Ikan-ikan Nelayan Bangka Menjauh dari Pantai "Timah" Matras
Di Pulau Bangka, tangis dan jerit nelayan kecil tenggelam di antara deru mesin kapal-kapal isap yang siang dan malam tak berhenti mengeruk timah dari dasar laut. Berlangsung tanpa tahu kapan berakhir.
Seekor anjing kampung berjalan pincang menyusuri Pantai Matras, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka dan Belitung (Babel). Bulunya yang kotor kontras dengan warna pasir yang hampir seputih salju. Tubuh anjing itu penuh luka, kaki belakangnya tidak sama panjang, dan punggungnya bengkok ke kanan.
"Bopi, Bopi, Bopi," seru Cecep Agung Priyatna (37), nelayan, memanggil anjing kampung agar mendekat ke sebuah bangkai kapal isap produksi (KIP) milik PT Timah yang kandas di pinggir Pantai Matras, Kabupaten Bangka, Kepulauan Babel, Rabu (7/4/2021). Namun, Bopi malah menyalak ketakutan. Telinganya layu dan ekornya terlipat di antara kedua kaki belakang.
Cecep menuturkan, Kapal Mega Fajar kandas di Pantai Matras sejak 2 Januari 2021. Banyak orang Matras menganggap kandasnya kapal itu adalah hukuman dari alam kepada KIP yang merusak laut. Saat ini, di perairan yang berjarak kurang dari 4 mil dari Pantai Matras, terdapat 11 KIP lain yang menyedot timah dari dasar laut.
Aktivitas belasan KIP itu membuat relief dasar laut menjadi penuh lubang dan gundukan. Hal itu tampak dari munculnya beberapa pusaran air, atau yang disebut nelayan setempat sebagai busung. Busung membahayakan nelayan kala melaut pada malam hari. Bila menabrak busung, perahu nelayan bisa terbalik atau bahkan hancur.
Selain itu, limbah buangan dari KIP berupa tailing atau lumpur sisa produksi membuat laut sekitar menjadi keruh. Tailing dari aktivitas pertambangan itu membuat terumbu karang tertutup lumpur dan ikan pergi menjauh. Belum lagi soal limbah sisa bahan bakar dan serpihan logam dari KIP yang kadang terbawa arus sampai ke pantai yang menjadi tempat wisata.
Penolakan terhadap rencana usaha pertambangan timah di Pesisir Matras hingga Pesaren yang panjangnya lebih kurang 70 kilometer sudah dilakukan sejak 2015. Namun, pemerintah bergeming dan belasan KIP mulai berdatangan ke Pantai Matras sejak 9 November 2020.
"Nelayan tidak bermaksud menyetop seluruh usaha pertambangan di Babel. Kalau PT Timah ingin menambang di daerah yang warganya mengizinkan, ya silahkan saja, kami tidak akan menghalang-halangi. Namun, khusus Pesisir Matras-Pesaren, tolong jangan ditambang, karena itulah sumber kehidupan kami," kata Cecep.
Di Pesisir Matras-Pesaren ada sekitar 2.000 nelayan yang menggantungkan hidup kepada laut. Hampir seluruhnya adalah nelayan tradisional yang mengandalkan perahu pompong dan sebuah mesin tempel. Wilayah tangkap mereka adalah perairan yang berjarak 0-12 mil dari pantai.
Pada 2002-2010, Cecep pernah bekerja sebagai petambang timah ilegal di darat, atau jamak disebut sebagai tambang inkonvensional (TI). Namun, karena timah darat semakin sulit didapat, akhirnya ia banting setir jadi nelayan. Ia kemudian menggunakan tabungannya sebesar Rp 5 juta untuk membeli perahu, mesin tempel, dan jaring.
Dalam tiga tahun, dari hasil menangkap ikan, Cecep dapat membeli mesin tempel baru bertenaga 40 PK seharga Rp 39 juta. Ia juga mampu membeli perahu lagi dan puluhan set jaring. Pada Oktober hingga November, dalam satu hari saja, Cecep bisa menangkap lebih dari 200 kilogram (kg) ikan kembung di pesisir Matras. Ikan itu dihargai Rp 28 ribu per kg.
"Bagi saya, lebih nikmat jadi nelayan. Dapat uang tanpa harus merusak alam. Kalau kerja di TI, saya selalu dihantui rasa bersalah melihat lubang-lubang tambang yang kami tinggalkan," ujar dia.
Namun, rasa bersalah yang sama kini kembali menghinggapi dirinya yang merasa tak mampu melindungi laut dari kerusakan lingkungan akibat penambangan timah. Sudah sering ia dan nelayan lain protes, tetapi kedatangan belasan KIP ke Pantai Matras tetap tak bisa dibendung.
Beroperasinya 11 KIP di Pesisir Matras sangat berdampak terhadap kehidupan nelayan setempat. Cecep menunjukkan buku catatan para nelayan. Di sana terlihat, tangkapan nelayan saat ini hanya berkisar 15-20 kg per hari. Untuk mendapatkan tangkapan yang sedikit itu pun mereka harus berlayar lebih jauh agar tak dikira menghalangi aktivitas KIP.
Pada 28 Desember 2020, sebanyak 13 nelayan dipanggil kepolisian karena diduga melanggar Pasal 162 UU No 3/2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Itu adalah buntut dari aksi nelayan yang mendatangi KIP di Pesisir Matras untuk menunjukkan salah satu poin dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI yang isinya komendasi penghentian sementara aktivitas pertambangan timah di lokasi tersebut.
Rugi dua kali
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi mengatakan, sudah berulang kali mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut Izin Usaha Pertambangan PT Timah di Pesisir Matras-Pesaren. Ia menilai, usaha pertambangan timah di perairan yang berjarak 0-4 mil dari garis pantai itu tidak selaras dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
"Dari segi bisnis PT Timah itu rugi. Kalau BUMN (Badan Usaha Milik Negara) rugi dan ekosistem laut rusak, itu namanya rugi dua kali," ucap Dedi.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham tahun buku 2020, PT Timah (IDX: TINS) mengumumkan pendapatan usaha sebesar Rp 15,22 triliun atau lebih rendah 21,33 persen dibanding tahun sebelumnya. TINS juga mengumumkan rugi bersih Rp 341 miliar pada tahun ini. Sebelumnya, tahun 2019, TINS juga mengalami rugi bersih sebesar Rp 611 miliar.
Adapun dari kinerja produksi, sampai Desember 2020, TINS menghasilkan bijih timah sebanyak 39.757 ton. Dari jumlah itu, 28,65 persennya berasal dari pertambangan di laut. Dari sisi penjualan, TINS mencatatkan penjualan 55.782 ton atau 16,28 persen dari total konsumsi timah dunia.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menilai, pendapatan usaha PT Timah tidak sepadan dengan kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan mereka. "Ekonomi yang sejati adalah ekonomi nelayan yang berkelanjutan. Babel harus belajar melepaskan ketergantungan dari timah, karena ekonomi tambang itu hanya sesaat," ujarnya.
Gubernur Kepulauan Babel Erzaldi Rosman menyatakan, ia sudah berupaya melindungi wilayah tangkap nelayan dengan mengusulkan perairan 0-4 mil agar bebas dari aktivitas pertambangan saat merancang Peraturan Daerah (Perda) Kepulauan Babel No 3/2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Namun, usulan itu dimentahkan Kementerian ESDM dan PT Timah.
"Pertambangan timah di lokasi itu tentunya dilakukan secara legal, iya itu betul. Namun, PT Timah seharusnya juga memperhatikan dampak aktivitas pertambangan tersebut, khususnya kepada nelayan," kata Erzaldi.
Menurut dia, bila PT Timah belum dapat menemukan teknologi pertambangan di laut yang berkelanjutan, sebaiknya aktivitas itu dihentikan saja untuk sementara. Semakin lama timah dibiarkan di alam, maka nilainya pun akan semakin naik. "Untuk apa buru-buru digali, tetapi rugi. Itu baru bicara rugi perusahaan, rugi kerusakan lingkungan belum dihitung," ujarnya.
Erzaldi juga menyoroti ribuan lubang bekas pertambangan timah darat atau umum disebut warga sebagai kolong yang sampai saat ini belum direklamasi di Pulau Bangka dan Pulau Belitung. "Yang darat saja belum diberesin, sudah mau ke laut. Ujung-ujungnya kalau di udara ada timah sepertinya bakal ditambangnya juga," ucapnya.
Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Agung Pratama mengatakan, tidak dapat menghentikan operasional KIP di Pesisir Matras. Hal itu ia nyatakan dalam pertemuan dengan nelayan dan forum koordinator pimpinan daerah Kepulauan Babel, Kamis (15/4/2021).
"Tapi kalau dipaksakan harus stop, saya bilang tidak bisa karena operasional kapal (isap) ini juga dibutuhkan 6.500 karyawan PT Timah ... Kapal tetap jalan, karena kapal itu sumber hidup banyak orang," kata Agung.
Namun, Agung menambahkan, bila nanti IUP PT Timah di lokasi itu habis pada taun 2024 dan pemerintah tidak memperpanjang, maka PT Timah akan patuh. "Melihat PT Timah jangan melihat saya saja, 6.500 karyawan PT Timah, 90 persen lebih masyarakat Babel, itu kami hidupi dari bijih timah," ucapnya.
Mengutip Kontan, pada Oktober 2018, Kementerian ESDM bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menjalin sinergi terkait penambangan timah di pesisir pantai dari 0-2 mil, yang merupakan wilayah penambangan PT Timah.
Kala itu, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyatakan, penambangan timah di laut tidak dilarang asalkan metode dan teknologi yang dipakai dalam aktivitas penambangan tidak merusak lingkungan. TINS diminta menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, yakni metode borehole mining (BHM).
Terkait rekomendasi penggantian kapal isap dan kapal keruk dengan metode penambangan BHM itu, sampai berita ini diturunkan, Corporate Secretary PT Timah Zulkarnaen Dharmawi tidak menanggapi permohonan wawancara Kompas yang disampaikan lewat pesan tertulis maupun panggilan telepon.
Sementara itu, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara di Kementerian ESDM, Sugeng Mujiyanto, mengatakan, akan melihat dulu hasil pelaporan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) untuk menentukan akar masalah yang menyebabkan konflik di pesisir Matras-Pesaren itu. Dari sana, nantinya akan diketahui solusi apa yang bisa diambil Kementerian ESDM untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Baca juga: Pemerintah dan Aparat Kewalahan Atasi Tambang Timah Ilegal di Pulau Bangka
Tak ada yang tahu sampai kapan nelayan di Pesisir Matras-Pesaren harus menunggu solusi dari pemerintah pusat. Padahal, saat ini konflik sosial sudah di depan mata. Namun, sore itu, di Pantai Matras, Cecep ingin sejenak melupakan kemarahan dan kekecewaan. "Bopi, Bopi, Bopi," serunya berkali-kali sambil menepuk-nepuk pasir pantai agar Bopi mau mendekat.
Meskipun kadang takut dengan banyak orang, Bopi itulah yang menjaga kapal nelayan dan warung pedagang kalau nelayan sedang tidak di lokasi. "Bopi sering dipukul, dilempar batu, bahkan ditembak sama orang-orang jahat, makanya badannya luka-luka begini. Namun, Bopi tidak pernah lari. Dia seperti kami, tidak pernah meninggalkan Pantai Matras," kata Cecep dengan tersenyum, sambil mengusap kepala Bopi.