Sekitar 4.500 rumah di Palembang tidak layak untuk ditinggali. Sebagian besar rumah tersebut berada di kawasan kumuh di bantaran Sungai Musi. Sejumlah program perbaikan tengah digalang.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sekitar 4.500 rumah di Palembang, Sumatera Selatan, masuk kategori tidak layak untuk ditinggali. Pemerintah Kota Palembang pun tengah mengajukan usulan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk memperbaiki sekitar 1.500 rumah di antaranya. Perbaikan ini diharapkan memperbaiki kualitas hidup masyarakat, terutama dalam pencegahan tengkes.
Kepala Bidang Perumahan Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kota Palembang Bambang Wicaksono, Senin (29/8/2022), mengatakan, jumlah itu merupakan hasil inventarisasi di 18 kecamatan dan 107 kelurahan di Palembang. Rumah yang masuk dalam kategori tidak layak adalah yang kondisinya rusak serta tidak sehat.
Sebagian besar dari rumah yang tidak layak itu berada di bantaran Sungai Musi. Biasanya, rumah tidak layak adalah yang kondisinya semipermanen dan juga tidak memiliki sarana sanitasi yang baik. Jika kondisi ini dibiarkan, dikhawatirkan akan berpengaruh pada kondisi kesehatan pemiliknya.
Bambang menuturkan, upaya perbaikan terus dilakukan dengan menggandeng sejumlah instansi, utamanya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang memiliki program bantuan stimulan perumahan swadaya. Untuk tahun 2023, 1.564 unit rumah diusulkan untuk diperbaiki hingga dinyatakan layak dengan total dana bantuan hingga Rp 3 miliar.
”Tahun ini, 1.564 rumah itu akan diusulkan ke Kementerian PUPR setelah itu diverifikasi. Jika disetujui, rumah tersebut akan diperbaiki pada tahun 2023,” ujar Bambang.
Dana yang dikucurkan untuk pembangunan baru adalah Rp 35 juta. Adapun untuk peningkatan kualitas rumah Rp 20 juta, terdiri dari Rp 17,5 juta untuk biaya material dan Rp 2,5 juta untuk upah pekerja. Proses penyaluran bantuan akan langsung dikirimkan kepada pemilik rumah dan nantinya diawasi sehingga uang itu benar-benar digunakan sesuai peruntukannya.
”Sistemnya langsung dari APBN kepada pemilik rumah dengan skema non-tunai. Pengawasan pun dilakukan dengan menggandeng rembuk warga dan fasilitator kelurahan,” ujar Bambang.
Selain dari APBN, program bedah rumah juga diterapkan bekerja sama dengan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Untuk kerja sama ini, ujar Bambang, tujuh rumah yang diperbaiki dengan dana sekitar Rp 151 juta.
Dana tersebut diperoleh dari amil zakat Aparatur Sipil Negara Pemkot Palembang dan masyarakat umum. ”Khusus program ini, ada 107 rumah yang ditargetkan dapat diperbaiki, tentu secara bertahap,” ucap Bambang.
Dengan perbaikan ini, diharapkan kehidupan pemilik rumah bisa lebih baik. Salah satu penerima bantuan bedah rumah dari Baznas di Kelurahan Lorok Pakjo, Kecamatan Ilir Barat I, Zainuddin Haris, merasa terbantu dengan program tersebut karena rumahnya bisa lebih kokoh. ”Sudah dua kali rumah saya roboh karena lapuk,” ucap warga yang bekerja sebagai buruh serabutan itu.
Sebagian besar penyumbang tengkes di Palembang ada di kawasan kumuh.
Rumah Zainuddin merupakan rumah panggung berukuran 3 x 5 meter yang berdinding papan dan kayu. Dengan program bedah rumah ini, rumahnya dibuat kokoh dengan dinding batu bata. ”Saya tidak perlu lagi khawatir jika rumah saya terendam banjir karena dindingnya tidak lapuk,” ucap ayah dua anak ini.
Kepala Dinas Pengendalian Kependudukan dan Keluarga Berencana Kota Palembang Altur Febriansyah menyebut, perbaikan dan penataan kawasan kumuh, termasuk perbaikan rumah, sangat diperlukan untuk menekan risiko penyakit, termasuk tengkes atau stunting. ”Sebagian besar penyumbang tengkes di Palembang ada di kawasan kumuh,” ucapnya.
Saat ini, angka tengkes di Palembang mencapai 16,1 persen atau jauh lebih rendah dari angka tengkes nasional yang menyentuh 24,4 persen. Namun, pemerintah kota memiliki target untuk menekan angka tengkes sesuai target nasional, yakni 14 persen pada tahun 2024. ”Butuh peran semua pihak untuk menekan risiko penyakit yang dapat menghambat pertumbuhan anak ini,” ujarnya.
Sebagian besar warga yang hidup di kawasan kumuh biasanya berpenghasilan rendah, di bawah upah minimum regional. Itulah sebabnya mereka tidak memiliki kemampuan untuk membangun rumah yang layak. ”Karena itu, bagi mereka yang berkemampuan, diharapkan membantu mereka yang membutuhkan,” katanya.