Dunia Ilustrasi, dari Kertas sampai ke Mana-mana
Dunia ilustrasi semakin dinamis. Mediumnya tak cuma kertas, tetapi juga medium lain yang lebih rumit.
Dunia ilustrasi tidak bisa dipandang sebelah mata. Corat-coret sederhana sebuah gambar mampu menyampaikan pesan bermakna dalam kepada audiens. Ilustrasi tak berhenti di atas kertas, tetapi bisa diteruskan ke medium yang lebih kompleks.
Pada 2002, seniman grafiti Inggris, Banksy, menggegerkan dunia melalui gambar yang ia beri judul ”Girl with Balloon” di berbagai penjuru kota London, Inggris. Seniman anonimus ini menggambar anak perempuan dengan tangan terulur ke arah balon berbentuk hati berwarna merah mencolok yang sedang terbang tertiup angin.
Warna dominan yang ia pakai cuma dua, yakni hitam dan merah. Gambar itu menohok bukan karena teknik menggambarnya, melainkan pesan yang terkandung. Gambar itu bisa dibaca sebagai hilangnya cinta dan harapan yang bahkan dirasakan oleh anak kecil yang masih polos.
Gambar karya Banksy ini merupakan bukti betapa ilustrasi, mau di atas kertas ataupun di dinding, punya kekuatan besar sebagai pembawa pesan. Buku Breaking into Freelance Illustration (2009) menyebutkan, ilustrasi berfungsi untuk memvisualisasikan ide, menciptakan persepsi, melengkapi teks, menambah pernyataan personal, membawa pesan, dan menjelaskan sebuah ide.
Fungsi-fungsi ilustrasi tersebut dibahas dalam webinar Kelas Muda: Dunia Ilustrasi, dari Hobi Jadi Profesi yang disiarkan dari Jakarta, Sabtu (3/10/2020). Pembahasnya adalah ilustrator harian Kompas, Supriyanto, dan ilustrator dari Studio Batu Wulang Sunu.
Dalam pekerjaan sehari-harinya, Supriyanto menggambar berdasarkan tulisan-tulisan yang dibuat wartawan. Tulisan itu, sudah tentu, punya maksud dan makna yang hendak disampaikan penulisnya. Supriyanto menerjemahkan tulisan itu ke dalam bentuk gambar.
Wujud gambarnya bisa sangat gamblang. Sekali melihat gambar ilustrasi itu, orang bisa langsung menangkap maksud tulisannya. Namun, tak jarang, untuk memahami ilustrasi besutan Supriyanto, audiens harus membaca artikel penyertanya terlebih dahulu. Mata pembaca pun disegarkan dengan ilustrasi tersebut.
”Ilustrator di media harus mampu meringkas artikel yang panjang lebar menjadi benda atau simbol. Kami mempelajari semiotika untuk merangkum maksud artikel,” kata Supriyanto.
Dia mengatakan, ilustrator di media cetak harus bisa menggambarkan pesan yang hendak disampaikan penulis artikel. Tak jarang, dia kerap membaca artikel itu berkali-kali.
Kalau belum cukup juga, dia tak segan berdiskusi dengan penulisnya. Dia juga perlu menentukan simbol lain yang jarang digunakan untuk topik tulisan yang berulang. Maklum, namanya koran harian, topik tertentu bisa terus-terusan dibahas saban hari.
Punya identitas
Berbeda dengan cara kerja Supriyanto, gambar besutan Wulang Sunu tak melulu berangkat dari sumber tulisan. Imajinasinya bisa berangkat dari mana saja, bisa dari foto, film, ataupun produk audio. Ya wajar, karena selain menggambar mural, Wulang juga membuat poster film, dan belakangan poster untuk sandiwara siniar (podcast).
Lulusan jurusan Desain Komunikasi Visual dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini dulunya sering membuat mural di dinding-dinding ruang publik. Namanya ”seniman jalanan”, dia sering kucing-kucingan dengan aparat, juga preman setempat. Lama-kelamaan, dia dan teman-temannya merasa karya seni bisa diwujudkan dengan cara dan bentuk lain.
Selain belajar di kampus, Wulang juga mempelajari urusan seni rupa di kelompok teater boneka Papermoon Puppet Theater di Yogyakarta. Kelak, pengalamannya selama lima tahun bersama kelompok teater boneka banyak muncul di berbagai karyanya.
Karakter atau tokoh dalam gambar Wulang sekilas terlihat seperti boneka dalam wujud dua dimensi. Nuansa main-main tak ia tanggalkan. Gambarnya sering memakai aneka warna cerah. Bisa jadi, karya Wulang disukai anak kecil, tetapi juga dinikmati oleh orang dewasa sekaligus.
Pameran tunggalnya pada 2016 berjudul ”The Ice Vendor” di gedung The Esplanade, Singapura, menguatkan rasa kekanak-kanakan itu. Gambar-gambar bertema es krim menghiasi dinding-dinding ruang pamer. Pengunjung yang datang boleh jadi langsung ingin menjilat es krim seusai dari situ.
Ketika menggarap gambar bertema lebih ”serius”, Wulang tak melepas cirinya. Poster film pendek Lembusura (2015) besutan sutradara Wregas Bhanuteja yang lekat dengan unsur mitos letusan hujan abu, misalnya, terlihat seram dengan warna merah menyala.
”Tulisan judul filmnya aku buat pakai mouse, jadi kesannya main-main,” kata Wulang yang dulu terkesan dengan ilustrasi sampul album musik Dookie dari band Green Day ini. Hal sama dia terapkan untuk poster film Prenjak (2016), yang menang di ajang Festival Film Cannes, Perancis, itu.
Dua film itu diproduksi oleh Studio Batu, tempat bernaung Wulang. Studio itu membuat karya berbagai disiplin seni, mulai gambar, film, musik, hingga arsitektur.
Persinggungan dengan ragam ranah seni itulah yang membuat Wulang bergerak dari membuat gambar di kertas ke medium yang lebih rumit. Dia bermain dengan instalasi dan bayangan dalam karya berjudul While You’re Away (dipentaskan 2017), dan Humba Dreams (Un)Exposed pada 2019. Karya yang disebut terakhir adalah interpretasi Studio Batu atas film Humba Dreams besutan Riri Riza.
Sumber inspirasi
Di tangan Wulang, ilustrasi tak lagi sekadar gambar. Gambar juga merambah ke medium lain. Dari mana sajakah sumber inspirasinya?
”Ide diperkaya dari membaca buku, menonton film, atau kegiatan sehari-hari. Mencari inspirasi itu segampang mengubah jalur dari rumah ke kantor. Kita bisa melihat hal potensial dan menarik dari hal-hal sederhana yang kita lakukan, seperti menyapu,” ujarnya.
Topik ilustrasi ini cukup menarik bagi kawula muda. Webinar akhir pekan lalu diikuti lebih dari 80 peserta yang tekun menyimak paparan selama sekitar 2 jam.
Salah seorang pesertanya, Lucy Etty Susanty (23), jadi punya anggapan bahwa menjadi ilustrator tidak melulu mengandalkan rasa, tetapi juga logika, karena hasil karyanya mencerminkan bagaimana seorang ilustrator berpikir.
Lucy adalah ilustrator ”dadakan” di kantor tempatnya bekerja. ”Awalnya, aku dipekerjakan sebagai merchandising administrator (admin), tetapi aku menawarkan diri mengerjakan desain. Sekarang, 90 persen kerjaanku mendesain,” katanya yang belajar menggambar secara otodidak ini.
Peserta lainnya, Leonardus Ardi Agung Prasetyo Nugraha (22), juga tertarik dengan dunia gambar-menggambar meskipun dia mengaku bukan seorang ilustrator.
Mahasiswa program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma ini sejak kecil berlatih menggambar tokoh anime kesukaan, seperti Naruto dan Idaten Jump. Dia juga sering mendatangi pameran lukisan di Yogyakarta.
”Ilustrasi itu menarik karena merepresentasikan pesan penciptanya dengan cara yang beragam,” kata Leonardus.