Mendesak, Lumbung Pangan Suku untuk Mengatasi ”Stunting” di NTT
Lumbung pangan dinilai lebih efektif mengatasi masalah ”stunting” di NTT. Cara ini untuk membagun kesadaran setiap anggota suku, mengatasi masalah ”stunting” dan gizi buruk di kalangan suku itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Lumbung pangan mendesak untuk dibangun di setiap suku di desa-desa dalam rangka mengatasi kasus stunting atau tengkes di desa itu. Dana desa yang selama ini dimanfaatkan untuk mengatasi pandemi Covid-19 di desa dapat dialihkan untuk membangun lumbung pangan suku tersebut. Lumbung pangan suku dinilai jauh lebih efektif mengatasi tengkes di 3.026 desa di Nusa Tenggara Timur.
Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Bali-Nusa Tenggara Aleta Baun di Kupang, Kamis (28/4/2022), mengatakan, masalah tengkes di Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah berlangsung puluhan tahun. Tengkes memiliki kaitan erat dengan kemiskinan, sebagai akibat dari ketersediaan pangan yang tidak mencukupi.
”Lumbung pangan suku ini cukup strategis dan mendesak. Ini, semata-mata dikuasai dan menjadi tanggung jawab suku itu. Di NTT, setiap suku memiliki anggota 20-50 kepala keluarga atau jumlah anggota 50-250 jiwa. Dengan jumlah anggota seperti ini, mereka bisa menguasai satu lumbung pangan, yang diprioritaskan untuk anak-anak kategori tengkes dan gizi buruk di dalam suku itu,” kata Aleta.
Keanggotaan suku ini dinilai lebih efektif. Mereka saling menghormati, menghargai, dan saling memahami bila ada anak tengkes di dalam anggota suku itu, dan membutuhkan dukungan asupan gizi yang lebih. Toleransi antaranggota suku jauh lebih tinggi dibandingkan lumbung pangan itu dikuasai desa. Mereka lahir dari satu nenek moyang segingga saling menjaga dan melindungi. ”Ada perasaan saling merawat dan menjaga,” katanya.
Bahan pangan yang terisi di lumbung pangan suku itu diadakan oleh desa. Jika satu desa terdapat 4-5 suku, setiap suku bisa mendapatkan anggaran Rp 10 juta- Rp 20 juta. Dana ini untuk membelanjakan bahan pokok, vitamin, sayur-mayur, dan buah-buahan bagi anak-anak di dalam suku itu. ”Pengadaan bahan-bahan ini sesuai hasil kesepakatan suku itu,” kata Aleta.
Selain itu, tiap-tiap kepala keluarga dalam suku bisa menyumbang hasil pertanian untuk mendukung program itu. Ibu-ibu dalam suku itu bergotong royong memasak bersama untuk anak-anak di dalam suku itu. Menu masakan harus sesuai kebutuhan tumbuh kembang anak.
Jika satu desa dengan jumlah 1.000-2.000 jiwa hanya memiliki satu unit lumbung pangan, itu tidak cukup. Belum lagi masalah ketidakadilan pengurus, penyelewengan dana dan bahan pokok milik desa. Dengan adanya dana desa saat ini, kasus korupsi di desa pun makin merajalela. Orang berlomba-lomba menjadi kepala desa hanya untuk menguasai dana desa itu.
Sesuai hasil studi status gizi Indonesia 2021, ada 15 kabupaten di NTT yang memiliki angka merah dalam kategori tengkes, yakni memiliki kasus di atas 30 persen. Jumlah 15 kabupaten itu ialah Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Malaka, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Manggarai Barat, Nagekeo, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, dan Lembata.
Bahkan Kabupaten TTS dan TTU memiliki prevalensi tengkes di atas 45 persen. Tujuh kabupaten/kota lain berstatus kuning dengan tingkat prevalensi 20-30 persen kasus tengkes, antara lain, Kota Kupang, Kabupaten Sikka, Flores Timur, Ngada, Ende, dan Kabupaten Sumba Timur.
Tidak ada satu pun kabupaten/kota di NTT menyandang status hijau dengan tingkat prevalensi 10-20 persen, apalagi biru, di bawah 10 persen. Itu berarti keberhasilan penurunan angka tengkes yang disampaikan pemprov jauh berbeda dengan data tengkes yang disampaikan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pusat.
Lumbung pangan suku ini cukup strategis dan mendesak.
Tahun 2013, misalnya, angka tengkes 51,7 persen, pada tahun 2018 turun lagi menjadi 42,6 persen, pada 2019 turun 27,67, tahun 2020 menjadi 24,2 persen, dan tahun 2021 menjadi 20,09 persen. Dalam kurun waktu 3 tahun, yakni 2019-2021, terjadi penurunan tengkes sebanyak 22,51 persen. ”Itu di luar proses normal,” kata Aleta.
Jumlah desa di NTT 3.026 unit. Jika setiap desa ada 4-5 suku, ada 12.104–15.130 unit lumbung pangan suku. Dengan lumbung pangan sebanyak itu, bisa menekan angka tengkes di daerah itu.
Target pemerintah, sampai tahun 2024 angka tengkes di Indonesia 14 persen termasuk NTT. Akan tetapi, penurunan itu harus atas dasar, yakni kerja keras semua pihak dengan memanfaatkan semua sumber daya yang ada di daerah ini. Tidak bisa melalui proses-proses yang tidak normal demi kepentingan politik 2024.
Penanganan masalah tengkes jangan dicampuradukkan dengan kepentingan politik. Ini demi masa depan generasi muda dan sumber daya manusia NTT ke depan. Masa depan anak-anak jangan dikorbankan hanya untuk kepentingan politik tertentu.
Kepala Desa Hundihuk Kabupaten Rote Ndao Yunus Modok mengatakan sangat mendukung gagasan pengadaan lumbung suku di desa. ”Tetapi, itu harus ada aturan hukum yang mengikat. Jangan sampai hal itu berdampak pada masalah hukum di kemudian hari,” katanya.
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Hortikultura NTT Lucky Koly mengatakan setuju dengan pengelompokan lumbung pangan seperti itu. Dengan ini, akan lahir kesadaran bersama dalam suku itu untuk membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Hubungan kekeluargaan itu akan mengikat kerja sama, saling membantu, dan saling menyelesaikan masalah yang dihadapi. Ada rasa kepedulian dan tanggung jawab yang tinggi demi generasi muda di dalam suku itu. Apalagi memiliki anggota kelompok terbatas sehingga mudah dikoordinasikan.
Akan tetapi, gagasan ini perlu dibahas di tingkat yang lebih tinggi, melibatkan sejumlah pihak terkait sehingga bisa menghasilkan keputusan yang permanen, dan mengikat secara aturan. ”Secara pribadi, saya dukung. Tetapi, perlu dimatangkan bersama, dan ada aturan hukum yang mendasari,” katanya.