Hitam Putih Sejarah di Malam Satu Suro
Bre Redana meluncurkan karya novel terbarunya ”Kidung Anjampiani”. Berkisah tentang sejarah, cerita dalam buku disebut mirip dengan kisah pribadinya.
Jangan salah mengukir sejarah.
Jangan salah mematri memori.
Jika dibiarkan keliru, maka terbitlah apa yang dimaknai sebagai kecelakaan di masa depan.
Hal itulah yang terungkap dari fragmen singkat yang menggambarkan sepenggal isi dari noval berjudul Kidung Anjampiani karya Bre Redana. Fragmen tersebut dipentaskan oleh para seniman dari Komunitas Lima Gunung (KLG), dan rekan-rekan KLG yang biasa disebut sanak kadhang, Jumat (30/7/2022). Malam itu juga malam 1 Suro atau awal tahun baru Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharam atau tahun baru Islam.
Kuda Anjampiani, putra dari tokoh pemberontak di Kerajaan Majapahit, Arya Ranggalawe, mengatakan kepada ibunya, Martaraga, bahwa cerita yang menuturkan bahwa ayahnya mati dibunuh oleh Patih Nambi merupakan salah satu bentuk ”kecelakaan” sejarah.
Cerita perihal itu juga tidak semestinya dibiarkan atau ditelan mentah-mentah sebagai suatu kebenaran yang tak terbantahkan.
”Sejarah tidak membeku di masa lalu. Sejarah bisa diutak-atik, tergantung kepentingan masa kini. Yang terpenting, kita mau mengaku, menerima, dan memaafkan,” ujar Kuda Anjampiani, menirukan keterangan Patih Nambi, yang pernah disampaikan kepadanya.
Ibunya, Martaraga, seketika tersentak. Bersikukuh berkeyakinan bahwa Patih Nambi adalah pelaku yang bertanggung jawab atas kematian suaminya, dia pun terkejut karena ditentang oleh Anjampiani.
Namun, perlahan, dia pun tersadar. Firasat dan bisikan alam disadarinya membuat segala kemungkinan bisa terjadi. Dan sejarah pun berulang. Jika sebelumnya Anjampiani menyebut telah terjadi ”kecelakaan sejarah”, maka kecelakaan kembali terjadi di masa kini.
”Hubunganmu dengan Dewi Sekartaji Asmara adalah kecelakaan,” ujar Martaraga. Dewi Sekartaji Asmara adalah putri Patih Nambi, yang ingin dinikahi oleh Anjampiani.
Martaraga kemudian menuturkan keterangan Patih Nambi yang disampaikan oleh Anjampiani adalah benar adanya. Namun, dia pun tetap menggugat, membantah keterangan sejarah yang menyebutkan bahwa, Arya Ranggalawe tewas sebagai pemberontak kerajaan Majapahit.
”Ayahmu, Ranggalawe tewas karena memperjuangkan nilai-nilai yang dianggapnya benar. Hitam adalah hitam, putih adalah putih. Tidak ada wilayah abu-abu,” ujarnya.
Kemiripan kisah di buku dengan kisah asli penulis barangkali menjadi ciri dari penulis-penulis besar. Hal seperti itu juga yang dilakukan oleh penulis Pramoedya Ananta Toer.
Di akhir fragmen, sembari meminta segenap hadirin yang duduk untuk beranjak berdiri, Martaraga pun berpesan, meminta setiap orang menuliskan sejarahnya masing-masing.
”Sejarah harus ditulis agar semesta terjaga dan tidak habis dimakan bhutakala,” ujarnya. Bhutakala dalam ajaran Hindu adalah raksasa waktu. Bergulirnya waktu menjadi kekuatan alam yang tidak mungkin terbantahkan dan tidak bisa dihindari.
Sejarawan sekaligus politisi Prof Dr Hendrawan Supratikno menuturkan, sejarah yang banyak disebut-sebut dalam fragmen, mengingatkannya pada pernyataan Bung Karno, jasmerah, jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.
Apa yang diceritakan dalam buku dan yang ditampilkan dalam pentas, menurut dia, juga memiliki beberapa kemiripan dengan sejarah penulisnya.
Hendrawan sudah mengenal Bre sejak tahun 1978. Mereka sering bertemu dan bertandang ke rumah satu sama lain, dan Hendrawan sudah sering makan, mencicipi masakan ibu Bre.
Baca juga: Cinta Ardus Sawega untuk Dunia Seni Diabadikan lewat Buku
Hendrawan juga tahu betul bahwa di usia delapan tahun, Bre juga kehilangan ayahnya, Gondo Waluyo, akibat peristiwa perebutan kekuasaan. Sempat dijemput aparat di tahun 1965, seseorang mengabarkan bahwa Gondo telah dibunuh, tetapi tidak jelas dikubur di mana.
Sekitar tahun 1980, Bre diterima sebagai wartawan harian Kompas. Hendrawan hampir menekuni profesi yang sama dengan menjadi wartawan Tempo. Namun, keinginan itu akhirnya dibatalkan karena dirinya dipanggil untuk menjadi dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.
Sekalipun tinggal berjauhan, mereka masih menjalin komunikasi. Bre juga masih kerap datang dan menjalankan ritual kebiasaannya di Salatiga, mendatangi salah satu pertigaan di waktu arus lalu lintas masih sepi. Dia kemudian biasa menaburkan bunga dan berdoa di sana.
”Di jalan itu, dia biasa menaburkan bunga dan mengucapkan doa untuk almarhum ayahnya, yang entah dikubur di mana,” ujarnya.
Hendrawan juga pencinta karya-karya dari pensiunan wartawan Harian Kompas tersebut. Enam novel karya Bre mendapat tempat khusus, dipajang di meja kerjanya.
Banyak karya buku yang ditulis dicermatinya memiliki kemiripan dengan kisah hidup Bre sendiri. ”Kemiripan kisah di buku dengan kisah asli penulis barangkali menjadi ciri dari penulis-penulis besar. Hal seperti itu juga yang dilakukan oleh penulis Pramoedya Ananta Toer,” ujarnya.
Malam itu, Bre juga berada bersama teman-teman yang juga menjadi bagian dari sejarahnya. Selain Hendrawan, di malam peluncuran buku dia juga didampingi Sutanto Mendut, pemilik studio Mendut, sekaligus tokoh dari KLG, yang sudah bersahabat dengan Bre selama sekitar 40 tahun.
Namun, tak sepenggal kalimat pun dituturkan Bre perihal relasi antara kisah hidup dan cerita dalam novelnya. Dia hanya larut dalam suasana, memberikan keterangan singkat bahwa malam itu adalah malam peluncuran novel terbarunya.
Bre hanya sekadar mengikuti jalannya acara, termasuk menurut saja, ketika diminta melontarkan tiga pertanyaan kuis. Malam itu, Hendrawan menggelar kuis, dengan 10 pertanyaan terkait novel Kidung Anjampiani. Hadiah untuk setiap pertanyaan yang dijawab dengan benar adalah selembar uang Rp 75.000, lembaran uang edisi khusus yang dicetak pada peringatan HUT Ke-75 Proklamasi RI yang dicetak dua tahun lalu.
Bre tidak terbuka menuturkan perihal sejarah hidupnya. Namun, sesuai cerita yang ditulis dan fragmen yang disutradarainya, setiap orang memang harus memiliki dan menulis sejarahnya sendiri. Entah hitam entah putih, garis sejarah pun tergantung kehendak dan perilaku masing-masing.
Di malam 1 Suro, pesan itu juga seolah mengingatkan setiap orang agar berhati-hati menuliskan cerita. Semoga di tahun baru, tidak ada lagi kekeliruan yang berbuah menjadi kecelakaan.
Baca juga: Sisi Lain Daniel Dhakidae Dituangkan dalam Sebuah Buku