Petani Swadaya di Sumsel Desak Hilirisasi Produk Kelapa Sawit
Petani swadaya di Sumatera Selatan berharap agar hilirisasi produk kelapa sawit di Sumatera Selatan segera diwujudkan. Langkah ini sangat mendesak mengingat harga tandan buah segar yang belum pulih.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Petani swadaya di Sumatera Selatan berharap agar hilirisasi produk kelapa sawit di Sumatera Selatan segera diwujudkan. Bahkan ada kelompok petani sawit yang sudah menyediakan lahan untuk pembangunan pabrik kelapa sawit mentah atau minyak pangan merah di wilayahnya hanya agar hasil panennya terserap dengan harga yang layak.
Analis Madya Sarana dan Prasarana Perkebunan Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian, Rabu (3/8/2022), menyatakan, desakan petani swadaya untuk segera dilakukannya hilirisasi semakin kuat mengingat harga tandan buah segar yang belum pulih. Bahkan ada kelompok tani yang sudah mempersiapkan lahan untuk pembuatan pabrik kelapa sawit (PKS) mini atau pabrik minyak makan merah (red palm oil/RPO) yang tengah diwacanakan pemerintah pusat.
Dari desakan itu, ungkap Rudi, bisa dibilang Sumsel mengajukan diri untuk menjadi daerah percontohan untuk pembuatan PKS mini atau minyak pangan merah. Hanya saja memang perlu ada penguatan organisasi untuk petani agar rencana hilirisasi bisa lebih masif.
Rudi mengakui terkait pembentukan koperasi petani kelapa sawit masih belum masif. Karena itu, butuh peran dari semua pihak agar pelembagaan petani sawit di Sumsel bisa lebih cepat terwujud.
Ketua Koperasi Jasa Cahaya Wanaraya Bersatu yang berada di Kabupaten Lahat, Sumsel, Suwanto menuturkan, pihaknya sudah menyiapkan sekitar 8 hektar lahan sebagai tempat pembangunan pabrik CPO atau RPO untuk dibangun di area perkebunan kelapa sawit milik anggota koperasi. Secara keseluruhan ada 2.500 hektar perkebunan sawit dengan produktivitas lahan sekitar 260 ton per dua minggu.
Selama ini, lanjut Suwanto, petani kesulitan untuk memasarkan hasil panennya ke PKS terdekat karena sistem antre yang terlalu panjang. ”Karena antre yang terlalu lama, kualitas rendemen kelapa sawit menjadi turun sehingga harga yang diberikan oleh PKS pun sangat murah,” ucapnya.
Belum lagi jarak antara kebun milik petani menuju pabrikan sangat jauh, yakni mencapai 25 km-30 km. Berbeda halnya jika pabrik dibangun lebih dekat dengan kebun petani tentu ongkos produksi bisa lebih murah.
Untuk saat ini saja, harga sawit di pabrikan sekitar Rp 1.200 per kilogram (kg). Itu berarti, uang yang diterima petani hanya sekitar Rp 800 per kg. ”Karena harga pabrik masih dipotong biaya untuk angkutan dan juga biaya penimbangan,” ucapnya. Jumlah itu sangat jauh dari ongkos produksi yang dibutuhkan sekitar Rp 2.000 per kg.
Mencari Investor
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengaku telah membicarakan hal ini kepada pihak terkait. Sebelumnya, dia juga telah mencari investor untuk memperkuat hilirisasi kelapa sawit di Sumsel. ”Untuk hasilnya akan diutarakan dalam waktu dekat,” ucap Herman singkat.
Wakil Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumsel M Yunus menyambut baik wacana pemerintah yang ingin membangun PKS mini atau pabrik RPO. ”Ini merupakan bentuk hilirisasi sebagai upaya meningkatkan penyerapan CPO di tingkat domestik,” ucap Yunus. Hanya saja, petani butuh edukasi lebih lanjut mengenai keuntungan dan juga risiko yang dihadapi ketika dibangun pabrik di dekat wilayahnya.
Sebenarnya pemerintah sudah berupaya untuk meningkatkan serapan CPO untuk kebutuhan dalam negeri, misalnya untuk kebutuhan bahan bakar nabati biodiesel yang sudah menuju ke B40. Hanya saja, butuh langkah konkret agar TBS milik petani bisa segera terserap dan tidak terlalu bergantung lagi pada pasar ekspor.
”Dari seluruh CPO yang dihasilkan di Indonesia, hanya 30 persen yang digunakan untuk kebutuhan domestik, lainnya diekspor,” ucapnya.
Di sisi lain, penguatan kelembagaan petani swadaya juga harus diperkuat agar mereka memiliki nilai tawar yang lebih tinggi sehingga harga yang diterima petani swadaya bisa setara dengan petani plasma.
”Selama ini selisih harga antara petani swadaya dan plasma bisa mencapai Rp 500 per kg. Padahal sawit yang mereka panen memiliki kualitas yang hampir sama,” ucap Yunus.
Selain itu, akan ada kepastian kemitraan sehingga hasil panen dari petani swadaya tidak ditolak PKS. Hingga kini, ujar Yunus, hanya sedikit koperasi petani kelapa sawit di Sumsel yang memiliki hubungan kemitraan langsung dengan pabrikan. Ke depan, jumlah koperasi akan ditingkatkan lagi untuk kesejahteraan petani.