Negara-negara G20 Didesak Bahas Isu Perlindungan Pekerja Migran
Ada jutaan pekerja migran di seluruh dunia yang kehilangan sumber penghidupan akibat pandemi Covid-19. Negara-negara G20 didesak membahas dan mengambil langkah nyata terkait perlindungan pekerja migran.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Kelompok masyarakat sipil menyatakan, isu perlindungan pekerja migran perlu menjadi pembahasan dalam pertemuan menteri ketenagakerjaan negara-negara G20 yang akan diselenggarakan di Bali pada 14 September 2022. Presidensi G20 Indonesia 2022 diharapkan mampu mengadvokasi persoalan tersebut.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, Rabu (31/8/2022), menilai, isu pekerja migran belum mendapat pembahasan yang serius dalam lima kali pertemuan Kelompok Kerja Bidang Ketenagakerjaan G20. Hal ini ironis mengingat presidensi G20 Indonesia mengusung misi bangkit bersama seusai pandemi Covid-19.
”Pekerja migran merupakan kelompok yang paling terdampak pandemi. Mereka juga kelompok pertama yang merasakan kecamuk wabah di luar negeri, ketika pada saat yang sama (pemerintah) kita masih bercanda soal pandemi,” kata Wahyu dalam diskusi daring Menuju Pertemuan Menteri Ketenagakerjaan Negara-negara G20 (Labour Employment Ministerial Meeting G20).
Pandemi yang berkecamuk di seluruh dunia membuat ratusan ribu pekerja migran Indonesia kehilangan pekerjaan. Namun, setelah pulang ke Tanah Air, mereka tidak mendapat akses bantuan sosial, misalnya subsidi upah.
Menurut Wahyu, pembahasan isu perlindungan pekerja migran juga perlu didorong karena angka perdagangan orang semakin meningkat sejak pandemi Covid-19 melanda. Kementerian Luar Negeri sebelumnya menyatakan pengaduan kasus perdagangan orang meningkat dua kali lipat.
Salah satu kasus terbaru perdagangan orang adalah penipuan kerja ke Kamboja yang terungkap pada awal Juli 2022. Dari catatan Kompas, lebih dari 240 warga negara Indonesia (WNI) menjadi korban kerja paksa di Kamboja.
”Kalau persoalan human trafficking tidak menjadi perhatian global, maka ini akan memperumit krisis kemanusiaan di Indonesia,” ujar Wahyu.
Akivis hak pekerja migran dan anti-perdagangan orang, Andy Hall, mengatakan, sekitar 400 WNI juga menjadi korban perbudakan modern di Inggris. Para WNI itu dipekerjakan sebagai pekerja musiman sektor pertanian.
Para WNI itu terjerat utang masing-masing sekitar Rp 86,3 juta kepada perusahaan penyalur untuk mengganti biaya keberangkatan. Sebelumnya, mereka dijanjikan kontrak kerja selama dua tahun, tetapi nyatanya hanya dikontrak selama enam bulan.
Kasus itu secara khusus disoroti oleh Hall karena Indonesia dan Inggris merupakan anggota G20 yang sama-sama memiliki komitmen terhadap ethical recruitment (perekrutan etis) pekerja migran. Namun, dalam implementasinya, komitmen tersebut belum dijalankan secara serius.
”Kasus ini menunjukkan kegagalan sistemik dua negara anggota G20 untuk mengatur alur migrasi pekerja,” ucap Hall.
Associate Professor Hubungan Internasional Binus University Dinna Prapto Raharja menambahkan, tanggung jawab perlindungan pekerja migran ada di tangan sejumlah negara terkait, baik itu negara asal, transit, maupun penerima.
Apalagi, negara-negara maju butuh tenaga kerja dari negara berkembang. Tanpa pekerja migran, perekonomian negara maju tidak akan mampu bertumbuh.
Pandemi yang berkecamuk di seluruh dunia membuat ratusan ribu pekerja migran Indonesia kehilangan pekerjaan.
Adapun Ketua Aliansi Migran Internasional Eni Lestari berharap pertemuan negara-negara G20 di Bali nanti dapat melahirkan reformasi kebijakan yang implementasinya bermanfaat bagi pekerja migran. Oleh karena itu, negara-negara G20 didorong membahas masalah-masalah yang nyata, seperti jaminan sosial bagi pekerja migran dan mekanisme penanganan kasus lintas negara.
”Jangan sampai (pertemuan) G20 ini hanya seperti pertemuan-pertemuan besar sebelumnya yang no action talk only, banyak omong tetapi tidak ada buktinya,” kata Eni.