Banjir di Aceh Selatan dan Aceh Besar, Longsor di Aceh Jaya
Hujan lebat di Aceh Jaya menyebabkan tebing jalan di Desa Gle U, Kecamatan Indra Jaya, longsor. Jalan tersebut menghubungkan Banda Aceh-Aceh Jaya-Aceh Barat. Akibat longsor, arus transportasi sempat terhambat.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
DOK BPBA
Banjir di Kecamatan Samadua, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, Kamis (1/9/2022), menggenangi badan jalan. Sejumlah daerah di Aceh banjir setelah diguyur hujan dalam intensitas tinggi.
BANDA ACEH, KOMPAS — Hujan dalam intensitas tinggi sejak Rabu (31/8/2022) hingga Kamis (1/9/2022) memicu bencana alam. Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Besar digenangi banjir, sementara Aceh Jaya dilanda longsor.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Ilyas Yunus menuturkan, hujan di Aceh Selatan menyebabkan banjir menggenangi sejumlah desa di Kecamatan Samadua dan Tapaktuan.Rumah warga tergenang air hingga 1 meter.
”Di Tapaktuan satu rumah warga tertimbun tanah longsor. Sementara di Samadua badan jalan tertutup longsor,” kata Ilyas.
Beberapa warga mulai mengungsi ke lokasi yang aman, seperti kantor desa atau rumah kerabat. ”Jumlah pengungsi masih dalam pendataan dan tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini,” tambah Ilyas.
Sementara di Aceh Besar banjir melanda empat desa di Kecamatan Lhoong. Air menggenangi badan jalan hingga setinggi 50 sentimeter. Namun, kendaraan roda empat masih bisa melewatinya.
Di kawasan Gunung Geurutee limpasan air dari tebing membuat pengendara harus berhati-hati.
Ilyas mengatakan, hujan lebat di Aceh Jaya menyebabkan tebing jalan di Desa Gle U, Kecamatan Indra Jaya, longsor. Jalan tersebut menghubung Banda Aceh-Aceh Jaya-Aceh Barat. Akibat longsor, arus transportasi sempat terhambat.
Tim BPBD kabupaten/kota bersiaga meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bencana alam akibat hujan intensitas tinggi.
Di Kota Banda Aceh hujan lebat membuat jalan-jalan protokol tergenang air. Buruknya kualitas drainase di Banda Aceh membuat daya tampung kawasan akan air hujan lemah.
Pengajar Konservasi Lingkungan di Universitas Serambi Mekkah, Teuku Muhammad Zulfikar, mengatakan, banjir di Aceh bukan hanya dipicu oleh faktor cuaca atau hujan, melainkan juga pengelolaan sumber daya lingkungan yang keliru.
Deforestasi hutan membuat daya tampung alam terhadap air hujan lemah. Ketiadaan pohon membuat air hujan yang seharusnya menyerap ke tanah justru lebih cepat mengalir ke sungai-sungai.
Data dari Yayasan Hutan Alam Aceh sejak 2017-2019, Aceh kehilangan tutupan hutan seluas 48.031 hektar, atau lebih separuh dari luas DKI Jakarta yang mencapai 66.150 hektar.
Pada saat yang sama sungai-sungai dalam keadaan dangkal karena sedimentasi. ”Kerusakan hutan akibat pembalakan liar, perambahan, tambang liar, dan galian C terjadi di hulu daerah aliran sungai. Selama ini tidak pernah ditangani serius,” kata Zulfikar.
KOMPAS/ZULKARNAINI MASRY
Warga menerobos banjir di pusat perdagangan di Kota Lhoksukon, Kabupaten, Aceh Utara, Aceh, Senin (3/1/2022). Kawasan Lhoksukon nyaris setiap tahun dilanda banjir. Intensitas hujan yang tinggi, kondisi daerah aliran sungai yang kritis, dan deforestasi memicu banjir semakin masif.
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), bencana banjir luapan, bandang, dan longsor atau disebut bencana hidrometeorologi mendominasi bencana di Aceh. Pada 2018, bencana hidrometeorologi terjadi 127 kali, 2019 sebanyak 126 kali, dan 2020 sebanyak 170 kali.
Nilai kerugian dari bencana hidrometeorologi tidak kecil. Pada 2018, kerugian akibat bencana hidrometeorologi Rp 655,8 miliar, tahun 2019 sebesar Rp 69,4 miliar, dan 2020 sebesar 157,9 miliar.
Sebelumnya, Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Krueng Aceh Eko Nurwijayanto menuturkan, pihaknya berusaha memulihkan DAS dengan menanam pohon, tetapi luasan yang rusak lebih masif daripada kemampuan menanam.