Pengunjung pada puncak acara Hoyak Tabuik di Kota Pariaman diperkirakan mencapai 200.000 orang.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PARIAMAN, KOMPAS — Pesona Budaya Hoyak Tabuik Piaman di Kota Pariaman, Sumatera Barat, yang kembali digelar setelah dua tahun vakum akibat pandemi Covid-19, menjadi momentum membangkitkan pariwisata di kota ini. Pengunjung pada puncak acara di kota pesisir barat Pulau Sumatera ini diperkirakan mencapai 200.000 orang.
Acara tabuik merupakan peringatan atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, yang tewas dengan tragis dalam Perang Karbala. Dalam kisah itu disebutkan, jenazah Husein diangkat ke langit dengan dipanggul di bagian pundak bouraq berikut peti jenazah dan sejumlah hiasannya. Inilah yang kemudian lazim disebut tabuik (Kompas, 16/12/2012).
Kegiatan yang dikemas dalam Pesona Budaya Hoyak Tabuik Piaman ini digelar selama dua pekan sejak Sabtu (30/7/2022) atau 1 Muharram hingga Minggu (14/8/2022) yang terkonsentrasi di pusat kota. Pada puncak acara, dua tabuik setinggi 13 meter, yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang, dihoyak (digoyang) dan diarak keliling kota, lalu dibuang ke laut di Pantai Gandoriah.
Hoyak Tabuik disambut meriah masyarakat, baik warga lokal maupun wisatawan dari dalam dan luar Sumbar. Semakin mendekati puncak acara, pengunjung semakin ramai. Saat tabuik dihoyak dan diarak, ribuan warga menyaksikan. Adapun saat-saat tabuik akan dibuang ke laut, menjelang maghrib, ratusan ribu orang menyemut di Pantai Gandoriah untuk menyaksikannya.
”Hari ini, dengan foto drone, kami hitung—melalui software-nya— ada sekitar 200.000 orang datang ke Kota Pariaman,” kata Genius Umar, Wali Kota Pariaman, usai tabuik dibuang ke laut, Minggu sore.
Genius melanjutkan, secara keseluruhan, selama dua pekan Pesona Budaya Hoyak Tabuik Piaman digelar, jumlah pengunjung sekitar 250.000 orang. Jika setiap orang minimal membelanjakan uang Rp 200.000, jumlah uang yang beredar di masyarakat mencapai Rp 50 miliar.
Menurut Genius, pengunjung Hoyak Tabuik saat ini lebih ramai dibanding sebelum pandemi. Sejak Sabtu (13/8/2022), Kota Pariaman sudah ramai, termasuk oleh rombongan Persatuan Keluarga Daerah Piaman (PKDP) untuk menonton tabuik. "Dua tahun tidak ada tabuik, kami adakan lagi jadi membeludak. Ini cukup sukses saya pikir," ujarnya.
Pemkot Pariaman pun menjadikan Hoyak Tabuik sebagai momentum untuk membangkitkan pariwisata kota ini setelah mati suri akibat pandemi. "Kalau pemerintah buat acara sendiri, undang orang untuk datang, belum tentu mereka mau datang. Tapi, dengan tabuik, semua orang datang ke Pariaman," kata Genius.
Genius menambahkan, Hoyak Tabuik juga jadi jembatan mempersatukan masyarakat, khususnya Pariaman, baik yang ada di ranah maupun rantau.
Gubernur Sumbar Mahyeldi, yang hadir dalam acara ini, mengklaim, Hoyak Tabuik merupakan festival budaya terbesar di pesisir barat Pulau Sumatera. Oleh sebab itu, kegiatan yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu ini perlu dilestarikan dan dirawat baik-baik. "Ini jadi momen kebangkitan pariwisata Pariaman dan Sumbar," katanya.
Akhirnya, saya bisa lihat tabuik secara langsung.
Mahyeldi melanjutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebelum pandemi, jumlah wisatawan ke Sumbar mencapai 8 juta orang per tahun dengan 50.000 orang di antaranya dari mancanegara. Untuk Pariaman, jumlahnya sebelum pandemi mencapai 3,1 juta orang per tahun dengan 800 orang lebih dari mancanegara.
"Kini, tahun pertama usai pandemi, mudah-mudahan kegiatan wisata di Pariaman dan Sumbar lebih menggeliat lagi," ujar Mahyeldi.
Hendra (52), pengunjung dari Pekanbaru, Riau, mengatakan, ia yang berkunjung bersama anak, istri, keponakan, dan kakak ipar ini merasa puas dan bahagia bisa menyaksikan Hoyak Tabuik secara langsung. Warga keturunan Minang yang lahir di Pekanbaru ini mengaku rasa penasarannya terhadap tabuik Pariaman terjawab.
"Jangan tabuik kata orang, tabuik pula kata kita. Akhirnya, saya bisa lihat tabuik secara langsung," ujar Hendra.
Sementara itu, Mulyanis (49), warga Pariaman Utara, mengaku sangat senang bisa kembali menyaksikan tabuik setelah dua tahun tidak digelar. "Budaya tabuik ini yang membuat Pariaman terkenal. Saya setiap tahun menyaksikan tabuik, tidak bosan-bosan. Sekarang rindu terbayar," kata ibu rumah tangga ini.