Madura: Maju dengan Usaha Rakyat
Orang Madura memegang teguh nilai keagamaan atau keislaman, pemberani (bangalan), pekerja keras (cakang), serta berbudaya yang luhur dan unik. Nilai-nilai itulah yang membuat Madura hidup merdeka.
Warga Madura maju dengan usaha rakyatnya. Dengan keterampilan hidup yang mereka miliki dan etos kerja yang kuat, mereka bisa hidup mandiri bahkan berdikari di kaki sendiri.
Lisa Pratami (36), pembatik dan perempuan pengusaha batik dari Kabupaten Bangkalan, memaknai kehidupan di era kemerdekaan dengan mengembangkan usaha batik tulis warna alam. Membatik telah mewarnai perjalanan dan perkembangan hidup Lisa.
Ditemui pada Sabtu (23/7/2022) siang, Lisa sedang mencanting atau menorehkan malam cair pada kain bergambar motif batik. Lisa mencanting di rumah produksi Mahkota yang sederhana bahkan terkesan kurang tertata di samping kedai Bebek Songkem Pak Salim di tepi Jalan Raya Ketengan, Burneh, Bangkalan, Pulau Madura.

Lisa Pratami, pembatik, mencanting atau menorehkan malam cair pada kain bermotif batik di rumah produksi batik tulis warna alam Mahkota, Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur, Sabtu (23/7/2022).
Abdul Mukib (32), sang suami, juga sibuk mencelup-celupkan kain yang telah diberi malam ke ember berisi cairan berwarna alam. Setelah dicelup-celupkan, kain itu kemudian dijemur pada tali di samping rumah produksi. Sesekali, Lisa dan Abdul meninggalkan pekerjaannya ketika datang konsumen yang ingin membeli batik atau menghibur si anak yang rewel.
Batik tulis warna alam, bagi Lisa dan Abdul, merupakan pelestarian terhadap kerajinan batik khas Madura terutama dari Kecamatan Tanjungbumi, Bangkalan, tempat keduanya dilahirkan dan dibesarkan. ”Sebelum memakai pewarna kimia, warna-warna batik kuno menggunakan bahan alami misalnya kulit dari pohon bakau, buah jelawe, buah manggis, daun mangga, dan daun tarum,” kata Lisa yang memulai usaha Mahkota sejak 2012.
Baca juga: Setitik Cerita Batik Madura
Sebelum membangun usaha sendiri, Lisa adalah perajin batik yang menyetor ke pengepul atau juragan batik di Tanjungbumi. Kehidupannya kurang sejahtera. Di sisi lain, Abdul yang meminangnya berketerampilan lebih baik dalam membatik. Mereka kemudian ”memerdekakan diri” dengan berjuang merintis dan mengembangkan usaha batik tulis warna alam Mahkota.

Batik tulis motif pesisir produksi pembatik Desa/Kecamatan Tanjungbumi, Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Tanjungbumi diyakini sejak abad ke-18 telah tumbuh menjadi salah satu sentra batik tradisional di Pulau Madura.
Rumah produksi merupakan bangunan milik kerabat yang disewa dengan harga terjangkau. Usaha itu mereka dirikan tiga tahun setelah peresmian Jembatan Suramadu Juni 2009. Jembatan Suramadu sedikit banyak mengubah wajah ekonomi pulau itu.
Di sepanjang Jalan Raya Ketengan bermunculan restoran dan kedai serta rumah produksi dan butik batik Madura. Produksi dan penjualan batik meningkat karena Bangkalan lebih mudah dijangkau.
Namun, dalam masa pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 sampai setidaknya dua tahun kemudian, sebagian usaha butik bertumbangan. ”Kami bertahan mungkin karena masih produksi batik tulis warna alam,” ujar Lisa.
Terbesar
Batik jelas bukan produk kebudayaan asli Madura, melainkan pengaruh dari peradaban Pulau Jawa. Kendati demikian, pasar batik tulis tradisional terbesar di Indonesia yang sekaligus di dunia ada di Madura. Tepatnya di Pasar 17 Agustus Pamekasan, 90-95 kilometer dari Mahkota ke Timur. Status itu bukan mengada-ada sebab dikukuhkan oleh Kementerian Perindustrian dan Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik Indonesia pada 24 Oktober 2019.

Suasana di Pasar 17 Agustus, Pamekasan, Pulau Madura, Jawa Timur, saat hari pasaran batik tulis tradisional, Minggu (24/7/2022).
Pemprov Jatim memperkirakan ada 4.000 perajin batik dengan skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Pulau Madura. Lebih dari 1.500 di antaranya berada di Kabupaten Bangkalan dengan konsentrasi terbesar di Tanjungbumi. Lebih dari 1.000 berada di Kabupaten Pamekasan. Sekitar 1.500 perajin ada di Kabupaten Sampang dan Kabupaten Sumenep.
Dilihat dari kekuatan itu, wajar jika produk batik dari Madura menjadi tuan tanah sendiri. Di Pasar 17 Agustus, konsumen dan penggila batik akan merasa ”merdeka” seutuhnya melihat, memilih, dan membeli batik Madura produksi sentra di Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep dengan harga terjangkau. Meski berharga cenderung murah, kain atau pakaian yang dibeli merupakan batik tulis atau sejati alias bukan printing atau kain motif batik produksi mesin.
”Batik di sini kalau boleh dibilang ya murah tetapi kualitasnya baik. Semakin tinggi harganya, kualitasnya dan cara pembuatannya semakin sulit,” kata H Nizer (60), pedagang batik di Pasar 17 Agustus.

Konsumen batik dari Yogyakarta sedang memilih batik tulis warna alam di rumah produksi Mahkota, Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur, Sabtu (23/7/2022). Batik tulis warna alam menjadi salah satu produk budaya warga Pulau Madura yang kian dikenal dan digemari.
Hampir sulit diterima akal sehat selembar kemeja batik tulis dengan motif sederhana dijual seharga Rp 75.000-Rp 100.000. Meski terjangkau atau amat murah, terbayang bahwa masih rendahnya apresiasi terhadap pekerja industri batik di Madura. Kendati demikian, harga jual yang terjangkau sudah membuat pedagang tersenyum.
Ke arah timur sejauh 50-53 Km, tepatnya di Desa Aeng Tongtong, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, juga ditemukan sentra terbesar keris. Keris juga bukan produk asli kebudayaan Madura, melainkan sudah digunakan di masa kerajaan klasik terutama di Pulau Jawa. Namun, di Nusantara, rasanya tidak ada sentra besar keris yang bertahan kecuali Aeng Tongtong.
Kemerdekaan itu sederhana. Bagi warga Aeng Tongtong, dapat melestarikan dan mengembangkan usaha keris itu sudah cukup.
Kepala Desa Aeng Tongtong Hadi Sudirfan yang juga perajin keris (empu) mengungkapkan, ada hampir 500 warga yang memiliki keterampilan membuat keris. Setiap bulan, dari Aeng Tongtong dikirim setidaknya 1.000 keris ke Nusantara, termasuk Malaysia dan Thailand.
Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman Pangeran Diponegoro Siap Dipamerkan

Kalangan warga yang berprofesi sebagai empu atau perajin keris Desa Aeng Tongtong, Sumenep, Pulau Madura, Jawa Timur, Senin (25/7/2022).
”Setelah ada Jembatan Suramadu dan media sosial, produksi keris semakin intens bahkan melayani banyak permintaan dari mancanegara, terutama Malaysia dan Thailand,” kata Sudirfan, cucu Empu Murka’, mendiang maestro keris Aeng Tongtong.
Sudirfan melanjutkan, kehidupan di Pulau Madura sebenarnya sulit karena alam yang kering dan tandus. Namun, kondisi alam itu menempa warga Nusa Garam menjadi pribadi yang kuat, gigih, sekaligus kreatif. ”Kemerdekaan itu sederhana. Bagi warga Aeng Tongtong, dapat melestarikan dan mengembangkan usaha keris itu sudah cukup,” ujarnya.
Kebudayaan
Menurut Bupati Pamekasan Baddrut Tamam, salah satu kepribadian orang Madura ialah menghormati orangtua, guru (ulama), dan pimpinan. Amat dikenal istilah bhuppa (bapak), bhabhu (ibu), ghuru, dan rato (pejabat). Selain itu, orang Madura memegang teguh nilai keagamaan atau keislaman, pemberani (bangalan), pekerja keras (cakang), serta berbudaya yang luhur dan unik.
”Kemerdekaan bagi orang Madura itu lebih pada aspek kemajuan dan pemajuan kebudayaan,” kata Baddrut. Meski sudah tersambung dengan Jawa melalui Suramadu, elektrifikasi, dan sentuhan teknologi informasi, tetapi Madura belum sampai pada perubahan signifikan karena industrialisasi.

Bupati Pamekasan Baddrut Taman seusai pelantikan di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jatim, Senin (24/9/2018).
Industri memang diarahkan untuk berkembang di Madura, tetapi yang diharapkan sesuai karakter dan kepribadian warganya yang religius dan masih berakar pada kreativitas seni budaya. Misalnya, industri pengolahan boga bahari atau hasil laut, industri ekonomi kreatif busana batik, ukir kayu, keris, dan pariwisata alam dan budaya.
Baca juga: Anak-anak Madura yang Cendekia Merenda Mimpi...
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura Surokim Abdussalam berpendapat, melihat Madura bukan dari indeks statistik yang notabene menguatkan persepsi ketertinggalan dalam banyak bidang dibandingkan dengan Jawa.
”Kemajuan Madura karena kebudayaan terutama modal sosial yakni jati diri dan harga diri sehingga mendayagunakan dari tidak mampu menjadi mampu, tidak terpelajar menjadi cendekia, minder menjadi percaya diri,” katanya.

Seorang pegawai Pemerintah Kabupaten Sumenep membersihkan pintu ruang utama Keraton Sumenep, Pulau Madura, Minggu (24/7/2022).
Namun, secara kritis, Surokim melihat perkembangan Madura tidak didukung oleh situasi secara politik struktural. Kondisi alam yang sulit memaksa sebagian orang pergi dan berketurunan di luar Madura. Mereka yang di tanah rantau rata-rata sukses dan menjadi kelas ekonomi menengah. Di Madura, kelompok ekonomi menengah ini tidak banyak sehingga masyarakat tidak terkonsolidasi.
”Tidak ada jembatan antara elite (ghuru dan rato) dan masyarakat. Peran kritis, pemantauan, pengawasan, kritik, dan pembaruan di banyak bidang tidak berjalan karena kelas ekonomi menengah kosong di Madura,” kata Surokim.
Kaum cendekiawan yang dianggap sebagai ghuru dan kaum pejabat atau rato berada di luar jangkauan dan tidak ingin keluar dari zona nyaman untuk memberdayakan seluruh masyarakat Madura menuju kemajuan dan kemakmuran.

Jembatan Suramadu saat malam hari, Sabtu (24/8/2013).
”Masyarakat tidak mendapat akses terhadap kebijakan, pendidikan, teknologi, investasi untuk kemajuan. Masyarakat menjadi norok atau mengikuti apa yang diutarakan patron atau elite,” kata Surokim. Warga Madura cenderung mudah digerakkan atau mobilisasi jika menyangkut hal-hal sensitif patron, yakni keagamaan dan harga diri.
Kemerdekaan mungkin bisa dilihat kembali sebagai upaya menumbuhkan dan menguatkan peran masyarakat kelas menengah sebagai kekuatan baru. Mungkin kekuatan baru akan tumbuh di dunia yang maju dengan usaha rakyat (Madura). Merdeka!