Ilustrator harus semakin melangkah maju. Tidak sekedar menjadi pendamping narasi, mereka harus berani menampilkan cerita, ide dan gagasannya sendiri.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Seni ilustrasi harus semakin bergerak maju untuk membuktikan bahwa seni tersebut bukan sekadar penghias, pendamping yang sekadar membantu menjelaskan apa yang diterangkan dari sebuah teks atau narasi. Ke depan, ilustrator harus lebih mampu mandiri menampilkan ide atau gagasannya sendiri.
”Ilustrator harus mampu berkarya membuat cerita sendiri, mandiri menvisualisasikan apa yang ada dalam pikirannya sendiri, bukan bergantung pada teks atau naskah orang lain,” ujar Dosen program Doktor Kajian Seni dan Masyarakat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr St Sunardi, dalam sambutannya membuka pameran ilustrasi Bentara Budaya, Ilustrasiana Goes to Jogja di Bentara Budaya Yogyakarta, Jumat (12/8/2022) malam.
Menurut dia, kemandirian itu harus dilakukan karena setiap seniman sejatinya memiliki tugas untuk memvisualisasikan segala sesuatu yang sebenarnya sudah sering kali terjadi di masyarakat, tetapi kurang disadari maknanya oleh banyak orang. Dengan cara inilah, seniman bisa berkontribusi, membantu menyadarkan, dan membuat setiap orang melakukan refleksi diri atas apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Kekuatan seorang ilustrator, menurut dia, ada dalam setiap goresan garis yang dibuatnya. Dari situlah setiap orang bisa melihat, apakah dalam membuat sebuah karya, ilustrator tersebut benar-benar berpikir atau sekadar asal membuat coretan saja. Oleh karena itulah tantangan kemandirian pada masa mendatang ini benar-benar menjadi tantangan bagi ilustrator untuk membuktikan kekuatan pikirannya tersebut.
Untuk membuktikan kekuatan dan kemandirian pikirannya, Sunardi mengatakan, setiap ilustrator bisa mengambil, menggunakan beragam tema. Multikulturalisme misalnya, menjadi tema yang sangat kaya dengan berbagai penggambaran, dan bisa menjadi tantangan tersendiri bagi ilustrator untuk menuangkan gagasan dan pemikirannya.
Pameran ilustrasi Ilustrasiana Goes to Jogja menampilkan 28 judul karya seni ilustrasi dari 23 seniman dari Yoyakarta, Bandung, Bogor, Salatiga, dan Jakarta. Pameran ini merupakan kelanjutan dari dua pameran yang sebelumnya digelar Bandung dan Bogor, serta puncaknya akan digelar di Jakarta. Keseluruhan rangkaian pameran ini memiliki tema besar ”Multikultural dari Multipersonal”.
Kurator pameran, Beng Rahadian, mengatakan, pameran ini memberi kesempatan para ilustrator untuk berkarya sebebasnya, tanpa batas-batas tertentu. Hal ini kemudian juga dimanfaatkan dengan baik oleh para seniman sehingga banyak karya ditampilkan dengan unik, menjadi bentuk komik, dan menjadi susunan gambar diorama.
”Kami mempersilakan para ilustrator untuk memaknai tema secara bebas, sesuai dengan ide dan gagasannya sendiri,” ujarnya.
Dalam pameran itu, multikulturalisme tersebut tersampaikan lewat beragam cara. Selain dari perbedaan cerita, pesan yang disampaikan dan warna yang dipakai, keragaman juga terlihat dalam teknik dan tampilannya di ajang pameran.
Ilustrator Alodia Yap, misalnya, selain gambar, juga menampilkan tayangan video, gambar bergerak yang menampilkan 13 gambar ilustrasi yang dipajang yang disusun menjadi semacam 13 kotak terpisah. Adapun Triyadi Guntur W menampilkan gambar dengan cara menjahitnya diatas kain dengan pembidang sulam, berikut jarum yang digantungkan, diselipkan di kain.
Sementara itu, salah seorang ilustrator Terra Bajraghosa sengaja menampilkan gambar ilustrasi dengan tampilan depan kaset, di mana gambar sampah menjadi penghias kaset.
Gambar ini dibuat untuk menggambar masalah sampah di Yogyakarta, yang selalu menjadi masalah selalu berulang, di mana tahun ini juga ditandai oleh penutupan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan.
”Masalah sampah ini selalu berulang terjadi, ibarat seperti rekaman dari kaset rusak yang diputar ulang berkali-kali,” ujarnya.
Goresan gambar sampah dibuatnya halus dan liris. Jika biasanya goresan halus, dipakai untuk menggambarkan sesuatu yang indah, kali ini teknik tersebut sengaja digunakan untuk menggambarkan hal sebaliknya.
”Kali ini, saya sengaja memakai garis liris untuk menggambarkan sesuatu hal yang miris,” ujarnya.
Adapun ilustrator asal Yogyakarta, Isa Anshori memaknai tema secara sederhana, dengan membuat gambar ilustrasi berjudul ”Seleraku, seleramu, selera kita”. Di karya tersebut dia menggambarkan suasana warung akringan, mulai dari kerumunan orang hingga kucing yang biasanya ada dan berkeliaran di sana.
”Multikulturalisme ada mulai dari warung angkringan,” ujarnya.