Anomali Cuaca, Produksi Kopi di Sumsel Menurun Signifikan
Produksi kopi di sejumlah daerah penghasil kopi di Sumatera Selatan menurun signifikan, bahkan mencapai 80 persen. Penurunan ini disebabkan oleh anomali cuaca dan tingginya harga pupuk.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
—
Joni Efendi (34), petani kopi di Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Muara Enim mengatakan, penurunan produksi hingga 70 persen. Bila biasanya mendapat 1 ton biji kopi per hektar, tahun ini hanya 300 kilogram. Penyebabnya, cuaca yang tidak menentu. ”Sekarang seharusnya musim kemarau. Namun, masih kerap hujan deras. Akibatnya, kopi rentan mengalami busuk bunga karena kelembaban tinggi,” katanya, Kamis (21/7/2022).
Kondisi ini membuatnya merugi. Lahan kopi yang sudah ditanam sejak 10 tahun terakhir mengalami gagal panen. ”Padahal, harga kopi sekarang sedang bagus,” ujarnya. Untuk robusta asalan (petik pelangi) dihargai sekitar Rp 22.000 per kg atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga tahun lalu, berkisar Rp 18.000 per kg.
Anandi (40), petani kopi di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagaralam, mengatakan, sejak dua tahun terakhir kopinya tidak berbuah optimal. Biasanya dia mendapat 1,3 ton buah kopi per tahun.
Namun, dua tahun terakhir hanya mampu meraup 200 kg. Agar tetap berpenghasilan layak, Anandi mencoba menanam wortel, cabai, dan daun bawang.
”Sekarang harga cabai sekitar Rp 40.000 per kg, lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.
Penurunan ini juga tergambar dari data Badan Pusat Statistik Sumsel. Produksi kopi turun signifikan, dari 198.945,13 ton tahun 2020 menjadi hanya 162.977,44 ton tahun 2021.
Boedi, Ketua Hutan Kemasyarakatan Kibuk Pagar Alam, menuturkan, penurunan produksi kopi itu terjadi pada lahan yang tidak dirawat dengan optimal. Dia mencontohkan lahan tanpa tanaman peneduh pada musim kemarau hingga tidak memotong ranting tanaman peneduh saat hujan.
Dia menyebut, di beberapa kebun yang dirawat dengan baik justru ada peningkatan produksi kopi, terutama arabika. Akan tetapi, Boedi mengatakan, pemerintah harus tetap mengambil langkah cepat. Beberapa hal yang bisa dilakukan, seperti memberi pendampingan dan pemberian bibit yang tepat bagi petani.
Pendamping Perhutanan Sosial dari Hutan Kita Institute, Aidil Fikri, menuturkan, tidak menentunya produksi kopi di Sumsel menjadi salah satu alasan kopi asal Sumsel sulit diekspor. Menurut dia, eksportir membutuhkan kepastian jumlah produksi. Jika ketidakpastian terus berulang, kopi asal Sumsel akan sulit menembus pasar internasional.
”Edukasi kepada petani tentang pengelolaan perkebunan kopi mulai dari pembibitan hingga produksi pascapanen perlu terus digiatkan,” katanya.
Rudi Arpian, Analis Madya, Prasarana, dan Sarana Perkebunan di Dinas Perkebunan Sumsel, berpendapat, petani harus mulai berinovasi dan tidak lagi mengandalkan satu komoditas tertentu dalam pengelolaan lahan. Penanaman sayur di lahan kopi dengan konsep tumpang sari merupakan hal yang paling tepat untuk menghadapi penurunan produksi.
Selain itu, konsep perkembangbiakan vegetatif (stek) dibutuhkan untuk mencari bibit yang bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. ”Karena, di beberapa daerah proses stek kopi terbukti ampuh menekan risiko kegagalan panen kopi,” ujar Rudi.