Jusuf Kalla: Evaluasi Tarif Baru Taman Nasional Komodo
Tarif masuk Taman Nasional Komodo, menurut mantan Wapres Jusuf Kalla, bisa saja ditetapkan Rp 1 juta dengan menetapkan kuota pengunjung, misalnya 500 orang per hari, untuk menjaga konservasi.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla mengingatkan, Taman Nasional Komodo telah dipromosikan sebagai satu dari tujuh keajaiban alam dunia sejak sepuluh tahun lalu. Kini, setelah populer dan mendatangkan wisatawan serta menggerakkan perekonomian daerah, seharusnya pengambilan kebijakan terkait taman nasional itu lebih matang, termasuk soal tarif masuk yang diminta Kalla untuk dievaluasi.
Jusuf Kalla, di Jakarta, Sabtu (6/8/2022), menyampaikan keprihatinannya atas kondisi Labuan Bajo, khususnya Pulau Komodo, saat ini. Unjuk rasa dan penolakan kenaikan tarif masuk Taman Nasional Komodo (TNK) terjadi sejak akhir Juli sampai awal Agustus ini. Kendati unjuk rasa yang diikuti boikot asosiasi pegiat wisata mulai mereda dan situasi berangsur kondusif, jumlah pengunjung anjlok akibat kenaikan tarif.
Pemerintah menetapkan tarif baru untuk kunjungan ke TNK per 1 Agustus 2022. Tarif yang sebelumnya Rp 200.000 menjadi Rp 3,75 juta per wisatawan. Kenaikan ini berlaku untuk wisatawan yang berwisata ke Pulau Komodo dan Pulau Padar.
Selain itu, wisatawan yang hendak berwisata ke sana juga harus mendaftar terlebih dahulu melalui aplikasi Inisa yang diluncurkan Jumat (29/7/2022) di Labuan Bajo.
Menurut Kalla, kenaikan tarif ini perlu dievaluasi. ”Kita memahami komodo perlu biaya konservasi, kebersihan, penjagaan, dan sebagainya. Namun, jika tarifnya terlalu tinggi, bisa menurunkan (kunjungan) turis dan keinginan mendapatkan pendapatan tinggi dari turis tidak tercapai,” tuturnya.
Kalla menyarankan supaya tarif diturunkan. Tarif bisa saja ditetapkan Rp 1 juta dengan menetapkan kuota pengunjung, misalnya 500 orang per hari, untuk menjaga konservasi.
Dengan cara itu, pendapatan juga lebih terukur. Setiap hari, pendapatan Rp 500 juta dan per bulan bisa mencapai Rp 15 miliar. Dengan demikian, jumlah kunjungan wisatawan tetap tinggi dan pendapatan tetap naik.
Apabila tarif ditetapkan terlampau tinggi dengan harapan pendapatan tinggi, bisa saja wisatawan malah enggan datang. Akhirnya, harapan menerima pendapatan tinggi malah tak tercapai.
Kalla pun mengingatkan, pariwisata memiliki efek ekonomi yang sangat luas. Gangguan pada sektor pariwisata akan berimbas pada pengusaha hotel, restoran, pekerja wisata, warung-warung rakyat, pembuat kerajinan, nelayan penangkap ikan, bahkan pemerintah daerah yang memerlukan pendapatan asli daerah ataupun industri penerbangan.
Kalla berharap pemerintah mempertimbangkan kebijakan terkait TNK lebih matang. Harapannya, NTT juga semakin baik.
Di sisi lain, ketenangan dan kenyamanan saat berwisata menjadi hal penting. Berwisata dan melihat komodo mungkin hanya dilakukan sekali seumur hidup. Namun, berwisata di lokasi yang nyaman bisa saja dilakukan berkali-kali.
”Kalau di daerah wisata tidak tenang, ramai aksi demo, maka wisatawan tidak akan datang,” tambahnya.
Kalla yang pernah menjadi Duta Pemenangan Komodo mengingat masa-masa mendorong komodo dan TNK dikenal dunia luas. Sepuluh tahun lalu, katanya, TNK bersaing dengan 250 calon lain untuk menjadi salah satu dari tujuh keajaiban alam dunia (new seven wonders of nature). Secara bertahap, TNK menyisihkan pesaing-pesaing lain dan pada 2011 ditetapkan menjadi satu dari tujuh keajaiban alam dunia.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nusa Tenggara Timur (NTT) Zeth Sony Libing menjelaskan, kenaikan tarif semata-mata untuk tujuan konservasi komodo. Pendapatan dari tarif itu akan digunakan untuk program kelestarian lingkungan serta penataan lokasi wisata. Uang hasil pungutan retribusi itu dikelola Pemerintah Provinsi NTT serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kompas.id 31 Juli 2022).
Namun, asosiasi pelaku wisata menyatakan kenaikan tarif justru merugikan masyarakat lokal dan pelaku wisata. Kenaikan tarif justru membuat kunjungan wisatawan anjlok.
Warga Pulau Komodo pun memprotes kebijakan kenaikan tarif tersebut. Sebab, menurunnya kunjungan turis akan berdampak pada kehidupan mereka yang bergantung pada sektor pariwisata. Usaha pembuatan kerajinan, seperti aksesori, patung, usaha penginapan, dagang makanan, dan pemandu wisata terancam gulung tikar.
Selain itu, warga Pulau Komodo, Latif (35), mengatakan, masyarakat lokal akan mengajukan gugatan terkait penggunaan lahan masyarakat di Pulau Komodo yang selama ini digunakan pemerintah.