Pergolakan Sosial Politik di Pameran ”The Theater of Me”
Pameran seni “The Theater of Me” berlangsung di Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara (Macan). Karya yang ditampilkan merupakan refleksi gejolak sosial-politik yang dialami perupa Agus Suwage.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara atau Macan, Jakarta, menjadi tuan rumah pameran ”The Theater of Me” yang berlangsung pada 4 Juni hingga 15 Oktober 2022. Pameran ini menampilkan sekitar 80 karya seni dari perupa Agus Suwage.
Karya seni yang ditampilkan mencakup lukisan, patung, dan instalasi yang dikerjakan Agus pada periode 1990-an hingga kini. Karya seninya dipengaruhi gejolak politik dan sosial yang terjadi di Indonesia selama 30 tahun terakhir. Adapun kerusuhan Mei 1998 berperan penting dalam perjalanan seninya.
Agus mengatakan, Theater of Me adalah perjalanan melihat kembali karya-karya seni yang ia buat selama 30 tahun terakhir. Ia mendaur ulang sejumlah karya yang pernah dibuat, lalu dikembangkan ke bentuk dan rupa yang beragam. Menurut dia, selalu ada hal menarik setiap kali ia mengembangkan sebuah karya.
”Melalui proses refleksi dan eksplorasi dari masa awal pencarian sebagai perupa, saya melihat keterkaitan erat antara seni, politik, dan kehidupan sosial masyarakat,” kata Agus secara tertulis, Sabtu (4/6/2022).
Agus merupakan perupa kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, pada 1959. Ia belajar melukis secara otodidak saat kuliah desain grafis di Institut Teknologi Bandung. Ia kemudian menetap di Jakarta hingga 1999.
Karya-karya Agus dilandasi berbagai ide, seperti memori, keterasingan, ketakutan, humor, identitas, dan mimpi. Ide tersebut mewujud ke salah karya berjudul ”Tembok Toleransi”. Tembok Toleransi berupa dinding bata dengan telinga-telinga emas kecil yang tertanam di sana. Terdapat pengeras suara yang tersembunyi di setiap telinga emas yang membunyikan adzan.
Direktur Museum Macan sekaligus kurator pameran ini, Aaron Seto, mengatakan, dinding merupakan simbol terhadap keamanan, perlindungan, serta rintangan. Namun, saat audiens mendekati dinding karena mendengar suara dari telinga emas, mereka sadar sedang berada di jalan buntu. Hal ini merupakan ekspresi intoleransi dan antagonisme agama yang menggambarkan masyarakat saat ini.
Karya Agus lainnya berjudul ”Daughter of Democracy”. Karya tersebut dibuat setelah putrinya lahir pada 1996, tahun ketika Jakarta bergejolak. Demonstrasi terhadap Orde Baru berlangsung berkala. Puncaknya, demonstrasi pada 1998 membuat Presiden Republik Indonesia kedua Soeharto mundur.
”Suwage khawatir dengan gerakan mahasiswa. Dia membuat karyanya sebagai penghormatan terhadap para mahasiswa, serta sebagai pengharapan terhadap generasi baru dan demokrasi baru,” kata Aaron.
Ada pula instalasi yang terbuat dari botol-botol bir kosong berjudul ”Monumen yang Menjaga Hankamnas”. Terdapat figur malaikat bersayap emas yang sedang memegang pedang dan mengenakan turban di instalasi.
”Karya ini merupakan kritik terhadap perilaku otoriter dan intoleransi, termasuk perhatiannya terhadap perlindungan hak dan kebebasan individu. Suwage mengobservasi bagaimana toleransi, baik konsep maupun praktiknya, masih harus diperjuangkan oleh sistem pemerintahan, sosial, dan politik yang sudah bereformasi,” ucap Aaron.
Aaron menambahkan, karya Agus tidak sekadar analogi dan hasil mengamati perubahan di sekelilingnya. Karya tersebut juga memuat kritik dan interogasi terhadap diri sendiri secara konstan.
Pendidikan
Pameran ini disertai beragam program untuk mendorong pendidikan seni ke anak-anak. Ada pula program yang dapat diikuti anak, seperti menulis lirik lagu untuk melodi yang diciptakan Agus melalui program Melirik Lirik Orkes Tunggal. Lirik terpilih akan ditampilkan di museum. Aktivitas lain untuk anak adalah membuat dan menghias mainan.
Kepala Yayasan Museum Macan Fenessa Adikoesoemo mengatakan, aktivitas tersebut dirancang agar seni dapat diakses oleh masyarakat luas. Ini juga agar anak-anak dapat berinteraksi dengan karya seni yang dipamerkan.
”Program-program ini membantu generasi muda mengenal konsep dan gagasan kunci dari salah satu perupa kontemporer terkemuka di Indonesia,” kata Fenessa.