Seni bisa menimbulkan reaksi dan menyampaikan pesan apa saja. Pameran Mata Air Bangsa digelar untuk menyampaikan pesan toleransi dan keteladanan dari dua tokoh besar Buya Syafii dan Gus Dur.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·6 menit baca
Jika satu gambar sering kali dimaknai mewakiliki lebih dari 1.000 kata, pelukis G Djoko Susilo membuktikannya. Tidak sekadar menyebarkan kalimat atau ujaran, lukisan berjudul ”Buya A Syafii Maarif dan Gus Mus”, yang dibuatnya di tahun 2020, telah mampu menjadi dasar dari gagasan besar untuk tulisan Ahmad Syafii Maarif di tahun 2021 dan sekaligus menimbulkan aksi berantai, menjadi pendorong pelaksanaan pameran seni rupa bertajuk Mata Air Bangsa-Persembahan untuk Buya Syafii Maarif dan Gus Dur, yang baru saja dibuka di OHD Museum, Sabtu (30/7/2022).
Djoko mengatakan, tidak ada alasan khusus kenapa dirinya membuat lukisan tersebut. Karena mengenal dan tahu benar bahwa Buya Syafii dan Gus Mus adalah tokoh dari dua organisasi besar di Indonesia, dia hanya berharap, berangan-angan bahwa kolaborasi keduanya baik secara pribadi maupun organisasi, bisa terus menjaga harmoni persatuan dan kesatuan bangsa.
”Menggambarkan dua tokoh ini, saya hanya berharap keduanya bisa terus-menerus menjaga, membuat situasi, kerukunan bangsa terus terjaga, berlangsung lebih baik lagi dari hari ke hari,” ujarnya.
Lukisan itu ditunjukkannya pada Syafii Maarif yang kemudian meresponnya, dengan membuat tulisan berjudul ”Pesan untuk Muhammadiyah dan NU” yang diterbitkan di harian Kompas, 5 Januari 2021.
Menanggapi lukisan yang dinilainya sangat dahsyat, menggambarkan pemikiran mendahului zaman dan harapan masa depan tersebut, Buya, dalam tulisannya, menuturkan bahwa NU dan Muhammadiyah sebagai arus utama Islam di Indonesia, harus menanamkan jangka di samudra Nusantara, sedalam-dalamnya. Generasi baru dari kedua arus utama ini mesti berpikir besar dan strategis dalam upaya menjaga dan mengawal kepentingan keindonesiaan yang kadang-kadang terasa masih goyah. Tulisan ini direspons oleh berbagai pihak, tokoh-tokoh penting seperti Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri.
Kita harus tetap merawat dan mewarisi apinya, semangat mereka, dan bukan abunya. (Suwarno Wisetrotomo)
Menimbulkan reaksi berantai, tulisan tersebut juga ”mengusik” kegelisahan Oei Hong Djien, kurator dan kolektor seni sekaligus pemilik OHD Museum. Setelah beberapa kali diskusi bersama mendiang Buya Syafii, KH Mustofa Bisri, dan sejumlah seniman, mereka kemudian memutuskan untuk melanjutkan, menuangkan buah pikiran dari Buya Syafii dalam bentuk pameran seni rupa. Seni, khususnya seni rupa, dianggap menjadi media yang penting untuk mencairkan situasi, menyuarakan tentang pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan seperti yang disampaikan dalam tulisan Buya Syafii.
Niatan menggelar pameran juga tidak terusik oleh situasi pandemi. Semula, pameran dijadwalkan digelar 19 Agustus 2021. Namun, karena maraknya wabah Covid-19, dan berbagai aturan pembatasan kegiatan, akhirnya pameran baru bisa terlaksana tahun ini.
Ketika kemudian Buya Syafii berpulang, tema pameran kemudian justru diputuskan untuk terfokus pada keteladanan almarhum dan mendiang Gus Dur. Keteladanan dua tokoh ini dianggap paling cocok, sejalan dengan misi pameran yang sebelumnya digadang-gadang untuk menyuarakan toleransi dan menepis isu polarisasi di masyarakat.
Untuk menguatkan misi menguatkan persatuan tersebut, pameran secara khusus mengundang perwakilan tokoh-tokoh agama seperti pendiri Vihara Mendut, Bhante Sri Pannavaro Mahathera, dan Romo Vikep Es Karesidenan Kedu Romo Antonius Dodit Haryono Pr.
Akan digelar hingga 28 November 2022, pameran ini menampilkan 51 lukisan, dengan 38 lukisan di antaranya adalah karya dari 23 pelukis dan mayoritas di antaranya adalah lukisan baru, karya di tahun 2020-2022. Adapun, 13 lukisan lainnya, karya dari 10 pelukis, adalah koleksi lama dari OHD Museum.
Sesuai dengan tema, lukisan yang dianggap sebagai ”simbol” pameran dipajang paling depan dan menjadi latar belakang buku katalog dan ragam publikasi terkait pameran, adalah lukisan berjudul ”Buya Ahmad Syafii Maarif dan Gus Dur” karya pelukis G Djoko Susilo. Dalam lukisan tersebut, dua tokoh ini terlihat berdampingan sembari memeluk bendera Sang Saka Merah Putih.
Sejalan dengan tema dan ”misi” yang diusung, pameran juga menampilkan banyak lukisan yang menampilkan pesan, semangat toleransi dan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, yang sering digelorakan oleh dua tokoh bangsa tersebut.
Pelukis G Djoko Susilo melakukannya dengan membuat karya beberapa lukisan. Selain lukisan dua tokoh dengan memeluk bendera dan Buya bersama Gus Mus, dia juga membuat lukisan Buya Syafii dan Garuda Pancasila, yang diberinya judul ”Buya Ahmad Syafi’i Maarif & Pancasila” dan lukisan Buya Syafii. Dia juga membuat lukisan tokoh-tokoh lain seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Ashari, baik sendirian maupun berdampingan.
Putu Sutawijaya juga melukiskan Gus Dur, dalam lukisannya yang diberi judul ”Senyum Kebhinekaan”. Dalam lukisan, Gus Dur, yang dilukiskan di bagian bawah, tampak tertawa di tengah situasi karut-marut di sekitarnya.
Selain melukis tokoh, sejumlah seniman juga menggambarkannya dengan beragam simbol. Bambang Herras, misalnya, membuat lukisan Garuda Pancasila, yang diberinya judul ”Akulah Pendukungmu”. Beberapa seniman lain menampilkan situasi, suasana, dan sesuatu yang sangat khas Indonesia. Hal ini dilakukan oleh Kartono Yudhokusumo yang melukis pemandangan berupa hijaunya aneka vegetasi yang tumbuh subur dan diterangi sinar matahari, dalam lukisannya yang berjudul ”Gemah Ripah Loh Jinawi”, dan Srihadi Sudarsono melukiskan Candi Borobudur dalam lukisannya berjudul ”State of Meditation”.
Kehilangan
Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur sudah berpulang pada 30 Desember 2009 dan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif meninggal dunia pada 27 Mei 2022. Ajaran dan semangat mereka bisa saja tetap lestari dan terus disebarluaskan, tetapi kepergian mereka tetap saja meninggalkan sendu dan bekas, bagai lubang, yang tetap terasa hingga saat ini.
Pelukis Jumaldi Alfi, yang sebelumnya sejak lama diajak berdiskusi perihal penyelenggaraan pameran, mengatakan, semula dia berencana untuk menampilkannya lukisannya yang ramai dengan simbol-simbol politik, maka kepergian Buya Syafii secara mendadak pada Mei lalu membuatnya sontak berubah pikiran. Dia membuat karya lukisan yang sepintas terlihat putih kosong, dan jika didekati, dicermati dari jarak dekat akan menampilkan garis-garis horizontal dan vertikal, tanpa ada kata atau gambar apa pun.
Lukisan tahun 2022 yang diberinya judul ”Lost Word. A Tribute to Buya ASM”, disebutnya menjadi gambaran perasaan dirinya saat Syafii berpulang. ”Dunia saya serasa runtuh saat mendengar kabar Buya meninggal dunia,” ujarnya.
Alfi sangat dekat dengan Syafii. Dia mengetahui tokoh tersebut mengoleksi banyak lukisan dan bahkan juga acapkali diminta pendapat perihal penataan lukisan di kamar Buya.
Kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo, mengatakan, kepergian dua tokoh tersebut sungguh meninggalkan rumpang, lubang, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehadiran keduanya selalu dibutuhkan karena mereka ibarat mata air, oase, yang selalu menyejukkan situasi negara di tengah semua permasalahan yang pernah terjadi.
Buya Syafii dan Gus Dur adalah tokoh yang sungguh layak untuk diteladani. Di masa sekarang, menurut dia, keteladanan dari keduanya juga sangatlah penting untuk diingat dan digaungkan kembali.
”Kita harus tetap merawat dan mewarisi apinya, semangat mereka, dan bukan abunya,” ujarnya. Adapun, pameran ini disebutnya sebagai bagian dari ikhtiar untuk menyampaikan pesan keteladanan dari dua tokoh besar ini, yang memang layak untuk diserukan dan diterapkan sepanjang waktu.
Seni yang bersifat metaforis juga dianggap menjadi cara penyampaian pesan yang terbaik. Sebab, melalui media ini, setiap orang bisa merenung, melihat tanda, melihat simbol, dan melakukan refleksi lebih dalam dari apa yang dilihat.
Hong Djien mengatakan, toleransi dan komunikasi adalah dua hal yang perlu digaungkan kembali, terutama menjelang Pemilu 2024. Alat atau media terbaik untuk menyampaikan hal tersebut adalah seni.
”Kerukunan sulit diwujudkan dalam relasi berbasis politik dan ekonomi. Persatuan hanya bisa diwujudkan dengan relasi dan komunikasi lewat seni,” ujarnya.
Maka, bermula dari satu lukisan yang mungkin menyuarakan keinginan dan harapan pribadi dari satu orang, G Djoko Susilo, puluhan lukisan dalam pameran kali ini membawa misi yang jauh lebih dashyat. Pameran seni rupa ini ingin kembali menggaungkan pesan kerukunan, pesan untuk menjaga harmoni persatuan dan kesatuan dari dua tokoh bangsa, yang tak kan lekang tergerus zaman.