Berdaya dengan Listrik Sendiri dan Komoditas Kopi
Dengan pendampingan yang baik, warga lereng Bukit Barisan di Dusun IV, Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Sumatera Selatan, membangun listrik mikrohidro dan mengembangkan kopi hingga produknya mengglobal.
Meski berada di tengah keterbatasan dan kawasan terpencil, warga Dusun IV, Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan, menolak pasrah. Dengan pendampingan memadai, mereka membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro dan mengembangkan pertanaman kopi semendo petik merah hingga produknya dibawa ke sejumlah kota.
Monika (52) menyusuri jalan tanah dan bebatuan menuju Dusun IV, Desa Cahaya Alam, yang berjarak sekitar 4 kilometer dari tempat tinggalnya, Selasa (20/7/2022). Ia akan memeriksa satu unit pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) berkapasitas 5.000 watt yang sudah ia pasang bersama warga dusun tujuh tahun lalu.
Pria paruh baya itu memutuskan berjalan kaki karena akses jalan ke PLTMH ekstrem dan sempit. Butuh waktu sekitar 30 menit bagi Monika untuk tiba di sebuah pondok kecil beratapkan daun nipah. Di sana terpasang sebuah turbin PLTMH yang memanfaatkan derasnya aliran air sebagai sebagai tenaga. ”Alhamdulillah (turbin) masih berfungsi baik,” ujar Monika.
PLTMH itu mengalirkan listrik ke 35 rumah keluarga yang tinggal di sana. Untuk menyalurkan listrik ke rumah-rumah itu, warga menggunakan kabel ditopang tiang yang terbuat dari bambu.
Baca juga : Sumsel Mulai Kembangkan Kopi Arabika di Kawasan Perhutanan Sosial
Listrik dari PLTMH dirasakan warga Dusun IV yang berjarak sekitar 102 kilometer dari ibu kota Kabupaten Muara Enim itu setelah Desa Cahaya Alam ditetapkan sebagai hutan desa pada 2014. Keberadaannya di pinggiran Hutan Bukit Barisan dan lokasinya nyaris terisolasi.
Untuk mencapai dusun yang berjarak sekitar 3 kilometer dari dusun terdekat, warga harus melewati jalan tanah yang berliku dan menanjak. Kendaraan roda empat sulit melintas. Hanya motor yang sudah dimodifikasi yang bisa melintasi jalan.
Warga Dusun IV terdiri atas 200 jiwa. Selain belum teraliri listrik dari PLN, layanan kesehatan dan pendidikan juga jauh. Sekolah dasar terdekat berjarak sekitar 5 kilometer dari dusun. Begitu pula puskesmas, berjarak sekitar 12 kilometer dari dusun.
Yantiara (33), salah satu warga Dusun IV, melahirkan anaknya di rumah dibantu suami dan ibunya yang merupakan dukun beranak karena jauhnya fasilitas kesehatan. Terkadang ia merasa heran mengapa daerah tempat tinggalnya itu tidak pernah tersentuh fasilitas pemerintah.
Penetapan hutan desa itu membawa harapan baru. Setelah penetapan itu, warga dibantu sebuah lembaga swadaya masyarakat lingkungan, Hutan Kita Institute (HaKi), membangun sarana kelistrikan. HaKi juga membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat lewat komoditas unggulan setempat, yakni kopi yang dikenal dengan kopi semendo.
Baca juga : Ikhtiar Membuat Kopi Sumsel Naik Kelas
Dengan tersedianya listrik dari PLTMH, warga bisa menghidupkan lampu di rumahnya. Ini jauh lebih baik dibanding sebelumnya, yakni warga hanya mengandalkan botol sumbu berbahan bakar minyak tanah atau menggunakan lampu petromaks sebagai alat penerang.
Yantiara pun mengandalkan tiga unit lampu yang menyala setiap hari berkat fasilitas PLTMH itu di rumahnya. ”Tapi, kami tidak bisa memasang televisi atau kulkas karena dayanya tidak cukup besar untuk memasang alat elektronik itu,” ujarnya.
Karena begitu pentingnya fasilitas PLTMH bagi dusun, warga secara sukarela bergantian memeriksa mesin terutama aliran air agar tidak tersumbat oleh dedaunan atau sampah yang bisa memengaruhi daya. ”Jika aliran air tidak lancar, aliran listrik pun terhambat. Karena itu, turbin harus rutin diperiksa termasuk membersihkan saluran air,” ucapnya.
Apabila saluran air tersumbat, PLTMH tidak akan berjalan optimal sehingga daya yang sampai ke warga pun menurun.
Agar operasional berjalan baik, warga berkontribusi Rp 10.000 per bulan untuk peralatan PLTMH.
Komoditas unggulan
Listrik dari PLTMH juga digunakan untuk memproses kopi. ”Listrik dari PLTMH digunakan untuk mengalirkan air untuk mencuci biji kopi,” ujar Zamran (30), warga Dusun IV.
Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan warga setempat turun-temurun bahkan sejak masa kolonial Belanda. Selain kopi, warga hidup dari berkebun sayur dan bersawah. Produk pertanian itu menjadi sumber penghidupan warga sepanjang tahun. Kopi dipanen sekali setahun, sedangkan sayur dan padi bisa dipanen 3-4 kali per tahun.
Dari ketiga komoditas itu, hanya kopi dan sayuran yang dijual ke luar daerah Desa Cahaya Alam, selain untuk konsumsi sendiri. Sementara beras hasil berladang digunakan sepenuhnya untuk memenuhi konsumsi sendiri dan kebutuhan untuk berbagi ketika ada hajatan warga.
Khusus untuk kopi, sejak dua tahun lalu, warga dusun berinovasi membenahi tata niaga dan pengelolaan kopinya di bawah bimbingan HaKi. Langkah itu dimulai dengan pembangunan demonstration plot (demplot) yang dijadikan sebagai tempat percontohan bagi petani. Dari 6 hektar yang tersedia untuk demplot, sekitar 2 hektar di antaranya telah digunakan untuk menanam kopi arabika.
Zamran adalah petani yang menanam kopi arabika di area demplot pada ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu. Proses penanaman dilakukan dengan skema organik guna mengurangi penggunaan bahan kimia. ”Kami menggunakan pupuk kandang dan penyemprotan herbisida dilakukan sangat hati-hati agar tidak memengaruhi pertumbuhan tanaman kopinya,” papar Zamran.
Jerih payah Zamran berbuah hasil, tanaman kopi arabikanya tumbuh subur dan menghasilkan buah yang bagus. Sesuai dengan arahan pendamping, Zamran hanya memetik kopi biji merah karena biji kopi itu akan disalurkan ke pasar kopi premium di beberapa kota besar seperti di Palembang, Yogyakarta, dan Makassar, bahkan ia mendengar sudah ada tawaran hingga luar negeri.
Setelah dipetik, kopi biji merah itu pun dicuci bersih (dirembang) kemudian dijemur di rumah jemur kopi yang dibangun warga selama 20 hari dalam suhu sekitar 40 derajat celsius untuk mencapai kadar air ideal 12-14 persen.
Pola ini bertolak belakang dengan kebiasaan petani setempat yang menjemur kopi di atas tanah. Bahkan dihamparkan menutupi jalan dan dibiarkan diinjak kendaraan yang melintas atau hewan yang lalu lalang.
Setelah kering, biji kopi kemudian dikupas dengan menggunakan mesin huller dan jadilah green bean. Dengan pengelolaan yang profesional, biji kopi arabika mentah hasil budidaya Zamran dihargai sekitar Rp 80.000 per kg, jauh lebih mahal dibanding petik asalan yang hanya dihargai Rp 18.000 per kg.
Pendamping Perhutanan Sosial dari HaKi Aidil Fikri menuturkan, pihaknya memang terus membina para petani untuk bisa berdaya di tengah keterbatasan. Mulai dari memasang turbin untuk PLTMH, pembinaan dan pendampingan, hingga membantu dalam proses pemasaran komoditas terutama kopi.
Sebenarnya, sejak awal dirinya sudah mengusulkan agar desa ini dapat teraliri listrik. ”Pengusulan sudah dilakukan pada 2018 lalu, tetapi belum ada tanggapan dari PLN. Entah di mana masalahnya,” ujar Aidil.
Meskipun terkendala aliran listrik, dia mengajak warga untuk tetap bersemangat berinovasi melalui tanaman kopi.
Setelah dibina, semangat warga untuk berdaya sangat terlihat. Kini hasil penanaman dengan pengelolaan pascapanen yang baik terbukti menghasilkan biji kopi yang baik. Sekarang, menurut Aidil, banyak petani di sekitar demplot yang belajar untuk mengelola kopi secara baik karena harga yang dipatok jauh lebih baik daripada dipetik secara asalan.
Skema pengolahan kopi secara benar juga ditularkan ke beberapa daerah penghasil, seperti Kabupaten Lahat, Pagar Alam, Musi Rawas, dan Ogan Komering Ulu Selatan. Dengan demikian, nantinya kopi asal Sumsel akan lebih dikenal tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Aidil meyakini potensi dari kopi semendo yang dikelola di Desa Cahaya Alam sangatlah besar. Beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat sudah mulai melakukan penawaran untuk mengambil kopi dari Semendo, yang merupakan sebutan untuk kawasan di Kecamatan Semende Darat Laut, Semende Darat Tengah, dan Semende Darat Ulu di Kabupaten Muara Enim.
Hanya saja, karena keterbatasan prasarana, pasokan kopi yang diproduksi petani belum sebanding dengan permintaan. ”Permintaan ekspor dari luar negeri bisa mencapai 100 ton per bulan. Hanya saja, kemampuan kebun petani belum sampai sana,” ucapnya.
Sapni, Kepala Seksi Kesejahteraan Masyarakat Desa Cahaya Alam, mengatakan, walau menjadi dusun tertua di desa, Dusun IV adalah yang paling tertinggal pembangunannya. Berulang kali pemerintah desa meminta agar PLN memasang aliran listrik di dusun ini, tetapi belum ada tanggapan.
Akhirnya, pada tahun 2021 lalu, pemerintah desa secara swadaya bersama masyarakat mengalirkan listrik dari dusun yang sudah teraliri listrik ke Dusun IV yang berjarak sekitar 3 km itu dengan menggunakan kabel listrik satu jalur bekas kabel yang dulu digunakan untuk menyalurkan listrik PLTMH di Desa Cahaya Alam.
”Lumayan sekarang ada 10 rumah yang terpasangi listrik PLN walau dengan daya yang masih terbatas,” ucap Sapni. Namun, ia berharap agar PLN menerangi Dusun IV karena setiap warga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan fasilitas dari negara.
Selain itu, listrik juga bakal mendukung produk kopi dari Dusun IV semakin menggaung. ”Kami membutuhkan daya listrik agar bisa digunakan untuk mengoperasikan alat pengolahan kopi,” ucapnya.
Baca juga: Anomali Cuaca, Produksi Kopi di Sumsel Menurun Signifikan
Syarat teraliri listrik
Menanggapi hal itu, Sendy Rudianto, Manager Komunikasi PT PLN Wilayah Sumsel, Jambi, dan Bengkulu mengakui masih ada daerah yang belum teraliri listrik dari PLN. Rasio elektrifikasi Sumsel sampai Juli 2022 sebesar 99,73 persen.
Jumlah desa berlistrik PLN di Sumsel sebesar 99,01 persen atau sebanyak 3.216 desa dari total 3.248 desa. Adapun target desa yang akan dialiri listrik sampai dengan tahun 2024 adalah 32 desa dan sekitar 40 dusun.
Adapun syarat suatu kawasan bisa teraliri listrik dari PLN adalah kondisi jalan baik untuk mobilitas pekerjaan dan operasional ke depan, tidak dalam kawasan hutan, dan bersedia melakukan pembebasan lahan di sepanjang jalur listrik tanpa ada ganti rugi. ”Karena itu, dukungan dari perangkat desa sangat diperlukan,” ujar Sendy.
Kalaupun kondisinya infrastruktur di desa tersebut tidak memungkinkan, PLN merencanakan pembangunan pembangkit energi baru terbarukan. ”Tentu pembangunan sarana kelistrikan akan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia,” ujar Sendy. Pihaknya selalu berkoordinasi dengan pihak terkait untuk memetakan daerah yang belum teraliri listrik.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berharap agar semua pihak berkontribusi untuk membangun sarana kelistrikan di daerah yang belum teraliri listrik, apalagi jika kawasan itu memiliki potensi yang besar.
”Terkait desa yang belum teraliri listrik saya sudah meminta perusahaan terdekat untuk membantu membangun sarana pembangkit. Misalnya solar cell yang bisa digunakan untuk menerangi daerah di kawasan yang belum berlistrik,” ujar Herman.
Dengan demikian, warga Dusun IV pun tanpa terkecuali bisa merasakan hadirnya negara dan nikmatnya kemerdekaan.