Komunitas Lima Gunung Menunggu Wahyu dan Menjawab Tantangan Waktu
Komunitas Lima Gunung Magelang menghadapi tantangan baru, yaitu waktu. Hal ini diharapkan bisa dipecahkan dengan menunggu wahyu dari para seniman muda.
Lebih dari 20 tahun bergumul bersama dalam kesenian, Komunitas Lima Gunung di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kini memasuki fase baru. Saat ini, mereka tengah menunggu ”wahyu”.
Wahyu yang dinanti bukan dari Tuhan atau nabi. Wahyu yang ditunggu-tunggu dan diharapkan adalah kehendak luhur yang terlahir dari masing-masing pribadi dari kalangan muda mereka sendiri.
”Kami berharap selalu ada krenteg (kehendak kuat) dari anak-anak muda untuk terus berkarya berkesenian,” ujar Sitras Anjilin (60), sesepuh, seniman dari Padepokan Tjipta Boedaja dari lereng Merapi, Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, dalam acara ritus kali di aliran Sungai Pabelan di belakang Studio Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Senin (8/8/2022) mulai pukul 05.00. Pesan berikut harapan dari Sitras, salah satu sesepuh dari Komunitas Lima Gunung (KLG) tersebut, menjadi pembuka dalam acara Festival Lima Gunung (FLG) XXI, yang kali ini lebih banyak melibatkan seniman muda. FLG adalah ajang kesenian tahunan dari KLG.
Kalangan muda diharapkan mau terus berkarya, seperti apa yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Namun, walaupun berperan sebagai generasi penerus, mereka juga dibebani tanggung jawab untuk tidak ”sekadar” melanjutkan.
”Anak muda biarlah bekerja dan berkesenian memenuhi tanggung jawab serta visi misinya sendiri,” ujarnya.
Adapun rumagang dalam bahasa Jawa dimaknai sebagai bangkit kembali untuk bekerja keras. Dalam ini, kerja yang dibutuhkan adalah aktivitas nyata di bidang kesenian dan kebudayaan.
Sutanto Mendut, budayawan dan pendiri KLG, mengatakan, berdasar sebuah penelitian, anak-anak muda sebenarnya hebat, maju, dan cerdas. Namun, mereka memiliki kecenderungan sibuk dengan kesendiriannya masing-masing.
”Anak muda itu terbiasa omong sendiri, edit dan posting sendiri, bikin rundown acaranya sendiri,” ujarnya. Kesendirian itulah yang harus diubah, dan diperluas dalam kerja yang lebih besar bersama kelompok, komunitas hingga lingkup bangsa.
Namun, dia pun mengingatkan bahwa kerja, kiprah, aktivitas apa pun, semua harus dilakukan sebagai sesuatu atas dasar senang dan cinta. ”Jika semuanya dilakukan dengan cinta, selanjutnya materi akan mengikuti,” ujarnya.
Pembuktian
Jika yang tua memberikan pesan sebagai tantangan, kelompok muda pun berhak bereaksi meresponsnya. Sesuai dengan harapan dan kesempatan yang diberikan, FLG XXI pun menjadi ajang pembuktikan kaum muda.
Menepikan porsi bekerja dari seniman senior yang kini sudah memiliki rentang usia 50 tahun ke atas, penyelengaraan FLG XXI sepenuhnya dilakukan oleh 19 seniman muda yang semuanya berusia di bawah 35 tahun. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, dari lebih dari 20 anggota panitia, jumlah seniman muda yang terlibat biasanya tidak lebih dari enam 6 orang.
Endah Pertiwi (35), yang sudah bergabung dengan KLG sejak tahun 2007, mengatakan, dalam FLG kali ini kecekatan dan keseriusan bekerja dibuktikan dengan merancang persiapan kemudian menggelar pembukaan FLG hanya dalam durasi waktu kurang dari sebulan. Adapun, di tahun-tahun sebelumnya, persiapan untuk sebuah acara seperti FLG membutuhkan waktu lebih dari sebulan.
Selain terbantu oleh faktor usia yang membuat para seniman ini lebih cepat dan sigap bergerak, segala aktivitas, terutama aktivitas publikasi di era saat ini, sudah sangat terbantu oleh kemajuan teknologi digital.
”Semuanya cepat terselesaikan karena rata-rata generasi sekarang generasi pemegang telepon seluler yang sangat melek digital,” ujar Endah sembari tersenyum.
Di era sebelumnya, masalah publikasi di media sosial ataupun pencetakan berbagai atribut, seperti kaos FLG, misalnya, hanya dipercayakan kepada satu orang saja. Masalah perumusan desain pun biasanya membutuhkan waktu lama.
Baca Juga: Hikmat Menghidupi Seni di Lembah Lima Gunung
Kemajuan teknologi yang memudahkan publikasi juga diakui oleh Singgih Arif Kusnadi (34), Ketua Padepokan Wargo Budoyo di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis.
”Khusus untuk pelaksanaan FLG kali ini, sebagian seniman ada yang kami minta untuk berpromosi melalui unggahan video dan ada pula yang ditugasi sebagai buzzer,” ujarnya.
Dusun Gejayan adalah kampung yang terletak di lereng Gunung Merbabu, yang berjarak lebih dari 20 kilometer dari Kota Magelang.
Singgih, yang merupakan sarjana, lulusan dari Program Studi Film dan Televisi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, mengatakan, di kampungnya sendiri, di Dusun Gejayan, para seniman muda sudah banyak diajarinya membuat dan melakukan editing video
”Sekarang, para seniman yang sekaligus juga petani, warga, mulai dari yang sarjana hingga lulusan SD sekalipun, sudah sangat terampil melakukan editing video,” ujarnya. Video-video tersebut diunggah di berbagai media sosial.
Warga Dusun Gejayan juga sudah intens membuat podcast Guneman Tanpa Leren, yang biasanya memperbincangkan masalah-masalah di desa.
Di luar masalah kemampuan dan kecanggihan teknologi, perbedaan juga terjadi pada kultur beraktivitas dan berinteraksi satu sama lain. Jika sebelumnya, ada rasa sungkan, rikuh terhadap tokoh atau kelompok tertentu yang dituakan, relasi antarseniman muda ini berlangsung sangat cair. Mereka akan langsung sigap, mau melakukan apa saja, agar suatu kegiatan bisa terlaksana.
”Tanpa harus komando atau perintah berlebihan, teman-teman seniman muda biasanya akan langsung saling kontak, dan bertanya apa yang bisa dibantu untuk dikerjakan,” ujar Endah.
Setelah acara pembukaan di Studio Mendut, rangkapan acara FLG untuk sementara ditetapkan dilanjutkan Dusun Tutup Ngisor pada 11-14 Agustus 2022, dan di Dusun Mantran Wetan, Kecamatan Ngablak, pada 28 dan 30 September serta 1-2 Oktober.
Di sela-sela hari dan lokasi yang sudah ditentukan tersebut, banyak seniman lain juga sudah mengajukan berbagai lokasi lain. Namun, hingga saat ini, susunan jadwal belum diatur secara pasti.
”Yang pasti, teman-teman muda di sini siap untuk bekerja dadakan,” ujarnya.
Panggilan
Perjalanan waktu secara otomatis memang memastikan segala sesuatu perlu regenerasi. Setiap orang pun berhak memutuskan akan untuk berhenti atau beralih fokus perhatian.
”Festival kali ini, biar yang muda yang bekerja. Yang tua biarlah ngopi dan ngobrol sana sini saja,” ujar Ketua KLG Supadi Haryanto yang pada Senin (8/8) bahkan agak keberatan untuk memberikan kata sambutan.
Di lapangan, sebagian seniman lainnya bahkan juga sudah bergerak memberikan tongkat estafet. Sujono (52), salah seorang seniman asal Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, mengatakan, bahwa tahun ini dia mulai menggerakkan dua rekan seniman muda di desa yang berusia di bawah 40 tahun untuk melatih warga menari.
Adapun Singgih yang semula hanya bergerak di belakang layar, membantu menentukan tema FLG, akhirnya mulai menerima mandat untuk lebih aktif berkesenian sejak tahun 2020. Ketika itu, tokoh seniman di Dusun Gejayan, almarhum Riyadi, mulai sering meminta Singgih mewakili dirinya tampil di berbagai acara KLG. Banyak belajar dari Sutanto Mendut selama setahun, dia pun akhirnya merasa lebih siap memimpin Padepokan Wargo Budoyo, setelah Riyadi meninggal pada 2021.
Nabila Rifany (24), seniman tari sekaligus mahasiswi semester akhir Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang sudah bergagung dengan KLG sejak delapan tahun lalu, mengatakan, regenerasi menjadi panggilan yang harus dilakukan dan tidak mungkin dihindari.
”Para seniman pendahulu kini sudah sibuk dengan beragam aktivitasnya masing-masing. Selain sibuk mengurus keluarga, mereka juga sibuk bekerja antara lain bekerja sebagai perangkat desa ataupun pekerjaan lainnya,” ujarnya.
Di sisi lain, sebagai seniman muda, Nabila mengaku dirinya juga tidak bisa pergi begitu saja demi menghindari tanggung jawab regenerasi.
”Bagi saya, KLG ibarat keluarga sendiri yang tidak mungkin ditinggalkan,” ujarnya.
Harapan
Dipimpin atau digerakkan oleh seniman dari kalangan usia berapa pun, FLG dan KLG tetap menyimpan harapan besar dari para teman, sahabat, dan semua penikmat seni.
Pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, KH Yusuf Chudlori yang akrab disapa Gus Yusuf, mengatakan, dari desa, agenda tahunan FLG menjadi pesta kesenian yang selalu mampu ”menggetarkan” hingga ke tataran masyarakat kota.
”Cuma FLG yang mampu membuat para pejabat di kota untuk terus teringat dan mau memikirkan tentang ritmen kehidupan di desa,” ujarnya.
Dia pun memuji pelaksanaan FLG XXI yang disebutnya sebagai langkah berani untuk menggelar kemeriahan pesta kesenian, di tengah suramnya situasi akibat krisis ekonomi global.
Baca Juga: Komunitas Lima Gunung dan Seni yang Hidup dari Keringat Petani
Rohaniwan sekaligus dosen program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Romo G Budi Subara, SJ, mengatakan, di tengah situasi pandemi Covid-19, KLG dengan penyelenggaraan FLG telah membantu mendukung program vaksinasi.
”Para seniman ini telah membantu memberikan vaksinasi secara kultural dan budaya yang selama ini tidak pernah dipikirkan oleh pemerintah,” ujarnya. ”Vaksinasi” untuk kesehatan mental dan pikiran tersebut bahkan sudah dilakukan KLG sejak lama.
Adapun maestro seni tari, Didik Nini Thowok, yang juga berharap KLG akan terus berkiprah, mencoba tantangan-tantangan baru, antara lain menggelar acara kesenian di tempat lain, seperti di Situs Liyangan, Kabupaten Temanggung.
”Mari berkolaborasi menari di kampung halaman saya,” ujarnya.
Perjalanan telah merekam bahwa KLG telah melalui begitu banyak kejadian dan masalah. Semua mampu diatasi dan terbukti, selama dua tahun pandemi, 2020-2021, para seniman tetap mampu menggelar lebih dari 30 agenda kesenian per tahun.
Namun, di luar waktu, perguliran waktu adalah sesuatu yang tidak mungkin dilawan. Harapan ke depan menjadi tantangan untuk direalisasikan. Tinggal kita menunggu waktu, menunggu turunnya wahyu.