Ayam ”Makan” Ayam Menjadi Pilihan Akhir Peternak
Oleh
Defri Werdiono
·5 menit baca
Didik Mariyono (58) menghentikan aktivitasnya sejenak, menimbang ratusan telur yang baru saja dipungut dari kandang, di Desa Selorejo, Kecamatan Selorejo, Blitar. Di dalam kandang permanen yang berada di pinggir jalan raya Malang-Blitar itu masih terdapat 10.000 ayam. Ayam-ayam itu bisa menghasilkan sekitar 3 kuintal telur setiap hari. Jumlah ini sedikit berkurang dibandingkan dengan tiga pekan sebelumnya yang bisa mencapai lebih dari 3,5 kuintal. Didik telah menjual sebagian ayamnya yang masih produktif.
Penjualan 1.600 ayam menjadi penyebab menurunnya produksi. Lelaki yang telah sembilan tahun menggeluti usaha peternakan ayam itu mengaku terpaksa mengosongkan dua dari tujuh kandang miliknya akibat terimpit kebutuhan pakan ayam.
”Kalau dibilang sayang, ya, sayang, wong belum apkir (tidak produktif). Harga jual ayam hidup per ekor di sini Rp 19.000 dengan berat rata-rata 1,5 kilogram. Pembelinya pedagang. Mereka menjual lagi dalam bentuk daging,” ujarnya.
Menurut Didik—yang selama ini mengandalkan ekonomi keluarga dari beternak ayam petelur—menjual ayam merupakan salah satu solusi untuk membeli pakan atau menguras isi tabungan. ”Karena harga jual telur tidak sebanding dengan biaya operasional dan pakan,” ucapnya.
Harga jual jatuh
Sejak awal Januari 2017, telur ayam di Blitar hanya laku kurang dari Rp 13.800 per kg. Angka itu jauh di bawah titik impas Rp 16.000-Rp 17.500 per kg. Didik pesimistis harga telur bisa membaik selama telur untuk ditetaskan yang diproduksi perusahaan besar masih beredar di pasaran.
Momen Ramadhan dan Lebaran yang akan tiba tiga bulan lagi diperkirakan tidak mampu mengangkat harga selama telur untuk ditetaskan masih ada di pasaran. Harga telur tahun ini dirasakan peternak sebagai harga terburuk dalam sembilan tahun terakhir. Biasanya harga telur terendah Rp 14.000-Rp 15.000 per kg. Itu pun tidak bertahan lama, setelah itu naik lagi.
Langkah menjual sebagian ayam juga dilakukan peternak di Malang selatan. Ketua Paguyuban Peternak Ayam Mitra Makmur Sentosa di Desa Donomulyo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang, Bagus Sugiharto (29) telah menjual 1.500 ayam dari total 6.000 ayam miliknya. Bukan hanya Bagus, 50 peternak lain yang juga anggota paguyuban juga menjual ayam mereka.
”Populasi ayam milik anggota kami awalnya 150.000 ekor, tetapi kini tinggal sekitar 142.000 ekor. Sebanyak 8.000-9.000 ekor lainnya telah dijual dengan alasan untuk membeli pakan,” ujar Bagus.
Menjual ayam pun tak mudah. Menurut Bagus, banyak suplai ayam di pasaran, sedangkan permintaan tak meningkat. Harga per ayam masih Rp 19.000, tetapi tidak ada yang membeli.
Saat ini, para peternak tak mampu mengandalkan hasil penjualan telur. Sebagai gambaran, setiap 1.000 ayam mampu menghasilkan 50-53 kg telur dalam sehari. Jika harga telur di Donomulyo Rp 13.400 per kg, uang yang diterima peternak Rp 670.000-Rp 710.000 per hari. Uang sejumlah itu tak bisa menutupi kebutuhan pakan ayam, upah pekerja, dan biaya listrik.
Menurut Bagus, modal untuk membeli pakan ayam telah mencapai Rp 600.000 per 1.000 ayam. Harga pakan sudah naik dari Rp 4.000 menjadi Rp 5.000 per kg. Padahal, 1.000 ayam butuh 120 kg pakan per hari.
Utang perbankan
Jika tidak mau melepas ayam produktif, peternak bisa berutang ke bank ataupun meminjam dari rentenir. Hariono (32), salah seorang peternak di Desa Tlogosari, Kecamatan Donomulyo, terpaksa berutang Rp 10 juta, tenor sebulan, dengan konsekuensi mengembalikan Rp 12 juta. Peternak muda ini punya sekitar 4.000 ayam yang 2.000 ekor di antaranya produktif.
Hariono mengaku sayang untuk menjual ayam yang masih produktif. ”Karena itu, saya terpaksa utang ke rentenir meski bunganya tinggi. Ya, terpaksa. Saya tidak bisa lagi meminjam ke bank karena saya masih punya pinjaman di bank,” tuturnya.
Di Blitar, peternak bahkan telah mengosongkan kandang hingga jumlah ayam tinggal 60 persen saja. Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) Blitar Rofi Yasikun mengatakan, peternak sudah tak mampu lagi menanggung biaya operasional.
”Mereka umumnya tidak kuat. Peternak yang sebelumnya punya 80.000 ekor sekarang tinggal 30.000 ekor, yang punya 5.000 ekor tinggal 3.000 ekor. Istilahnya mengapkirkan dini meski ayam tersebut masih produktif,” paparnya.
Turunnya harga telur telah memukul peternak Blitar. Selama ini, Blitar dikenal sebagai sentra penghasil telur ayam di Jawa Timur. Jumlah peternak ayam petelur di Blitar mencapai 4.321 orang. Populasi ayam sekitar 15 juta ekor dengan produksi sekitar 450 ton telur per hari. Telur dari Blitar disebut-sebut memenuhi 30 persen kebutuhan telur nasional.
PPRN kini tengah berusaha agar harga telur bisa kembali membaik. Setidaknya tiga kali pertemuan dengan pihak Kementerian Pertanian telah dilakukan, yakni di Surabaya pada Desember 2016, kemudian 22 Februari 2017 di Blitar, dan 23 Februari 2017 di Yogyakarta.
Akhirnya pada hasil rapat terakhir, Kementerian Pertanian menerima tuntutan dari peternak untuk menghapus peredaran telur untuk ditetaskan. Kementerian juga akan membatasi perusahaan integrator untuk membudidayakan ayam hanya 2 persen. Sisanya yang 98 persen diserahkan kepada masyarakat. Selama ini, perusahaan integrator mendapatkan kesempatan sampai 20 persen.
Sehari kemudian, setelah ada kesepakatan itu, harga telur di Blitar naik menjadi Rp 13.800-Rp 13.900 per kg. Harga telur di Malang juga naik menjadi Rp 13.800 per kg. Bahkan, Senin (13/3), harga telur di Malang menjadi Rp 15.000 dan di Blitar menjadi Rp 15.500 per kg.
Kenaikan ini menjadi angin segar bagi peternak rakyat. Mereka berharap harga segera membaik agar usaha peternakan ayam rakyat hidup lagi. Kini, mereka tinggal mengawal kebijakan yang telah ada sambil menghadapi tantangan baru, yakni naiknya harga jagung yang menjadi bahan pokok ayam.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.