Petualangan Lidah di Bangka Belitung
Di sana, saya sempat mencicipi martabak manis terenak, yang dipanggang di atas anglo. Meski tidak setebal martabak Ibu Kota, tekstur sarang semut sempurna tercipta. Selain martabak, masih ada sederet makanan lainnya.

Tim Pusaka Rasa Nusantara sarapan di Warung Kopi Ake, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (20/7/2022). Di warung ini tersedia berbagai jenis jajanan, nasi lemak, dan minuman kopi.
Agenda liputan yang padat acap kali menggeser jadwal makan wartawan. Hal lain yang bisa membuat jadwal makan berantakan bahkan terlewat adalah ketiadaan warung makan di sekitar lokasi liputan.
Namun, beda cerita jika yang diliput adalah topik kuliner. Belum juga makanan yang sebelumnya ”turun”, sudah datang makanan lainnya. Lidah senang, perut pun kenyang....
Agaknya ungkapan ”perut kenyang, hati senang” ini amat pas untuk menggambarkan suasana liputan bersama Tim Pusaka Rasa Nusantara dari Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia di Kepulauan Bangka Belitung pada 15-20 Juli 2022.
Program pendokumentasian resep oleh Tim Pusaka Rasa Nusantara ini merupakan kerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui hibah Ambassador Fund for Cultural Preservation.
Belum juga makanan yang sebelumnya ’turun’, sudah datang makanan lainnya.
Semangat mencatat resep tradisional yang sudah jarang ditemui menjadi napas mereka. Jangan sampai resep tersebut hilang seiring minimnya minat generasi muda untuk meneruskan atau juga karena kondisi sumber bahan baku yang rusak.
Sebelum ke Bangka Belitung, Tim Pusaka Rasa Nusantara sudah mendokumentasikan resep masakan tradisional di beberapa lokasi, antara lain Bali, Kepulauan Sula, Solo, Yogyakarta, Semarang, dan Sumatera Barat. Untuk mengeksplorasi satu lokasi setidaknya butuh waktu seminggu.
Saya cukup kaget saat membaca rencana kegiatan yang disampaikan Mbak Meilati Batubara, Ketua Tim Pusaka rasa Nusantara. Dalam satu hari cukup banyak resep yang akan didokumentasikan. Wah, lumayan padat, tetapi menarik dan seru!
Baca Juga: Berjibaku Meliput Haji Saat Pandemi

Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia, melalui program Pusaka Rasa Nusantara, mendokumentasikan resep jajanan tradisional di Desa Perpat, Membalong, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Selasa (19/7/2022). Program ini merupakan kerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui hibah Ambassador Fund for Cultural Preservation.
Selain Mbak Meilati, anggota tim yang ikut serta adalah Chef Ragil Imam Wibowo sebagai ahli kuliner, Angga Safik (lead researcher), Abdullah Zed (senior researcher), dan Reza Maulana (communication specialist).
Sudah terbayang hari demi hari berkawan dengan berbagai jenis masakan, yang mungkin baru bagi lidah ini. Jujur, saya tidak terbiasa makan banyak. Kapasitas perut sepertinya menciut seiring pola makan teranyar yang dijalani selama pandemi Covid-19. Namun, sedari awal, hati kecil terus menguatkan, ”Ayo bisa Mel! Semuanya bisa kamu lahap.”
Selama perjalanan, mantra itu saya tanamkan dalam pikiran. Setelah mendarat di Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, Jumat (15/7), kami menuju sebuah warung kopi untuk sarapan. Saya memesan pantiaw atau sejenis kwetiauw khas bangka yang berbeda dari kwetiauw pada umumnya.
Katanya, pantiaw terbuat dari campuran tepung beras dan tepung sagu. Tak heran jika teksturnya amat kenyal dan lembut. Kekenyalan itu didapat dari tepung sagu, sementara tepung beras memberikan sensasi lembut pada pantiaw. Setelah dihajar hidangan berat, saya memilih minuman jeruk kunci hangat untuk membasuh kerongkongan. Ah, segar sekali!
Sebelum menuju lokasi pertama resep tradisional, kami singgah di Restoran Lempah Kuning Puhako Ninek. Masakan lempah atau hidangan berkuah kuning khas Bangka menjadi primadonanya.
Ada beragam jenis lempah yang tersedia, antara lain lempah tulang rusuk pucok kedundong, lempah darat alar keladi, lempah kelapo rebung, lempah kuning sutong, lempah kuning udang, dan lempah darat kates.
Baca Juga: Malam Sial di Pasaman Barat

Lempah urong tugang yang sudah masak memiliki warna kekuningan dan kuahnya tidak keruh. Endapan bumbu halusnya terdapat di bagian dasar kuah. Cita rasa yang dominan adalah gurih, asam, dan pedas.
Foto dalam daftar menu sungguh ”berbahaya”. Selain mencuri perhatian, bisa membuat air liur tumpah membanjiri meja makan. Sebagai penikmat kuliner, Mbak Mei dan Chef Ragil memesan cukup banyak menu agar lidah semua anggota bisa ikut berpetualang mencicipi rasa yang baru.
Dari sekian banyak lempah yang dipesan, favorit saya adalah lempah tulang rusuk pucok kedundong dan lempah darat alar keladi (batang talas). Aroma khas daging sapi tersamarkan oleh harum daun muda buah kedondong. Daun itu juga memberikan rasa asam dan sensasi segar di dalam kuah.
Ini kali pertama saya menyantap daun pucuk kedondong dalam sebuah masakan. Setidaknya saya tidak kapok untuk mencobanya lagi karena rasanya enak. Setiap mencicipi satu masakan ke masakan lain, saya selalu menenggak air putih untuk menetralkan rongga mulut dan lidah.
Ini dilakukan tanpa bermaksud bergaya serasa menjadi panelis pengujian organoleptik di laboratorium, tetapi demi merekam setiap rasa dalam masakan. Sudah jauh-jauh ke lokasi, masa tidak diingat citarasanya, he-he-he.
Jika masakan pertama didominasi segar daun kedondong, tidak demikan dengan lempah darat alar keladi yang lebih dominan rasa gurih dan aroma udangnya. Benar saja, setiap menyiduk kuahnya, saya menemukan potongan udang kecil yang dicincang. Dalam berbagai masakan, masyarakat Bangka tak pernah melewatkan aroma udang dan terasi sebagai bumbu yang memberikan cita rasa umami (gurih).
Baca Juga: Ternyata Susah Jadi Mantri Ternak

Cita rasa asam pada lempah urong tugang didapat dari daun pucuk kelampa. Tumbuhan itu banyak tumbuh di Desa Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Di daerah lainnya, rasa asam masakan lempah didapat dari pucuk kedondong, pucuk nangka, atau terong asam.
Setelah rangkaian sarapan, kami punya kesempatan untuk sejenak mengistirahatkan lidah. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Mendo Barat, Kabupaten Bangka, satu jam perjalanan bermobil dari pusat kota.
Di sana, kami bertemu Cik Kario (44), penjaga resep turun-temurun milik keluarga yang bernama lempah urong tugang dan lempah udang satang. Bahan utamanya adalah ayam hutan (tugang) yang masih perawan atau belum pernah bertelur. Dahulu, lempah jenis ini menggunakan burung punai, tetapi tak mudah untuk mendapatkan burung punai karena harus ditangkap di hutan.
Dalam sepiring masakan tradisional tecermin budaya dan tradisi masyarakat setempat. Lagi, dedaunan ditambahkan ke dalam masakan dengan tujuan tertentu. Kali ini, Cik Kario menggunakan daun pucuk kelampa yang dipetik dari sekitar rumah. Daun ini memberikan rasa asam pada kuah lempah. Di desa lain, rasa asam pada lempah bisa diperoleh dari pucuk nangka, pucuk kedondong, dan terong asam.
Tim Pusaka Rasa Nusantara mendokumentasikan semua proses, mulai dari penimbangan bahan-bahan, peracikan bumbu, hingga pemasakan. Selanjutnya, mereka mencicipi hasil masakan dari resep itu. Saya paling senang melihat anggota tim mencicipi setiap masakan. ”Wah, enak banget ini,” ucap seorang anggota tim dengan mata yang berbinar sambil tersenyum lebar.
Sebagai teman makan lempah, Cik Kario menyediakan nasi putih hangat, lalapan, dan sambal. Batin saya, ”Ya ampun, makan lagi!” Saya mencicipi semua resep yang dimasak. Yang pertama menyantap secara ”telanjang”, yakni tanpa balutan lalap dan sambal.
Kemudian, disusul dengan lalapan dari tanaman kencur dan kecipir. Wah lebih nikmat disantap dengan lalapan. Namun, porsi penuh nasi putih pasti tidak akan masuk dalam radar piring saya karena akan cepat membuat kenyang.
Baca Juga: ”Tersihir” Kebaikan di Lereng Bromo

Lempah urong tugang merupakan masakan tradisional yang sudah jarang dimasak oleh masyarakat Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Dokumentasi resep masakan tradisional dilakukan oleh Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia, melalui program Pusaka Rasa Nusantara. Mereka mencatat dan mendokumentasikan resep-resep langka dari berbagai penjuru Nusantara, termasuk resep di Mendo Barat, Jumat (15/7/2022).
Setelah kembali ke kota, kami mampir ke Otak-Otak Ase. Mbak Meilati memesan otak-otak berbungkus daun yang dibakar, bujan talas, rebus bulat, rebus panjang, dan ngpiang. Aroma daun bakar dari pembungkus otak-otak amat menggunggah selera. Rupanya saya hanya sanggup makan dua potong otak-otak, sepotong ngpiang, dan sepotong rebus panjang.
Saat ditanya anggota tim kenapa saya hanya mengambil sedikit, jawabannya sudah tentu karena kekenyangan. Sebetulnya saya berupaya adil dengan menyediakan sedikit ruang untuk mencicipi mi koba yang akan kami datangi setelah otak-otak.
”Wah, harusnya di awal, kami memberikan info ke Tim Kompas, kalau kegiatan kami ini banyak icip-icipnya. Jadi siapin kapasitas perut yang ekstra, he-he-he,” seloroh mereka.
Hari itu, perut saya terasa buncit. Ini kali pertama saya kekenyangan sampai-sampai saya merasa perlu untuk mengelus dan berdialog dengannya. Maklum, saya tak biasa makan banyak jika tak sedang pulang kampung.
Pengalaman hari pertama mengajarkan saya untuk mengatur strategi hari berikutnya agar tidak cepat kenyang. Pada perjalanan hari-hari berikutnya, perut pun mulai terbiasa dengan irama makan, makan, dan makan.
Berpetualang selama enam hari bersama mereka terasa amat menyenangkan. Bukan hanya perut yang kenyang, pikiran juga menjadi kaya akan pengetahuan baru. Setiap mencicipi masakan, komentarnya bukan hanya ”enak”, tetapi juga melatih lidah dan pikiran untuk menelaah lebih jauh. Kenapa pakai bahan ini, ya? Bahannya dari mana? Kok, rasanya unik? Teknik pemasakan apa yang membuat makanan jadi nikmat?
Baca Juga: Berkubang Lumpur Mencari Guru di Perbatasan Indonesia-Malaysia

Varian rasa wijen dari Kue Tabok Apin yang berlokasi di Toboali, Bangka Selatan. Kue tabok atau hok lo pan atau martabak manis merupakan hidangan yang banyak dijajakan saat sore hari di sekitar Bangka.
Pasangan suami istri Chef Ragil dan Mbak Meilati sering berpetualang ke berbagai daerah di Indonesia, untuk mengeksplor berbagai resep masakan tradisional dari bahan-bahan lokal.
Bekal tersebut kian menambah pengetahuan dan memberikan inspirasi tersendiri. Bisa dikatakan, lidah mereka sudah terlatih mencicipi berbagai jenis masakan Nusantara. Menu-menu yang mereka rekomendasikan pasti saya pesan juga.
Dalam perjalanan itu, saya sempat mencicipi hok lo pan atau martabak manis yang menurut Chef Ragil merupakan martabak bangka terenak yang pernah dicicipinya. Martabak manis legendaris itu bernama Kue Tabok Apin yang berlokasi di Toboali, Bangka Selatan.
Saat biji wijen ditaburkan di atas adonan yang telah matang, aroma harum dan legit melayang di udara.
Kue tabok dimasak menggunakan anglo yang terletak di gerobak. Kuenya tidak terlalu tebal seperti martabak manis pada umumnya, memiliki tekstur yang empuk dan lembut. Varian rasa wijen merupakan varian khas orisinal dari martabak bangka. Saat biji wijen ditaburkan di atas adonan yang telah matang, aroma harum dan legit melayang di udara.
Membahas tentang makanan seperti tak ada habisnya. Semakin mengenal bahwa standar makanan enak itu bukan sekadar rasa, melainkan juga bumbu dan teknik pemasakannya juga harus tepat.
Bahkan, makanan bisa menunjukkan karakter seseorang, seperti kata Aruna dalam film Aruna dan Lidahnya, ”Kalau kita ngomongin makanan, kita itu enggak mungkin enggak ngomongin penikmatnya. Justru lewat makanan kita lebih tahu orangnya kayak gimana.”
Mari menyelami beragam rasa dan masakan Nusantara!