Jalan Terang Kemerdekaan Energi di Pelosok Bolaang Mongondow
Kehadiran listrik di sebuah desa di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, membawa peningkatan taraf hidup bagi warga.
Selama belasan tahun, Desa Mengkang di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, mandiri listrik berkat sebuah kincir air. Kini, jaringan PLN yang hadir di desa itu membawa kemerdekaan energi yang lebih besar bagi seluruh warga.
Impian Marham Dandong (36) terwujud pada permulaan 2022. Bermodalkan uang hasil berkebun, warga Dusun I Desa Mengkang, Kecamatan Lolayan, itu akhirnya bisa membuka sebuah toko kelontong yang menjual kebutuhan sehari-hari, dari gula sampai detergen.
Barang dagangannya mirip dengan segelintir toko lain di desa yang terletak 29,6 kilometer di barat daya Kota Kotamobagu itu. Namun, toko Marham kerap menjadi tujuan warga, dari bocah sampai orang dewasa, yang ingin melepaskan dahaga dengan segarnya aneka minuman dingin.
Semua tersedia di dalam sebuah kulkas satu pintu berwarna merah di pojok toko. ”Dulu belum bisa pakai (kulkas). Sekarang, alhamdulillah, sudah bisa karena sudah ada setrum PLN (Perusahaan Listrik Negara),” kata Marham, Sabtu (16/7/2022) siang, sambil menunjukkan isi kulkasnya.
Marham juga berjualan nasi kuning buatan istrinya. Mereka menggunakan sebuah penanak nasi (rice cooker) elektrik sehingga proses memasak lebih cepat.
Kulkas dan penanak nasi memang bukanlah barang elektronik termutakhir masa kini. Namun, mayoritas warga Mengkang baru memilikinya menjelang akhir 2018. Saat itu, PT PLN mulai mendirikan tiang-tiang listrik di sepanjang jalan desa dan saling menghubungkannya dengan utasan kabel hitam.
Desa Mengkang pun memasuki era baru. Kebutuhan listriknya kini bertumpu pada sistem pembangkit Sulawesi Utara dan Gorontalo (Sulutgo) PLN yang berkapasitas 620 megawatt (MW). Energi yang dihasilkan, kata Marham, sangat kuat dan stabil, tak seperti kincir air yang sejak 2006 menjadi satu-satunya pemasok listrik bagi warga desa.
Maklum, kincir itu hanya dilengkapi dinamo dengan daya maksimal 10 kilowatt (kW). Putarannya juga tak stabil karena tergantung dari deras atau lambatnya air dari sebuah saluran irigasi yang lebarnya tak sampai semeter.
Namun, seperti kata Nani Mulyani Mokolintad (55), warga Dusun II, bukan berarti pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) tersebut tidak bagus. Kincir air di belakang rumahnya itu telah menjadikan Desa Mengkang berdikari dalam urusan listrik selama 12 tahun. Warga hanya perlu ikut iuran Rp 5.000 per bulan untuk pemeliharaan.
Meski demikian, peralihan ke jaringan listrik PLN tak bisa ditunda lagi karena kerusakan barang elektronik kerap terjadi. ”Kalau (debit air sungai) terlalu deras, lampu bisa pecah, televisi hangus. Artinya, kincir air itu bagus juga, tetapi lebih bagus listrik PLN,” tambahnya.
Kini, rumah Nani memiliki sambungan listrik berkapasitas 450 volt ampere (VA). Ia hanya perlu membeli kupon (token) sebesar Rp 50.000 untuk pemakaian selama 6-7 bulan. ”Kebetulan kami di rumah cuma pakai lampu, televisi, dan charge HP (telepon seluler),” kata perempuan yang belum berencana membeli kulkas ataupun penanak nasi ini.
Setelah ada pembangkit mikrohidro itu, kami merasa merdeka.
Di sisi lain, masuknya listrik PLN menandai akhir dari era kemandirian energi di desa yang baru resmi berdiri pada 2007 itu. Kincir tak lagi berputar dan deru dinamo tak lagi terdengar. Bangunan kayu yang menaungi mesin-mesinnya bahkan telah menjadi gudang rongsokan.
Padahal, antara 2012 dan 2018, rangkaian PLTMH itu membuat Mengkang kehujanan penghargaan dari pemerintah pusat, salah satunya Desa Mandiri Energi. Gelar tersebut merupakan apresiasi atas kemampuan desa memanfaatkan sumber energi baru terbarukan (EBT) yang disediakan alam.
Sangadi (kepala) Desa Mengkang periode 2007-2018, Marsidi Kadengkang (65), juga dinobatkan sebagai Kader Konservasi Nasional pada 2012, lalu dianugerahi Kalpataru kategori Perintis Lingkungan pada 2019. Ialah perintis PLTMH pada 2006, ketika Mengkang masih dipersiapkan menjadi desa demi memuluskan pemekaran kabupaten.
Dengan kincir, talang, dinamo 3 kW, dan segala komponen lain yang Marsidi beli secara pribadi, sekitar 50 rumah yang sudah ada di Mengkang saat itu bisa teraliri listrik. Ketika semakin banyak warga membeli televisi dan parabola, ia lagi-lagi rela menggunakan uang sendiri untuk meningkatkan daya pembangkit dengan dinamo 10 kW.
Lam Makalalag (56), sangadi Mengkang saat ini, menyebut ide itu dapat terealisasi karena melimpahnya air di Desa Mengkang yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Ada dua sungai yang mengalir membelah desa.
Baca juga: Belajar Energi Terbarukan dari Pedalaman
”Setelah ada pembangkit mikrohidro itu, kami merasa merdeka. Di malam hari, anak sekolah bisa belajar dengan baik dan masyarakat mendapat penerangan jalan. Kami juga bisa pakai pengeras suara di masjid dan dalam kegiatan desa lainnya,” kenang Lam.
Mengkang pun dielukan sebagai cerita sukses. Menurut Penyuluh Kehutanan Balai TNBNW Fendi Saputra, ada total 178 desa penyangga kawasan TNBNW yang membentang seluas 282.089,93 hektar di Sulut dan Gorontalo. Namun, antara 2007 dan 2018, hanya tujuh desa yang mampu berswadaya mengonversi EBT menjadi listrik, salah satunya Mengkang.
Desa Mengkang pun berada di jalur yang tepat untuk berperan dalam pencapaian target 23 persen porsi EBT dalam bauran energi nasional pada 2025. Kendati begitu, harus diakui kemampuan kincir air rintisan Marsidi terbatas. Teknologinya tak diperbarui.
Setiap rumah hanya diperbolehkan menggunakan tiga buah lampu bersamaan pada malam hari demi menciptakan keadilan konsumsi listrik. Peralatan besar seperti kulkas dan mesin cuci mustahil digunakan.
Baca juga: Mikrohidro untuk Jaga Hutan
Performa PLTMH semakin menurun setelah Desa Mengkang diterjang banjir bandang pada 2014. Mujahidin Tungkagi (48), pengelola PLTMH, mengatakan, debit air yang masuk ke saluran irigasi turun drastis, kemungkinan karena perubahan bentang alam di hulu. ”Otomatis putaran kincir tidak lancar lagi,” katanya.
Jaringan PLN yang masuk pada akhir 2018 dalam rangka percepatan program Listrik Perdesaan membawa secercah harapan baru bagi warga. Lam mengatakan, negara turut memperhatikan kemerdekaan energi desa sekecil Mengkang yang kini secara resmi hanya dihuni 57 keluarga atau 187 jiwa.
Tak kurang dari Rp 2,53 miliar digelontorkan Unit Pelaksana Protek Ketenagalistrikan (UP2K) Sulut PT PLN untuk membuat jaringan sepanjang 5,99 kilometer sirkuit (kms) di Desa Mengkang. Biaya itu mencakup komponen seperti tiang, kabel, transformator, hingga instalasi di 73 rumah.
Kepala UP2K Sulut PT PLN R Cahyo Gunadi mengakui, secara hitung-hitungan bisnis, badan usaha milik negara (BUMN) tempatnya bekerja itu sebenarnya rugi besar. ”Kalau ada sekitar 80 pelanggan dengan daya 900 VA, rata-rata (pemasukan) per bulan hanya Rp 11,6 juta, setahun Rp 139,6 juta. Dari sudut pandang investasi, bisa jadi nilai Rp 2,5 miliar itu, ditambah biaya operasional, baru kembali 90 tahun lagi,” katanya.
Namun, lanjut Cahyo, pengorbanan finansial PT PLN dalam program Listrik Perdesaan sebenarnya menciptakan keuntungan pada aspek yang tak bisa semata-mata dinilai dengan uang, yaitu keadilan pembangunan bagi perdesaan. Bila kebutuhan listrik terpenuhi, kebahagiaan warga akan menyusul.
Saya berharap kincir ini tetap berjalan karena dia sudah jadi ikon desa.
”Kami melihat untung dari sisi peradaban, pengetahuan, dan kemajuan. Listrik akan membuka jalan menuju pengembangan bidang lain, misalnya, ilmu pengetahuan dan kesempatan membuka usaha. Itu tidak bisa (terwujud) kalau kita ngomong duit,” ujarnya.
Akhirnya, Mengkang menjadi salah satu desa terakhir yang merasakan kehadiran pemerintah lewat UP2K PT PLN. Secara keseluruhan, kata Cahyo, hampir 99 persen dari 1.507 desa di Sulut telah menikmati listrik. Perhatiannya kini diarahkan pada desa-desa di pulau kecil di wilayah kepulauan Sangihe dan Talaud.
Untuk mencapai elektrifikasi 100 persen, anggaran UP2K Sulut PT PLN, yang juga ditopang penyertaan modal tanpa bunga dari pemerintah, terus dinaikkan dari tahun ke tahun. Setelah Rp 57,08 miliar tahun ini, UP2K Sulut diwacanakan menyiapkan Rp 105,23 miliar pada 2023.
Program Listrik Perdesaan telah membuat kehidupan di Desa Mengkang lebih sejahtera. Namun, tak sedikit yang masih berangan melihat kincir air yang kini telah berkarat itu kembali berputar. Karena itu, Sangadi Mengkang, Lam, berencana memulihkan lalu menggunakannya sebagai sumber listrik lampu jalan.
Mujahidin, pengelola PLTMH, sepakat. Semua komponen masih dapat berfungsi dengan baik, hanya perlu penggantian suku cadang kecil dan pembuatan talang air baru. Biayanya ia taksir Rp 15 juta, sepotong kecil dari anggaran belanja Desa Mengkang 2022 sebesar Rp 923,5 juta. ”Saya berharap kincir ini tetap berjalan karena dia sudah jadi ikon desa. Anggaplah ini suatu cadangan dari listrik PLN yang suatu saat pasti mati karena, misalnya, pemeliharaan,” katanya.
Baca juga: Bertransformasi, PLN Pisahkan Pelayanan dan Pembangkit
Cahyo pun menyatakan kesiapan UP2K Sulut untuk mendampingi jika diminta. Pembinaan teknis keamanan dan pemeliharaan sangat penting demi mempertahankan pembangkit rintisan swadaya masyarakat tersebut.
Akhirnya, kemerdekaan energi telah dalam rengkuhan Desa Mengkang. Lam yakin, tiada hambatan berarti untuk memulihkan lagi kearifan lokal desa demi mengisi dan mempertahankan kemerdekaan itu.