Para seniman dari Komunitas Lima Gunung (KLG) sudah lebih dari 30 kali menggelar pentas di tengah pandemi. Kegigihan mereka membuktikan bahwa kreativitas seni tetap bisa bertahan dalam kondisi apa pun.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·6 menit baca
Berbatas palang bambu warna merah jambu, lima seniman Komunitas Lima Gunung di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menampilkan gerak tubuh dan tari di dalam area aman. Meski tampil berhati-hati sesuai protokol kesehatan, gerak tubuh mereka begitu menyatu dengan alunan musik etnik. Adaptasi dilakukan para seniman demi tetap bisa berkarya di masa sulit.
Ismanto, pematung, menatahkan alat pahat pada sebongkah batu sambil duduk. Di sekelilingnya, empat seniman sepenuh hati menari di depan kumpulan daun dan sabut kelapa yang dibakar dengan api kecil. Pertunjukan hari itu menunjukkan bahwa jarak tak membatasi mereka untuk berekspresi.
Pentas tersebut adalah pentas yang ditampilkan dalam Studium Generale Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, yang ditayangkan secara daring dari Studio Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Rabu (30/9/2020).
Komunitas Lima Gunung (KLG) adalah komunitas seni yang beranggotakan seniman dari lima gunung dan perbukitan, yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan perbukitan Menoreh, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Ditampilkan dengan iringan musik etnik dari kelompok musik Ki Ageng Qithmir dari Pati, Jawa Tengah, pentas ini hanya dipersiapkan dengan satu kali latihan saja. Itu pun ada beberapa hal yang diputuskan mendadak beberapa saat sebelum pentas.
Singgih Arif Kusnadi, misalnya, salah seorang penari asal Kecamatan Pakis, Magelang, mengatakan, semula dirinya hanya diminta menyalakan api untuk efek visual. Namun, karena dia mengenakan baju adat Jawa, atas saran rekan-rekan yang lain, dia mendadak didaulat tampil menari hingga pentas berakhir.
”Menari sebisanya, sepantasnya saja,” ujarnya sembari tertawa. Singgih adalah anggota Padepokan Wargo Budoyo, di lereng Gunung Merbabu, Kecamatan Pakis. Namun, sebisanya tidak bermakna seadanya atau semaunya. Dia tetap mengerahkan daya dan kemampuan untuk meliukkan badan, kaki dan tangan, mengikuti gerakan seniman lainnya.
Berbeda dengan Singgih, Nabila Rifany, penari lain, telah mempersiapkan diri dengan berlatih. ”Tidak ada nama tarian khusus. Gerakan tarian tadi sebenarnya lebih banyak merupakan gerakan spontan menyesuaikan dengan yang lain saja,” ujarnya tersenyum.
Kendati tidak ada rancangan khusus ataupun koreografi pentas, semua gerak tampil selaras dengan iringan musik sehingga menarik perhatian dari sekitar 200 penonton yang hadir secara langsung, termasuk mahasiswa.
Tidak hanya gerakan, pentas juga diatur secara hati-hati agar tetap terlaksana sesuai protokol kesehatan. Dalam pentas yang berlangsung dalam durasi sekitar 10 menit, setiap seniman terlihat saling menjaga jarak dan tidak berpapasan satu sama lain.
Dalam satu kesempatan, salah seorang penari, Lyra de Blauw dari Kota Magelang, naik ke atas kursi yang dipasang di atas palang setinggi 2,5 meter dari tanah. Mereka menunjukkan bahwa para seniman bisa menjadi contoh penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19, termasuk menjaga jarak.
Pentas hibrida
Pentas pada Rabu (30/9/2020) itu adalah panggung ke-30 yang digelar KLG selama pandemi. Kreativitas seni tidak pernah mati. Namun, karena digelar di tengah pandemi, setiap ajang pertunjukan akhirnya harus digelar dengan banyak penyesuaian.
Sebanyak 30 pertunjukan tersebut digelar secara hibrida dengan tetap menggelar acara secara langsung dan menayangkannya secara virtual. Pelaksanaan pertunjukan langsung juga tetap dibatasi dengan membatasi jumlah undangan kurang dari 10 orang.
Publikasi tentang acara pentas, Rabu, di media sosial, juga langsung menyebutkan bahwa kegiatan tidak mengundang tamu. Walhasil, di luar para seniman yang wara-wiri pentas dan ikut menyiapkan kostum, hanya terdapat segelintir tamu, termasuk jurnalis, sehingga menyisakan banyak ruang kosong di kursi dan susunan batu yang biasa menjadi tempat duduk.
Tayangan seni secara daring bukan hal mudah bagi para seniman KLG. Dalam pentas Rabu lalu saja, sejumlah penari tampak sibuk memastikan tempat agar gerakan mereka tidak mengganggu dan menyajikan performa tayangan terbaik di jagat maya. Tidak hanya itu, para jurnalis juga harus menahan diri agar tidak sembarangan melintas sehingga dapat mengganggu tangkapan layar dua kamerawan di sekitar pentas.
Tayangan daring juga tidak mudah dilakukan di sembarang tempat. Kondisi rumah para seniman yang tersebar di pelosok desa, kebanyakan di lereng-lereng gunung, sering kali mendatangkan persoalan klasik, susah sinyal.
Namun, bagi para seniman KLG, kendala apa pun sudah siap dihadapi. Riyadi, seniman KLG asal Kecamatan Pakis, mengatakan, perjalanan berkesenian Komunitas Lima Gunung telah melewati berbagai macam hambatan, termasuk bencana alam dan non-alam. Dalam setiap bencana, mereka tak sekadar beradaptasi, tetapi juga ikut berbagi.
Saat bencana tsunami Aceh tahun 2004 dan gempa di DIY 2006, misalnya, para seniman KLG tergerak pergi ke lokasi bencana dan menghibur para pengungsi. Semua aktivitas tersebut dilakukan spontan tanpa rancangan pentas yang muluk-muluk. Niat mereka hanya ingin meringankan beban para korban bencana.
Bencana alam di daerah sendiri juga tak menghambat para seniman menggelar acara rutin Festival Lima Gunung (FLG). FLG X tahun 2011, misalnya, tetap digelar di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan. Padahal, kala itu, ekonomi masyarakat Dusun Keron masih belum pulih akibat dampak erupsi Gunung Merapi. Kampung mereka pun masih sibuk karena menampung banyak pengungsi, korban erupsi dari desa tetangga.
Para seniman KLG pun tergerak pergi ke lokasi bencana dan menghibur para pengungsi.
Namun, di tengah situasi sulit tersebut, warga masih sukarela patungan Rp 25.000 per keluarga untuk penyelenggaraan FLG. Kala itu, para ibu ringan tangan memberi suguhan bagi para tamu undangan.
Ismanto, seniman asal Kecamatan Dukun, yang ketika itu menjabat sebagai ketua KLG, mengatakan, di tengah kondisi sesulit apa pun aktivitas seni masih dapat berjalan. ”Selalu ada cara untuk seni dan selalu ada cara bagi kita untuk merasa bahagia,” ujarnya saat itu.
Riyadi mengatakan, dorongan semangat bagi para seniman Komunitas Lima Gunung untuk terus menjalankan laku berkesenian, antara lain, muncul dari antusiasme warga yang menonton. Secara pribadi, dia pun mengaku tidak bisa melupakan reaksi para pengungsi di daerah bencana yang baginya sangat mengharukan.
Ia mengenang salah satu adegan menyentuh saat seorang ibu, korban erupsi Merapi, menangis karena demikian bahagia saat menyaksikan pertunjukan seni di sekitar tempat pengungsian. Setelah berbulan-bulan tinggal di pengungsian dan diliput kesedihan, dia sangat senang akhirnya bisa menonton pentas seni yang sungguh menghibur jiwa.
”Melihat ibu tersebut, kami tersadar bahwa kebutuhan menyaksikan hiburan dan kesenian adalah kebutuhan yang sama pentingnya seperti makan-minum,” ujar Riyadi.
Presiden Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, mengatakan, beragam peristiwa yang sudah dilalui membuat kepekaan para seniman KLG terhadap beragam krisis kian terasah. Tidak saja masalah perilaku dan protokol kesehatan yang kini digelorakan menyikapi pandemi Covid-19, mereka jugaterbiasa luwes menyikapi masalah krisis dana sejak lama.
Dalam banyak kesempatan, hal ini dibuktikan dengan menggelar pertunjukan dengan dana minim,sehingga membuat sejumlah seniman kerap tidak dibayar. Namun, kondisi itu tidak mengubah kesadaran setiap seniman untuk saling membantu dan mempersiapkan pertunjukan dengan sebaik-baiknya.
Beragam peristiwa yang sudah dilalui, membuat kepekaan para seniman KLG terhadap beragam krisis kian terasah.
”Karena faktor pendorong utama untuk bergerak dan membuat semuanya lebih baik,adalah kesadaran. Bukan perintah, bukan imbauan,” ujarnya.
Kesadaran para seniman KLG itulah yang membuat mereka tetap bertahan hingga kini, termasuk di masa pandemi. Kesadaran untuk menyesuaikan diri dan terus berkreasi di tengah ketidakpastian masa pandemi. Mereka menghidupi seni, bukan sekadar hidup dari seni.