Cinta Ardus Sawega untuk Dunia Seni Diabadikan lewat Buku
Buku bertajuk ”Panggung, Seni, dan Sosok: Catatan Jurnalistik Ardus M Sawega” diluncurkan, di Surakarta, Jateng, Rabu (13/7/2022). Buku itu mendokumentasikan cinta Ardus pada kesenian lewat kerja jurnalistiknya.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Semasa hidupnya, wartawan senior Kompas Ardus M Sawega begitu dekat dengan jagat kesenian. Kegetolannya merekam dan melaporkan beragam peristiwa seni tampak dari tulisannya yang mendalam. Itu semua didasari tingginya cinta Ardus pada dunia tersebut.
Ardus bersama Kompas sejak 1981 hingga 2010. Dia berpulang dalam usia 71 tahun di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Minggu (30/1/2022) dini hari.
Kini, berbagai laporan jurnalistik Ardus mengenai kesenian diabadikan dalam buku Panggung, Seni, dan Sosok: Catatan Jurnalistik Ardus M Sawega. Buku diluncurkan dalam diskusi publik di Institut Seni Indonesia Surakarta, Jateng, Rabu (13/7/2022).
”Penerbitan buku ini berawal dari rencana membuat peringatan atas kepergian Mas Ardus. Kenapa wujudnya buku? Karena, ini akan menjadi monumen mengenang Mas Ardus kapan saja,” kata kurator Bentara Budaya Frans Sartono, di sela-sela peluncuran buku tersebut.
Buku itu dibagi menjadi tiga bab besar. Bab pertama menampilkan tulisan-tulisan Ardus mengenai berbagai pentas kesenian dan kebudayan. Bab kedua tentang tokoh-tokoh seni budaya pernah ditulis Ardus. Sementara bab ketiga menyajikan ulasan Ardus mengenai seni rupa dan sastra. Semuanya pernah dimuat di Kompas, semasa Ardus aktif sebagai wartawan.
Efix Mulyadi, kurator Bentara Budaya dan teman dekat Ardus, mengungkapkan, secara garis besar, buku tersebut ingin menunjukkan luasnya perhatian Ardus pada bidang kebudayaan. Ardus menjalani tugas jurnalistiknya dengan penuh kecintaan, terutama seni dan budaya.
”Dia punya passion pada kesenian. Dia juga punya simpati besar terhadap semua orang yang memproduksi karya seni. Jadi tidak ada rasa capeknya. Dengan cara itu, dia tidak melecehkan dan meremehkan,” kata Efix.
Efix menjelaskan, Ardus sudah punya modal awal saat mengamati suatu peristiwa seni budaya. Sebab, Ardus bukan sekadar wartawan. Ia juga pelaku seni dan kebudayaan itu sendiri. Itu dibuktikan dari keterampilannya dalam seni lukis dan peran.
Bahkan, Efix menilai, Ardus termasuk salah seorang pelukis yang andal. Teknik menggambarnya dianggap cukup kompleks. Salah satunya memberi efek pencahayaan pada sebuah lukisan. Sejauh ini, ada beberapa orang yang pernah dilukis Ardus, yakni kritikus seni Gendhon Humardani, maestro keroncong Gesang, dan anak-anaknya.
Akan tetapi, keterampilan itu seolah-olah dianggap Ardus bukan sebagai suatu hal yang cukup penting untuk didalami. Ia justru lebih fokus mengasah kemampuan menulisnya. Kegandrungannya pada kesenian dijadikan alat untuk menumbuhkan kepekaan dalam memandang suatu peristiwa seni budaya.
”Kepekaan dia terhadap keindahan tumbuh sejak dulu. Bukan karena menjadi wartawan. Dia tumbuh sebagai apresian yang baik. Itu terus-menerus diasah karena dia setiap hari menonton pertunjukan. Akumulasi pengetahuan dan sensitivitas seninya terus ditumbuhkan,” kata Efix.
Dosen Etnomusikologi ISI Surakarta Aton Rustandi Mulyana mengungkapkan, lewat tulisannya, Ardus mengajak publik lebih memahami kesenian. Kesenian dibuat menjadi hal yang tak asing bagi masyarakat umum. Menurut dia, sosok tersebut mampu menjelaskan secara gamblang meski dengan keterbatasan karakter pada media cetak.
Lebih lanjut, Aton menyatakan, tulisan-tulisan Ardus sekaligus bisa diposisikan sebagai rekam sejarah peristiwa seni, di Kota Surakarta, yang berlangsung sejak era 1980-an hingga 2016. Oleh sebab, tingginya intensitas Ardus meliput segala macam peristiwa seni.
”Beliau mendedikasikan hidupnya untuk dunia seni. Dalam praktik nyata dengan medan jurnalistik. Banyak hal yang bisa kita petik dari tulisan-tulisan beliau, terutama mengenai pengetahuan seni hingga konsepnya. Artikel-artikel beliau juga menjadi penghubung antara peneliti dengan obyek seninya,” kata Aton.
Retno Susilaningsih (63), istri Ardus, bersyukur buku kumpulan tulisan suaminya bisa diluncurkan. Ia menceritakan, sebenarnya sang suami sudah punya rencana membuat buku sewaktu masih hidup.
”Sebelum berpulang, bapak ingin punya buku-buku untuk karya dia. Belum sampai terlaksana, beliau sudah dipanggil Tuhan. Dengan seperti ini (diluncurkan bukunya), bapak di sana pasti senang sekali,” kata Retno.