Sungai Baumata, Oase Kehidupan Warga Kupang di Tengah Kekeringan
Sungai Baumata di Kupang menjadi andalan satu-satunya sungai yang banyak manfaat bagi warga Kabupaten Kupang dan Kota Kupang. Sungai ini selain untuk air baku juga untuk pertanian dan peternakan.
Warga Kota Kupang dan Kabupaten Kupang boleh berbangga. Sumber air Baumata di Desa Baumata, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, tak pernah berhenti mengalir sepanjang musim. Petani sekitar pun berbangga. Lahan pertanian di sekitar sumber air dan daerah aliran sungai digarap sepanjang tahun, memberikan kehidupan. Anak-anak di wilayah itu pun jarang menderita gizi buruk, kecuali tengkes.
Agustinus Suni (54), petani Desa Oeltuah, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, berteduh di bawah pohon lontar, di samping kebun jagung miliknya, Sabtu (6/8/2022). Jarak desa itu sekitar 15 kilometer dari Pasar Penfui, Kota Kupang. Ia baru saja mengalirkan air dari Sungai Baumata menuju lahan jagung, kol, dan sawi miliknya. Tanaman itu masing-masing memiliki luas 5-10 are.
Jarak lahan pertanian dari sungai itu 500 meter. Sumber mata air Baumata berada di ketinggian sekitar 50 meter dari dataran, tempat sejumlah petani mengarap lahan itu. Bidang tanah itu dan beberapa bidang lain terus digarap sepanjang musim kemarau.
”Petani di sini tidak kesulitan air. Asal rajin kerja saja, kita bisa panen jagung, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Bisa tanam terung, tomat, pepaya, melon, semangka, jahe, kunyit, serai, dan lengkuas. Juga bisa tumbuh pohon buah berumur panjang, seperti kelapa, pisang, nangka, dan mangga. Kami belum coba tanam rambutan, dan durian di sini,” tutur Suni.
Hortikultura bisa dipanen sepanjang tahun secara bergantian bagi setiap jenis tanaman. Tenggat masa panen setiap jenis tanaman beragam, yakni satu bulan, dua bulan, dan tiga bulan.
Baca juga : Asa Petani Kupang di Tengah Kekeringan Ekstrem
Tahun ini debit air Baumata masih relatif cukup untuk tanaman hortikultura. Hal ini terjadi karena kondisi cuaca tahun ini lebih lembab dan dingin, bahkan sering terjadi hujan ringan dan sedang.
Tahun ini Suni sudah dua kali panen sayur-sayuran. Panen perdana pada Mei 2022 berupa terung, sawi, cabai, dan wortel. Panen kedua pada Juli 2022, yakni tomat dan bayam. Kini, tanaman kol dan jagung sedang dalam proses. ”Sekitar delapan hari lagi bisa dipanen,” katanya.
Setiap jenis tanaman memiliki luas berbeda, yakni dari 5 are sampai dengan 10 are. Sebenarnya lahan pertanian warisan orangtua Suni seluas 50 are. Tenaga terbatas untuk menggarap sehingga lahan itu digarap secara terbatas dan bertahap. Ia dibantu istri dan seorang anak. Dua anaknya bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.
Ia tidak ingin semua anaknya menjadi petani meski lahan itu masih luas. Namun, ia telah membagi warisan itu kepada anaknya masing-masing. Hanya saja, dua anak sebagai PNS masing-masing memiliki 5 are. ”Mereka sudah punya pekerjaan tetap. Lahan 5 are itu disiapkan saat mereka pensiun nanti,” kata Agus.
Baca juga : Budidaya Tanaman Hortikultura, Andalan Petani Kupang
Hasil produksi tanaman hortikultura milik Suni dijual ke sejumlah swalayan, restoran, dan pasar di Kota Kupang. Ia telah memiliki pelanggan tetap. Satu pekan sebelum jenis tanaman tertentu dipanen, ia sudah memberi isyarat kepada pelanggan, sekaligus membicarakan harga hasil produksi itu. Calon pembeli pun datang langsung ke lokasi, memantau produk pertanian yang dimaksud.
Ia menyebutkan terus mengikuti perkembangan harga sayur, buah-buahan, dan bumbu dapur di sejumlah pasar di Kota Kupang. Harga yang ditawarkan ke swalayan, toko, dan pasar pun tidak jauh berbeda dengan harga yang berlaku di Kota Kupang.
”Terung 5 are, misalnya, saya bisa dapat Rp 3 juta hingga Rp 7 juta. Belum termasuk jenis tanaman hortikultura lain, seperti sawi, kol, dan pare. Masa panen tanaman hortikultura masing-masing berkisar satu bulan sampai tiga bulan. Dari hasil pertanian itu, saya bisa biayai ketiga anak saya sampai perguruan tinggi,” ujar Suni.
Suni mengatakan tergabung dalam kelompok tani “Bersama” Desa Oeltuah. Kelompok ini beranggotakan 32 orang. Di desa itu terdapat empat kelompok tani dengan jumlah anggota 821 orang. Semua petani telah bersumpah untuk tetap merawat, menjaga, dan melestarikan sumber air Baumata dengan cara tidak membakar dan menebang hutan.
Baca juga : Petani dan Warga Kupang Mulai Menikmati Aliran Air
Korinus Natun (56), petani Desa Baumata, Kecamatan Taebenu, mengatakan, masyarakat Baumata tidak pernah kesulitan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga dan irigasi pertanian. Berkat Sungai Baumata, desa itu tidak kekeringan yang berdampak pada tidak ditemukan kasus stunting (tengkes) atau gizi buruk bagi anak balita setempat.
”Kalau pihak puskesmas menemukan adanya kasus tengkes atau gizi buruk, itu hanya karena orangtua dari keluarga itu malas kerja. Lihat saja, hamparan pisang, kelapa, mangga, dan buah-buahan di kawasan ini. Warga yang berdiam di sebagian besar Kecamatan Taebenu tidak kesulitan pangan lokal, seperti ubi, pisang, jagung, dan sayur-sayuran,” ucap Natun.
Selain sumber air sungai Baumata, desa-desa di Kecamatan Taebenu itu pun memiliki Sungai Oel Ekam yang juga mengalir sepanjang tahun. Hanya, debit air Sungai Baumata jauh lebih besar, yakni 100 liter per detik, dibandingkan Oel Ekam yang mencapai 50 liter per detik pada puncak kemarau.
Kekhawatiran petani
Musim kemarau tahun ini banyak petanitidak menggarap lahan karena khawatir debit air Baumata menyusut seperti musim kemarau tahun-tahun sebelumnya. Ternyata, tahun ini kondisi wilayah itu tetap lembab karena terjadi perubahan iklim. Kondisi suhu udara pun dingin dan lembab serta sering terjadi hujan di musim kemarau.
”Ini sangat cocok untuk menggarap tanaman hortikultura. Tetapi banyak petani enggan mengolah lahan mereka karena takut gagal panen,” ujar Natun.
Baca juga : Sumber Air Baumata Menunggu Geliat Warga
Petani setempat telanjur beralih menjadi peternak dan kerja serabutan di Kota Kupang. Maklum, meski mereka warga Kabupaten Kupang, akses mereka ke Kota Kupang jauh lebih dekat, 15 kilometer,ketimbang ibu kota Kabupaten Kupang yang berjarak sekitar 70 kilometer.
Lagi pula, ibu kota Kabupaten Kupang, yakni Oelamasi, seakan belum memiliki ”nyawa” sebagai sebuah kota kabupaten. Tidak ada pusat perbelanjaan, pusat keramaian, dan fasilitas umum lain. Di sana hanya ada kumpulan kantor pemerintah daerah, dengan jarak terjauh dari permukiman warga 130 kilometer. Warga pun sangat sulit menjangkaui kantor itu.
Sungai Baumata berada di Kabupaten Kupang, 5 kilometer sebelah utara Bandara El Tari, Kota Kupang. Sungai ini sebagian besar dimanfaatkan warga Kota Kupang untuk kebutuhan air baku, yang dibangun ratusan tahun silam oleh pemerintah Hindia Belanda. Lima pipa tua sekitar 20dim pun melintasi permukiman warga Kota Kupang, beberapa di antaranya sudah tidak berfungsi karena rusak.
Debit sungai ini 100 liter per detik selama musim kemarau, dan 1.000 liter per detik. Tiga kecamatan yang berada di wilayah itu menikmati air Sungai Baumata. Tidak semua desa di tiga kecamatan itu dapat mengakses air sungai tersebut. Posisi desa-desa itu berada di balik bukit atau di ketinggian. Namun, mereka bisa menikmati air itu.
Baca juga : Warga NTT Suka Menginang Namuan Enggan Membudidaya Pinang
Kolam renang Baumata menjadi tempat favorit para calon anggota Polri dan TNI, mahasiswa, remaja, orangtua, dan anak-anak. Air kolamitu memiliki kedalaman sampai 3 meter, setiap hari dikunjungi warga Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.
Fasilitas kolam yang dibangun tahun 1997 itu sudah rusak. Daun pintu kamar WC telah tercopot karena lapuk, lubang kloset sengaja ditutupi batu, lantar WC tidak terawat, atap bangunan hancur, dan bangunan dinding lapuk dan sebagian sudah roboh.
”Pengunjung yang datang berenang dan pengantar sama-sama bayar Rp 15.000 per orang. Setiap hari lebih dari 100 orang datang ke kola mini. Uang itu ke mana. Mengapa tidak dimanfaatkan untuk memperbaiki fasilitas yang ada,” ucap Tinus Ola (21), pengunjung kolam.
Kesehatan
Mery Kamlasi (32), perawat Puskesmas Baumata, Kabupaten Kupang, mengatakan, sangat jarang ditemukan kasus gizi buruk di kalangan anak-anak yang datang berobat di puskesmas itu. Beberapa anak masuk kategori tengkes, tetapi hal itu diduga karena unsur genetik.
Baca juga : Gizi Anak, Kuncinya Kepedulian Orangtua
Orangtua memiliki tinggi badan kurang dari 150 sentimeter (cm), misalnya. Anak balita mereka memiliki tinggi badan 60 cm pada usia 11 tahun. Ketika diberi asupan gizi cukup, anak itu mengalami tinggi badan sampai 150 cm pada usia 16 tahun.
”Itu berarti memasuki usia 17-30 tahun anak itu masih tambah tinggi. Tetapi anak pertama tidak diberi asupan gizi cukup, tinggi badannya di bawah 150 cm pada usia 30 tahun. Ini menunjukkan bahwa orangtua pendek, tidak selamanya anak-anak mereka pun pendek," ujar Kamlasi.
Sebenarnya tidak ada kasus tengkes di wilayah itu. Masalah utama adalah ibu rumah tangga yang merawat dan mengasuh anak cenderung malas. Mereka lebih suka memberi makanan instan seperti mi instan dan minuman pemanis ketimbang mengolah pangan lokal sesuai selera anak-anak.
Hampir semua keluarga memiliki ayam kampung, telur ayam, buah-buahan, sayur, jagung, dan beras yang cukup. Namun, jenis pangan lokal ini dijual di pasar. Uang yang diperoleh dimanfaatkan untuk berbelanja mi instan, minuman ringan dengan pemanis buatan bagi anak-anak, dan pulsa data.
”Kami sudah sosialisasi soal ini. Butuh waktu bagi mereka untuk fokus memberi asupan gizi bagi anak-anak. Kita harap suatu saat, selain gizi buruk, juga tengkes tidak ada lagi di wilayah ini,” katanya.
Baca juga : Mendesak, Lumbung Pangan Suku untuk Mengatasi Stunting di NTT