begitu pembatasan sosial tidak lagi dikenakan. Sementara di sisi lain, produksi telur berkurang akibat populasi ayam menyusut.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Suasana sepi menyelimuti kandang ayam petelur milik salah satu peternak di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, dibiarkan kosong akibat harga telur rendah cukup lama, sebagaimana terlihat, Kamis (1/9/2022)
Untuk mengembalikan populasi butuh waktu lama, 6-12 bulan dengan kondisi terus menguntungkan dan peternak bersedia membeli bibit kembali. ”Saya dengar di kawasan Blitar selatan juga banyak yang mengosongkan kandang. Jadi, populasinya belum kembali normal,” ujarnya.
Faktor bantuan sosial
Pendapat senada dikatakan pengurus Paguyuban Peternak Rakyat Nasional Blitar, Yessi Yuli Astuti. Menurut Yessi, naiknya harga telur secara signifikan pada Agustus 2022 tidak terlepas dari bantuan sosial nontunai yang dirapel. Bantuan sosial untuk Juli-September diberikan bulan Agustus.
Jika hanya permintaan pasar riil saja, menurut dia, peternak mampu memenuhinya. Sejauh ini telur dari Blitar dikirim hingga Jakarta dan kota-kota lain di Pulau Jawa, bahkan daerah lain di luar Jawa.
Perempuan yang menjabat sebagai Ketua Koperasi Srikandi Blitar Sejahtera ini pun mengakui, peternak tidak memiliki kedaulatan untuk menentukan harga jual telur. Selama ini, naik turunnya harga telur ditentukan oleh pasar, termasuk panjang-pendeknya rantai pasok.
Ada distributor yang punya rantai pasok panjang dan sebaliknya. Dari peternak kecil biasanya telur dikumpulkan oleh pengepul lokal, lalu telur dikirim ke agen besar di Jakarta atau kota lain. Dari agen itu telur didistribusikan ke agen kecil dan pengecer.
”Telur itu unik. Dan kami, produsen, tidak mempunyai kedaulatan menentukan harga produk. Namun, saat harga naik, kami yang disorot oleh banyak pihak. Diminta menurunkan harga. Sebaliknya, kalau harga rendah, peternak yang harus berjuang,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blitar Toha Mashuri mengamini jika populasi ayam dan tingginya permintaan menjadi penyebab naiknya harga telur beberapa waktu belakangan.
Populasi ayam di Kabupaten Blitar, menurut dia, turun lebih dari 6 juta ekor. Jika sebelumnya populasi ayam petelur mencapai 20 juta ekor, saat ini tinggal 13,7 juta ekor. Dampaknya produksi telur yang tadinya mencapai 1.000 ton per hari kini turun menjadi 312 ton.