Harga Sawit di Sumut Mentok Rp 1.300 Per Kg, Pengusaha Minta DMO Dihapus
Harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani di Sumatera Utara masih mentok di kisaran Rp 1.300 per kilogram. Pengusaha meminta kebijakan DMO dihapus agar harga tandan buah segar bisa naik.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani di Sumatera Utara masih mentok di kisaran Rp 1.300 per kilogram. Meskipun pungutan eskpor minyak sawit mentah dihapus, serapan sawit petani masih lambat karena ekspor belum maksimal. Pengusaha pun meminta kebijakan kewajiban memenuhi pasar dalam negeri atau DMO dihapus agar harga tandan buah segar bisa naik.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut Timbas Prasad Ginting, Rabu (3/8/2022), mengatakan, pemerintah harus mengambil keputusan cepat berdasarkan data dan kondisi lapangan industri sawit nasional yang saat ini terpuruk. ”Kebijakan tentang DMO seharusnya segera dievaluasi karena minyak goreng di pasar negeri sudah melimpah,” katanya.
Menurut Timbas, harga minyak goreng curah juga sudah jauh di bawah harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 15.500 per kilogram. Berdasarkan pantauan Kompas di sejumlah pasar di Medan, harga minyak goreng curah berkisar Rp 11.500 per kilogram dan pasokan pun terpenuhi.
Karena ketersediaan dan harga minyak goreng sudah terpenuhi di dalam negeri, menurut Timbas, kebijakan DMO minyak sawit mentah (CPO) seharusnya dicabut. Penghapusan kebijakan DMO CPO akan berdampak pada meningkatnya ekspor CPO sehingga harga tandan buah segar di tingkat petani juga akan naik.
Menurut Timbas, pemerintah harus cepat menyesuaikan kebijakan karena menyangkut industri strategis nasional. Jika tidak, petani dan pengusaha di industri sawit akan semakin terpuruk.
Timbas menyebut, keterpurukan industri sawit saat ini merupakan ironi karena terjadi di tengah tingginya harga minyak sawit mentah atau CPO di pasar dunia. Di sisi lain, dia menyebut, kebijakan pemerintah yang sempat menutup keran ekspor CPO pada 28 April sampai 22 Mei masih berdampak sampai saat ini.
Kebijakan tentang DMO seharusnya segera dievaluasi karena minyak goreng di pasar negeri sudah melimpah.
”Kapal pengangkut CPO sudah sempat beralih ke negara lain ketika keran ekspor ditutup di Indonesia. Untuk mengembalikan kapal angkutan CPO ini tidak mudah. Kami perkirakan, pengapalan CPO baru normal pada September hingga Oktober,” kata Timbas.
Di sentra sawit petani di Kabupaten Simalungun, Sumut, harga sawit sempat terperosok hingga Rp 800, kemudian sempat naik hingga Rp 1.300 per kilogram setelah ada penghapusan sementara pungutan ekspor CPO. Harga sawit petani pun tidak beranjak dari sekitar Rp 1.300 per kilogram dalam beberapa hari terakhir.
”Dengan harga itu, petani sebenarnya masih merugi karena harga pupuk pun sedang meroket. Kami berharap harga sawit bisa naik di atas Rp 2.000 per kilogram agar kami bisa mendapat untung,” kata Edi Sinaga, petani sawit yang juga Ketua Perkumpulan Pekebun Kelapa Sawit Berkelanjutan Bintang Simalungun.
Hilirisasi
Untuk solusi jangka panjang, kata Timbas, hilirisasi sawit harus terus didorong untuk meningkatkan serapan CPO di dalam negeri, nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja. Dia menyebut, hilirisasi produk sawit di Indonesia tertinggal dibandingkan negara penghasil sawit lainnya, seperti Malaysia.
”Produk turunan sawit dua kali lipat lebih banyak di Malaysia dibandingkan Indonesia,” kata Timbas.
Menurut Timbas, produk yang paling bisa menyerap CPO dalam volume yang besar adalah biodiesel, yakni pencampuran minyak sawit dengan bahan bakar solar. Saat ini, pemerintah mewajibkan pencampuran 30 persen biodiesel untuk bahan bakar biosolar (B30) dan diharapkan bisa terus ditingkatkan.
Selain itu, kata Timbas, produk lain yang berpotensi untuk ditingkatkan adalah minyak makan merah yang bisa diproduksi oleh usaha mikro kecil dan menengah.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian Kelapa Sawit Edwin Lubis mengatakan, nilai investasi untuk produksi minyak makan merah relatif terjangkau untuk UMKM. ”Ini diharapkan dibangun di sentra atau di daerah-daerah pedesaan sehingga pasti akan lebih murah karena biaya logistiknya juga rendah,” katanya.
Minyak makan merah ini tidak hanya berfungsi untuk menggoreng, tetapi untuk suplemen makanan karena mengandung pro-vitamin A dan E yang lebih tinggi dari minyak goreng biasa. Dengan teknologi produksi sederhana, nilai nutrisi di dalamnya bisa dipertahankan. Produksi minyak makan merah ini juga bisa meningkatkan serapan produk sawit di dalam negeri.