Meraih Mimpi ”Hijau-Biru” Bangka Belitung
Provinsi Bangka Belitung identik dengan tambang timah. Namun, ada secuil mimpi dan harapan, suatu ketika, potensi non-timahlah yang jadi ”juaranya”.
”Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati.” Demikian sepenggal kalimat dalam film Laskar Pelangi, sebuah film tentang semangat mengejar cita-cita, dengan latar Provinsi Bangka Belitung. Film dibuat tiga tahun setelah buku Laskar Pelangi karya penulis asal Belitung, Andrea Hirata, terbit.
Mimpi pulalah akhirnya mengantar masyarakat di Bangka Tengah menjaga hutan Pelawan dari gerusan tambang.
Minggu ketiga Juli 2022, terik mentari gagal menyengat kulit di antara rimbunnya hutan Pelawan, Desa Namang, Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah. Sinarnya sesekali menelusup di antara celah daun yang bergoyang diterpa angin dan dibuai suara cenggeret.
Baca juga: Lokasi Pelabuhan Ditetapkan, Pelayaran Lampung-Bangka Belitung Pacu Ekonomi Daerah
Suasana rindang di hutan Pelawan kontras dengan kondisi 1 kilometer setelahnya. Usai hutan Pelawan, kita akan menemukan hamparan padang gersang, berdebu, dan panas. Orang sekitar menyebutnya gurun Namang, sebuah kawasan tambang.
”Dahulu zaman saya menjadi kades di Desa Namang, saya diiming-iming uang, nilainya miliaran, agar melepaskan hutan Pelawan untuk tambang. Merasa sayang apabila hutan tempat main semasa kecil ini hilang, saya tidak mengizinkannya. Saya ingin anak cucu tahu tanaman Pelawan itu seperti apa, mereka masih bisa melihat kijang dan lebah madu di sini,” kata M Zaiwan (43), mantan kepala desa (kades) dan tokoh pelestari hutan Pelawan.
Sebaliknya, Zaiwan, yang saat itu menjadi kades, justru membuat peraturan desa yang menetapkan hutan seluas 47 hektar tersebut sebagai kawasan lindung. Perdes diperkuat menjadi perda oleh pemda setahun kemudian.
Baca juga: Tiada Kata Terlambat Menyelamatkan Pesisir Bangka
Manfaat
Belasan tahun berlalu, warga merasakan manfaatnya. Mereka mengambil madu pahit dari hutan Pelawan dan dijual Rp 200.000 per kg. Ada juga jamur Pelawan yang harganya jutaan rupiah per kg. Hutan pun menjadi lokasi ”wisata”.
Begitulah, Desa Namang dengan gurun dan hutan Pelawannya. Seolah mewakili potret Bangka Belitung (Babel). Satu sisi, pertambangan dengan hasil cepat, tapi jika kebablasan akan merusak. Atau, pro-lingkungan dengan segala tantangan, tetapi dampaknya berkelanjutan.
Babel adalah penghasil timah terbesar kedua di dunia setelah China. Tiap tahun, ekspor timah Babel mencapai 200.000 ton, yang menyuplai 30 persen kebutuhan timah dunia. Tahun 2009, pendapatan royalti timah Kementerian ESDM sebesar Rp 134 miliar. Timah diekspor ke Korea Selatan, Singapura, Belanda, Jepang, dan India.
Hasil fantastis itu berbanding terbalik dengan dampaknya. Di Pantai Tapak Antu, di Desa Batu Belubang, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah, dampak tambang timah cukup kentara. ”Sepuluh tahun lalu, pasir pantai berwarna putih. Kini, pasir berwarna coklat karena tertimbun lumpur limpasan tambang,” kata Sophan Wardhana (52), warga Desa Batu Belubang.
Baca juga: Pembungkaman Pejuang Lingkungan Marak di Bangka Belitung
”Lumpur sisa tambang juga membuat pantai dangkal. Tahun 1990-an, perahu bisa sandar hingga bibir pantai. Kini, kami harus bangun tengah malam untuk memindah perahu karena air surut,” kata Rohazar (55), nelayan di Pantai Rebo, Kecamatan Sungai Liat, saat berkomentar dampak penambangan timah ke perikanan.
Sebagai wilayah kepulauan dengan 79,90 persen perairan, Babel memiliki potensi laut luar biasa. Dinas kelautan dan perikanan pada tahun 2019 mencatat, produksi ikan tangkapan mencapai 223.680 ton. Tahun 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut ekspor ikan-udang Babel mencapai 12,92 juta dollar AS.
Lada
Potensi non-timah lain adalah pertanian-perkebunan. Tiga produk utamanya adalah lada, sawit, dan karet.
Lada Babel dikenal dunia dengan merek dagang Muntok White Pepper. Merek Muntok White Pepper sudah mengantongi sertifikat indikasi geografis (IG). Lada ini dikenal memiliki kadar piperin tertinggi dan mengantongi harga termahal di dunia. Harganya sempat tembus Rp 180.000 per kg. Saat ini, harganya Rp 80.000 per kg.
Badan Pusat Statistik tahun 2020 mencatat, produksi lada Babel sebanyak 33.921,12 ton. Sekitar 40 persennya memasok kebutuhan nasional.
Baca juga: Ikan-ikan Nelayan Bangka Menjauh dari Pantai "Timah" Matras
”Orangtua saya berpesan, meski hanya ada 200 pohon lada, tetap harus punya. Ini kebanggaan. Makanya, saya terus menanam lada. Kebun lada juga bisa ditanami tanaman lain. Tidak seperti tambang, di mana lahannya tak bisa ditanami apa-apa lagi,” kata Boim (28), petani lada asal Desa Namang.
Tantangan bertani lada salah satunya sulit mencari pekerja saat harga timah tinggi. Tantangan lain adalah harga.
”Pertanian lada bertahan secara turun-temurun. Ini mengikat agar lahan tidak beralih fungsi. Namun, jika harga turun, sangat mungkin tanaman diganti sehingga butuh upaya agar harga tetap stabil dan menguntungkan petani,” kata Eddy Jajang Jaya Atmaja, dosen Agribisnis Universitas Bangka Belitung.
Untuk diketahui, lima besar penyusun struktur ekonomi Babel tahun 2019 adalah industri pengolahan (termasuk pengolahan timah, 19,59 persen), pertanian (17,94 persen), perdagangan (15,79 persen), konstruksi (10,37 persen), dan pertambangan (9,49 persen).
Baca juga: Pasang Surut Lada Bangka Belitung
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Sudarman mengatakan, pemerintah berusaha menertibkan sektor pertambangan. Itu akan jadi modal menata sektor lain (perikanan, pertanian, wisata, dan seterusnya).
Penambangan legal, menurut dia, wajib memulihkan lahan usai ditambang. Sayangnya, lahan yang tengah dipulihkan sering kembali ditambang secara ilegal.
Menurut Sudarman, Pemprov Babel memiliki program Hijau Biru Babelku, yaitu menghijaukan kembali lahan bekas tambang. Sementara biru bisa jadi simbol potensi laut (ikan, wisata) melimpah.
Eddy Nurtjahya, Ratna Santi, dan Ismed Inonu, dosen Universitas Bangka Belitung, dalam bukunya berjudul Lahan Bekas Tambang Timah dan Pemanfaatannya (2020), menyebut, jika tanpa perlakuan khusus, lahan bekas tambang butuh waktu ratusan tahun untuk pulih dan belum tentu pulih seperti sediakala.
”Secara alami, lahan bekas tambang butuh waktu 100 tahun untuk pulih. Bisa dipercepat. Namun, hasil riset menunjukkan bahwa selama 30 tahun, lahan belum benar-benar pulih,” kata Eddy Nurtjahya, dosen riset ekologi lahan pascatambang Universitas Bangka Belitung, saat ditemui bersama dua rekannya.
Potensi Bangka Belitung seperti pisau bermata dua. Memprioritaskan tambang yang hasilnya besar atau menyeriusi pertanian-perkebunan, perikanan, dan wisata yang menghidupi banyak orang. Tentu saja, nelayan, petani lada, dan pelaku wisata menyimpan mimpi bahwa sektor non-tambang akan jadi prioritas.
Sepenggal kalimat dari film Laskar Pelangi, lagi-lagi terngiang. ”Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya”.
Baca juga: Petualangan Lidah di Bangka Belitung