Aroma Kopi Kamanuru yang Merambah Jazirah Arab
Warga desa di lereng Pegunungan Gawalise, Kabupaten Sigi, Sulteng, sukses memproduksi kopi yang memenuhi standar pasar internasional.
Dari sebuah kampung di lereng Pegunungan Gawalise, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, aroma kopi arabika merambat hingga ke Uni Emirat Arab. Warga mengolah kopi yang dinamai Kamanuru itu dengan standar tinggi sehingga dapat menembus pasar internasional. Lewat kopi, warga memupuk embrio kesejahteraan.
Jasmon (36) mengaduk-aduk dengan tangannya biji kopi yang dominan berwarna merah di baskom hitam. Didiamkan sesaat, sejumlah biji kopi mengapung. Biji kopi yang mengapung tersebut dikeluarkan dari baskom sehingga tersisa biji kopi yang tenggelam.
Jasmon kembali mengulangi aktivitasnya. Air lama diganti air baru. Masih ada sejumlah biji yang mengapung. Dia kembali mengeluarkannya. Begitu lagi untuk ketiga kalinya sampai tak ada lagi biji kopi yang mengambang.
”Ini mau memastikan kopi yang diolah selanjutnya harus yang betul-betul berkualitas, yang tenggelam, karena itu berarti yang benar-benar matang dan berbobot,” ujar warga Desa Dombu, Kecamatan Marawola Barat, Kabupaten Sigi, itu, Rabu (13/7/2022).
Biji kopi yang tenggelam ke dasar baskom berkualitas baik untuk seterusnya diolah dan dijual. Biji kopi yang memenuhi kriteria tersebut pada umumnya berwarna merah. Sementara, biji kopi yang mengapung kebanyakan masih belum matang dengan ciri berwarna hijau atau kuning, serta biji yang rusak.
Biji kopi yang lolos seleksi itu selanjutnya dijemur di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung atau disebut green house. Biji kopi lalu digiling kemudian disortir guna memisahkan beras kopi (green bean) yang pecah dan bengkok. Biji yang utuh kemudian dikemas dalam plastik di dalam karung lalu diendapkan selama tiga bulan sebelum dikirim ke pembeli.
Itulah sekilas gambaran pengolahan kopi yang dilakukan anggota Koperasi Petani Ongu Nipomaya di Desa Dombu. ”Proses pengolahan kopi memakan waktu hampir satu tahun. Kami memang betul-betul menjaga kualitas karena cita rasa yang kami jual,” tutur Antius (35), anggota koperasi lainnya.
Berdasarkan uji sampel PT Belajar Kopi Bersama, salah satu penyedia jasa penelitian kopi, pada Oktober 2021 cita rasa kopi Kamanuru disebutkan beraroma bau kering seperti pada kayu manis, karamel, dan molases. Setelah diseduh, aroma berubah menjadi kulit jeruk nipis, cokelat hitam, dan teh hitam. Adapun rasanya seperti cokelat, kapulaga, dan cengkeh pada saat suhu panas. Ketika suhu turun, ada rasa ceri, bubuk cokelat, dan sedikit terasa aroma panggangan.
Dombu terletak di lereng Pegunungan Gawalise pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Desa tersebut berjarak 75 kilometer dari Palu, ibu kota Sulteng, yang dapat ditempuh 1,5 jam perjalanan sepeda motor. Akses ke desa itu cukup baik meskipun di sejumlah titik aspal telah terkelupas menyisakan tanah bergelombang dan berkubang.
Kopi dari Desa Dombu diberi ”merek” Kamanuru, kata dalam bahasa Kaili Da’a, subsuku Kaili yang mendiami Lembah Palu dan sekitarnya. Kata itu menggambarkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, atau sesuatu yang mustahil menjadi mungkin. Sementara, ongu nipomaya yang menjadi nama koperasi berarti biji yang terhampar.
Baca juga: Pengolahan Pascapanen Tentukan Jati Diri Kopi
Anggota Koperasi Ongu Nipomaya merasakan betul makna ”kamanuru” itu berkat kopi. Dari sebelumnya menyeruput kopi sasetpabrikan, kini mereka bisa menghasikan kopi untuk dikonsumsi sendiri. Dari mengolah kopi sekadarnya untuk dijual di pasar lokal dengan harga sekitar Rp 20.000 per kilogram, saat ini mereka menghasilkan kopi berkualitas yang dilirik pasar Uni Emirat Arab (UEA) dan Jepang.
Dari desa yang hampir setiap sore dinaungi kabut itu, 300 kilogram (kg) beras kopi telah merambah ke UEA pada 2021 dengan harga Rp 110.000-Rp 125.000 per kg. Pembeli dari negara di Jazirah Arab itu sudah memesan 500 kg lagi untuk 2022. Anggota koperasi masih memproses pesanan tersebut, yang ditargetkan dikirim akhir tahun ini.
Tak hanya ke UEA, pada awal 2022, koperasi juga mengirim 150 kg kopi dengan harga Rp 150.000 per kg ke Jepang. Pasar Kanada pun telah melirik Kamanuru, tinggal menunggu hasil sampel yang diteliti. Jika hasilnya memenuhi ekspektasi mereka, koperasi siap mengirim kopi ke negara di Amerika utara itu.
Dari penjualan ke luar negeri tersebut, koperasi mengantongi sekitar Rp 118,5 juta dalam dua tahun. Itu belum termasuk penjualan volume kecil di tingkat lokal, baik dalam bentuk beras kopi maupun bubuk dalam kemasan. Namun, uang tersebut belum dibagi, melainkan dijadikan modal untuk pengembangan sarana produksi, seperti pembangunan tempat jemur green house.
Ini seperti mimpi bagi kami. Kami masih belum percaya.
Harga tinggi itu memperhitungkan banyak aspek, seperti upah petani merawat kopi, biaya angkut, dan pengolahan pascapanen. Selain itu, turut dimasukkan komponen sumbangan budidaya kopi terhadap kelestarian lingkungan.
Konsultan pascapanen kopi asal Jawa Barat yang mendampingi anggota Koperasi Ongu Nipomaya sekaligus memfasilitasi penjualan kopi ke luar negeri, Ade Cholid Mutaqin, menyebutkan, harga yang ditetapkan cermin bagi hasil yang adil (fair share) dalam perdagangan. Semua jerih payah petani dihargai, tetapi tuntutan kualitas dari pembeli harus dipatuhi.
Memetik buah kopi merah, menyortir, menggiling, dan menjemurnya di tempat jemur berpelindung serta menjual kopi olahan tangan sendiri tak pernah dibayangkan warga Dombu sebelumnya. ”Ini seperti mimpi bagi kami. Kami masih belum percaya,” tutur Antius.
Dombu dan desa lain di Kecamatan Marawola Barat sebenarnya sudah lama mengenal tanaman kopi. Namun, kopi yang ditanam para pendahulu adalah jenis robusta. Sebagian besar tanaman itu pun ditebang saat warga beralih ke kakao pada dekade 1980-an. Kopi dijual di pasar lokal setelah diolah sekadarnya, seperti tumbuk dan dijemur di wadah dengan paparan langsung sinar matahari.
Baca juga: Kopi Melawan Sepi
Kopi arabika mulai ditanam di lereng Marawola Barat setelah warga menerima benih kopi dari pendeta gereja setempat pada 2015. Saat itu, hampir semua warga yang juga jemaat gereja mendapatkan biji kopi untuk ditanam. ”Karena kami tidak punya pengetahuan budidaya tanaman kopi, hanya sedikit kopi yang berhasil,” tutur Jasmon.
Jasmon sendiri saat ini memiliki sekitar 100 pohon di lahan 0,25 hektar yang maksimal menghasilkan 800 kg ceri per tahun. Jumlah tersebut sekitar separuh dari yang ditanam pada 2015. Secara total, benih kopi pada 2015 itu saat ini tumbuh di lahan seluas 6 hektar di Dombu. Selain dimiliki anggota keperasi, kebun kopi juga punya warga lain yang menjadi pemasok utama kopi untuk koperasi.
Secara umum, kopi belum menjadi komoditas andalan di Sulteng. Luas kebun kopi pada 2020 merujuk Badan Pusat Statistik Sulteng (2021) ”hanya” 9.951 hektar dengan produksi 2.593 ton. Luas tersebut kalah jauh dari kebun kakao, komoditas unggulan daerah, yang tak kurang dari 100.000 hektar.
Gerbang menuju kebanggaan memiliki kopi dengan nama sendiri terbuka pada awal 2019. Kala itu, Ade berniat mengembangkan budidaya dan pengolahan pascapanen kopi di Dombu. Hal itu berdasarkan informasi dari koleganya dan merujuk sampel kopi yang telah dites dengan hasil memenuhi standar pasar.
Menghasilkan kopi dengan standar tinggi ini hal baru dan menantang.
Antius menyebutkan, ada komitmen bersama untuk mengolah dan menghasilkan kopi, minimal untuk kebutuhan sendiri. Dengan kesadaran itu, warga Dombu mulai belajar bersama Ade. Mereka membangun green house untuk menjemur kopi. Mereka juga belajar teori dan praktik mengolah kopi serta budidaya tanaman kopi yang baik.
Selama sekitar tiga tahun mereka belajar sambil pelan-pelan memproduksi kopi Kamanuru untuk melayani pasar luar negeri. ”Menghasilkan kopi dengan standar tinggi ini hal baru dan menantang. Ternyata kami bisa melakukannya,” kata Jasmon.
Koperasi membeli ceri dari petani Rp 10.000 per kg. Harga tersebut naik dari tahun lalu Rp 7.500 per kg. Jasmon menuturkan, 1 kg beras kopi setara 7 kg ceri. Dengan harga 10.000 per kg, warga mendapatkan Rp 70.000 jika menjual beras kopi. ”Harga itu jauh di atas harga jual di pasar lokal, yakni Rp 20.000 per kg. Apalagi, penjual tak banyak buang waktu mengolah kopinya,” ujarnya.
Dengan masih sedikitnya kopi yang tersedia, koperasi membatasi volume penjualan ke luar negeri. Ke depan, volume diperkirakan meningkat seiring dengan makin populernya kopi Kamanuru. Selain itu, produksi juga bertambah karena telah ditanam sekitar 15.000 bibit kopi yang difasilitasi Koperasi Ongu Nipomaya.
Tantangan pengolahan kopi di Dombu, kata Ade, yakni menjaga kualitas produksi. Pembentukan wadah tunggal untuk pengolahan dalam bentuk koperasi menjadi pilihan terbaik. Meskipun masih seumur jagung, warga Dombu membuktikan tak ada yang mustahil dilakukan selagi ada niat dan ketekunan. Kopi menjadi sarana mereka untuk lebih merasakan kemerdekaan menuju masyarakat lebih sejahtera kelak.
Baca juga: Semangat Kebangkitan dari Pelabuhan di Teluk Palu