Mempersatukan Bolaang Mongondow dari Timur lewat Kebudayaan
Tak henti-hentinya semboyan orang Mongondow digaungkan malam itu, yakni ”mototompiaan”, ”mototabian”, ”bo mototanoban”. Artinya saling memperbaiki, saling menyayangi, dan saling mengingatkan.
”Kalau memang kita tidak bisa disatukan oleh politik, biarlah kebudayaan yang menyatukan kita. Jika mencintai kebudayaan, kita akan lebih mencintai tanah leluhur dan identitas sebagai orang Mongondow,” seru Sam Sachrul Mamonto, Kamis (21/7/2022), kepada para hadirin rapat paripurna di Kantor DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow Timur.
Ungkapan itu disampaikan oleh sang bupati pada hari yang istimewa. Sebab, Bolaang Mongondow Timur, daerah yang ia pimpin, genap berusia 14 tahun setelah mekar dari Kabupaten Bolaang Mongondow. ”Ibarat bayi, sekarang kabupaten ini sudah menginjak usia kedewasaan, semakin maju,” ujarnya lagi.
Tahun 2008 adalah kulminasi dari pemekaran di Bolaang Mongondow yang merupakan sebuah keniscayaan. Alhasil, satu kabupaten besar di sisi barat Sulawesi Utara itu mekar menjadi satu kota dan empat kabupaten, yaitu Kotamobagu serta Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Timur, Utara, dan Selatan. Sam Sachrul saat itu ikut berperan sebagai koordinator hubungan masyarakat tim pemekaran.
Kemudian, setidaknya, sejak 2013, pemekaran jilid kedua santer diwacanakan di kelima daerah itu. Kali ini bukan untuk membentuk kabupaten baru, melainkan provinsi, yakni Bolaang Mongondow Raya. Kini, Gedung bekas kantor Bupati Bolaang Mongondow di Kelurahan Kotabangon, Kotamobagu, bahkan telah ditetapkan sebagai calon kantor gubernur.
Rasanya luar biasa, enjoy. Harapan saya, tari Dana-Dana semakin dikenal hingga di luar Bolaang Mongondow Raya, dan Boltim (Bolaang Mongondow Timur) semakin dikenal sebagai tujuan pariwisata.
Namun, hal itu masih sebatas wacana. Sam Sachrul pun enggan membahasnya pada hari ulang tahun daerah yang ia kepalai. Angannya saat ini adalah membangun persatuan masyarakat Bolaang Mongondow Raya dari Bolaang Mongondow Timur. Kebudayaan ia yakini bisa menjadi mortar perekatnya.
Karena itulah, semarak kesenian tradisional langsung mewarnai perayaan hari ulang tahun Bolaang Mongondow Timur sejak pagi. Selepas upacara di kantor bupati yang terletak di Kecamatan Tutuyan, ribuan hadirin yang mengenakan baju adat Mongondow bersukaria dalam dendang tari Dana-Dana secara massal.
Baca juga: Dipelopori Pemuda, Bolaang Mongondow Timur Gelar Festival Kebudayaan Perdana
Lantunan nada bernuansa etnik dan berbahasa Mongondow yang musiknya telah termodernisasi mengiringi lenggang mereka. Terik matahari yang membakar hingga terasa nyelekit di kulit tak jadi kendala. Mereka tetap menari dalam semangat sambil tersenyum, baik yang berada di lapangan depan kantor bupati maupun di jalan lingkar yang mengelilinginya.
Asisten III Sekretariat Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Rusmin Mokoagow, memperkirakan tari massal itu diikuti oleh lebih kurang 4.000 orang. Sebanyak 2.300-an di antaranya adalah aparatur sipil negara (ASN) kabupaten, sedangkan sisanya merupakan gabungan dari perangkat 81 desa serta anak-anak sekolah di tujuh kecamatan.
Gerakan Dana-dana yang diperagakan sekilas tampak sederhana dengan langkah maju dan mundur yang ritmis, kemudian berputar ke arah sebaliknya, hampir seperti senam. Namun, jika diamati dari dekat, tarian itu ternyata cukup rumit karena setiap langkah harus seirama dengan lenggokan lengan.
Tak ayal hal ini membuat Zainal Arifin, pengawas sekolah di Dinas Pendidikan Bolaang Mongondow Timur, kewalahan. ”Karena saya orang dari luar daerah, dari Nusa Tenggara Barat, latihannya satu bulan lebih. Namun, walaupun sudah latihan, sangat sulit saya menyesuaikan dengan tari Dana-Dana yang ada di Bolaang Mongondow Raya ini,” ujarnya.
Kendati begitu, partisipasinya dalam tari massal ini menjadi pengalaman kebudayaan yang menyenangkan. ”Rasanya luar biasa, enjoy. Harapan saya, tari Dana-Dana semakin dikenal hingga di luar Bolaang Mongondow Raya, dan Boltim (Bolaang Mongondow Timur) semakin dikenal sebagai tujuan pariwisata,” katanya.
Sementara itu, Sri Rahayu Potabuga, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bolaang Mongondow Timur, juga merasa terkesan. Sebab, selama menjadi ASN, ini adalah kali pertama kegiatan tari Dana-Dana massal digelar hingga diikuti ribuan orang.
”Karena ini, kan, kebudayaan lokal, jadi kita harus lestarikan bersama. Apalagi, visi dan misi Pak Bupati (Sam Sachrul) sangat kuat di bidang kebudayaan dan pariwisata. Pariwisata harus ditunjang kebudayaan,” katanya.
Interpretasi
Diperkirakan, sejak ratusan tahun lalu, tari Dana-Dana telah menjadi bagian dari kesenian tradisional di wilayah eks-Swapraja Bolaang Mongondow. Pada masa kini, wilayah itu telah menjadi Kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Timur, dan Kotamobagu.
Sumitro Tegela, pegiat sejarah Bolaang Mongondow yang juga ketua Desa Adat Kopandakan di Kotamobagu, mengatakan, tari ini umum dipentaskan di komalig atau istana kerajaan serta dalam acara hajatan rakyat. ”Penarinya memeragakan gerak cepat dan lambat diiringi nyanyian pemetik gambus dan tiga penabuh gendang marwas,” katanya.
Bentuk tari Dana-Dana yang tradisional pun jauh berbeda dari yang diperagakan secara massal di kantor bupati Bolaang Mongondow Timur. Penari Dana-Dana biasanya hanya dua laki-laki. Menurut Sumitro, mereka tidak menari bersama penari perempuan karena pengaruh Islamisme di Bolaang Mongondow.
Adapun nyanyian yang dilantunkan pemetik gambus berisi pantun-pantun nasihat. ”Penari dan pemetik gambus harus saling menjaga komunikasi. Pada akhir tari ini, pemetik gambus akan memberikan semacam kode bahwa pantunnya telah selesai sehingga penari bisa menyesuaikan,” katanya.
Sementara Sumitro dan para pengurus Desa Adat Kopandakan pun masih mempertahankan bentuk tradisional ini, interpretasi Sam Sahrul terhadap tari Dana-Dana jauh berbeda dan cenderung modern. Menurut dia, tari ini adalah bentuk kesenian yang mempromosikan kebugaran dan kesehatan karena gerakannya yang lincah.
Namun, Sam Sachrul setuju dengan Sumitro bahwa tari Dana-Dana semakin terlupakan di masa kini. ”Makanya, kami mencoba menggali lagi potensi-potensi budaya kami, lalu dilakukan secara massal. Ini upaya kami untuk merekatkan sesama orang Bolaang Mongondow Raya melalui adat dan budaya,” ujarnya.
Kegiatan massal serupa sebenarnya bukan yang pertama. Maret lalu, ratusan anak sekolah dasar juga menari Dana-Dana dalam perayaan ulang tahun ke-68 Kabupaten Bolaang Mongondow di Kecamatan Lolak.
Namun, Sam Sachrul memiliki misi yang lebih jauh dari itu. Ia telah mengumumkan instruksi agar semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Bolaang Mongondow Timur menggelar senam Dana-Dana setiap Senin setelah apel pagi. ”Itu nanti seperti SKJ di zaman dahulu, Senam Kesehatan Jasmani,” katanya.
Baca juga: Sumitro Tegela, Bintara Penyelidik Sejarah Bolaang Mongondow
Dengan cara ini, ia berharap tari Dana-Dana bisa menjadi semakin membudaya di kalangan warga dari segala usia, bahkan diwariskan ke generasi muda di masa depan. Langkah ini juga ia nilai dapat menjadi alat promosi pariwisata budaya.
Namun, Dana-Dana saja ia nilai tak cukup. Pada malam harinya, Sam Sachrul juga menggelar sebuah festival budaya, yaitu Kabela Fest. Maka, di Lapangan Gogaluman Tutuyan, sebuah panggung besar berukuran 18 x 12 meter persegi didirikan untuk mementaskan kekayaan budaya Mongondow pada malam perayaan hari ulang tahun kabupaten itu.
Para seniman yang mengisi acara berasal dari beragam latar belakang kultural yang eksis di Bolaang Mongondow Raya, baik yang asli Mongondow maupun Gorontalo, Minahasa, bahkan Jawa. Teater dan musik pun dipentaskan dengan kekhasan daerah masing-masing, tetapi hampir semuanya berbahasa Mongondow.
Kabela ada di seluruh Bolaang Mongondow sehingga ini mencerminkan kesamaan kami. Ini juga simbol penghormatan kami terhadap budaya lain yang ada di Bolaang Mongondow Raya.
Vicky Mokoagow, Event Director Kabela Fest, menyebut format acara tersebut berasal dari filosofi kabela, yaitu kotak berisi sirih dan pinang yang diberikan kepada tetamu kerajaan semasa pemerintahan swapraja. ”Kabela ada di seluruh Bolaang Mongondow sehingga ini mencerminkan kesamaan kami. Ini juga simbol penghormatan kami terhadap budaya lain yang ada di Bolaang Mongondow Raya,” ujarnya.
Pada pengujung festival, semua orang pun semringah. Sam Sachrul pun berharap rancangan perayaan hari ulang tahun kabupaten yang disebut-sebut menelan ratusan juta rupiah itu dapat menjadi tonggak persatuan warga Bolaang Mongondow.
Tak henti-hentinya semboyan orang Mongondow digaungkan malam itu, yakni mototompiaan, mototabian, bo mototanoban. Artinya saling memperbaiki, saling menyayangi, dan saling mengingatkan.