Sumitro Tegela, Bintara Penyelidik Sejarah Bolaang Mongondow
Bagi Brigadir Kepala Sumitro Tegela (37), Bolaang Mongondow adalah permata zamrud yang redup. Sejarah dan perdabannya terlupakan, kekayaan budayanya tergerus zaman. Sumitro ingin menyuarakan eksistensi daerah itu.
Bagi Brigadir Kepala Sumitro Tegela (37), Bolaang Mongondow adalah permata zamrud yang redup. Sejarah dan perdabannya terlupakan, kekayaan budayanya tergerus zaman. Sumitro ingin jadi salah satu yang bersuara paling kuat menggaungkan eksistensi dan identitas daerah di antara Minahasa Raya dan Gorontalo itu.
Tak banyak polisi yang sekaligus merangkap jabatan ketua desa adat seperti Sumitro. Tak jamak pula seorang polisi memperoleh dana bantuan revitalisasi desa adat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berkat pengetahuan mendalam akan sejarah dan budaya tempatnya bertugas.
Dana bantuan itu turun pada 2019 dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud. Wujudnya kini adalah sebuah replika komalig, istana kayu Kerajaan Bolaang Mongondow, yang berdiri di kompleks kantor Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara sejak 2020. Desa tempat kelahiran Sumitro itu juga ditetapkan sebagai desa adat.
“Dari lima komalig yang pernah berdiri, yang tersisa hanya satu di Boroko, Bolaang Mongondow Utara. Jadi, dana yang didapat saya pakai untuk membangun replikanya dengan bantuan anak muda kampung yang arsitek. Bentuk aslinya memang tidak seperti ini, ada ruang khusus pertemuan dan kamar raja,” kata Sumitro, Selasa (4/5/2021), sambil menunjukkan komalig yang hanya punya satu ruangan besar itu.
Replika istana itu kini menjadi balai adat. Setiap dua pekan sekali, para tokoh masyarakat dan adat rutin berkumpul di sana untuk membicarakan hal-hal seputar pelestarian budaya. Pada setiap pertemuan juga, Sumitro yang menggeluti sejarah Bolaang Mongondow akan memaparkan fakta-fakta baru yang ia temukan.
Lain hari, komalig Desa Kopandakan menjadi sanggar seni untuk latihan beberapa tari khas Bolaang Mongondow, seperti dana-dana dan kabela. Diskusi sejarah dan budaya juga kerap digelar di sana oleh forum mahasiswa Kotamobagu. Tak jarang pula, mahasiswa ilmu budaya yang ingin meneliti atau membuat skripsi tentang Bolaang Mongondow datang berkunjung.
Baca juga:
Jonathan Dorongpangalo dan Everly Salikara, Mendunia dengan Disko Tanah
Dengan rupa-rupa atribut dan perkakas tradisional seperti lesung, tampah bambu, gambus, sampai replika singgasana raja yang diadakan dengan dana sendiri dan swadaya masyarakat, Sumitro ingin komalig itu berfungsi seperti museum kecil. “Saya buka akses seluas-luasnya untuk kegiatan sejarah dan kebudayaan Bolaang Mongondow di sini,” kata dia.
Di sela-sela tugas sebagai polisi, Sumitro kerap diundang sebagai pembicara di seminar dan dialog sejarah dan budaya. Undangan-undangan itu adalah kesempatan mengamplifikasi narasi tentang Bolaang Mongondow, dari tarian lokal hingga proses integrasi daerah itu ke Republik Indonesia antara 1948-1950.
Selama ini, lulusan Sekolah Polisi Negara Polda Sulut tahun 2004 itu memilih media sosial sebagai ruang untuk menggemakan diskursus soal Bolaang Mongondow. Di Facebook, ia membuat grup publik bernama “Historia Bolaang Mongondow Raya (Boelang En Mogondo)”. Mulai aktif pada 2017, grup itu telah beranggotakan 14.200-an akun. Dalam sepekan selalu ada dua hingga tiga tulisan baru.
Di grup itulah Sumitro intensif membagikan berbagai tulisan dan analisis, baik milik sendiri maupun orang lain, dengan disertai foto lawas serta gambar dokumen-dokumen terkait. Misalnya, dalam tulisan tentang larangan impor opium dan minuman keras ke lima kerajaan swapraja Bolaang Mongondow, Sumitro menyematkan tangkapan layar dokumen Staatsblad van Nederlandsch Indië 1898 yang ia temukan di situs arsip daring.
Metode itu selalu ia terapkan untuk setiap tulisan yang ia bagikan. Sumitro sadar dirinya tidak berlatar belakang ilmu sejarah. Jadi, ia memakai kemampuan seorang penyidik untuk memastikan keabsahan suatu fakta. “Saya ini polisi, tidak mungkin berbicara kosong tanpa mengantongi bukti-bukti otentik,” kata dia.
Saya ini polisi, tidak mungkin berbicara kosong tanpa mengantongi bukti-bukti autentik. -- Bripka Sumitro Tegela
Sumitro juga punya kanal YouTube dengan nama yang sama yang kini di-subscribe 1.940-an akun. Ia mengunggah berbagai konten kebudayaan daerah, dari pembahasan tentang tari dana-dana yang hampir punah hingga ritual pengobatan dengan tari motayok yang dipercaya melibatkan arwah-arwah leluhur.
“Berbagai temuan langsung saya upload ke medsos. Harapannya, makin banyak generasi muda lokal maupun dari luar daerah dan negeri yang mau meneliti tentang Bolaang Mongondow sehingga pengetahuan soal daerah ini makin berkembang,” kata dia.
Kurang diekspos
Mulanya, Sumitro tidak terlalu resah soal sejarah Bolaang Mongondow. Namun, antara 2007-2008 ketika menjadi ajudan Hanum Sugeha, ibunda mantan bupati Bolaang Mongondow, Marlina Moha Siahaan, rasa penasarannya mulai tumbuh.
Dari Hanum, yang masih keturunan Raja Abraham Sugeha, pemimpin Bolaang Mongondow 1880-1893, Sumitro mendengar cerita soal Raja Eugenius Manoppo (1767-1770) yang diasingkan ke Pulau Robben, Afrika Selatan. Ia juga mendengar cerita tentang keturunan kerajaan pada masa awal kemerdekaan.
Baca juga:
Avan Fathurrahman, Guru yang Blusukan di Tengah Pandemi
“Itu mendasari kekhawatiran saya. Bolaang Mongondow pernah jadi kerajaan yang teritorinya diakui dunia internasional. Tetapi hari ini Bolaang Mongondow tidak terekspos. Jadi saya mencoba mencari sumber lisan, kemudian di internet mulai (dekade) 2010-an,” kata dia.
Bolaang Mongondow yang sudah ada sejak 1400-an adalah swapraja terakhir yang berdiri di Sulawesi. Selama penjajahan, raja-raja Bolaang Mongondow tak pernah jadi subordinat pemerintah kolonial Belanda, layaknya Kesultanan Aceh dan Kesultanan Ngayogyakarta. Baru pada 1950, dewan raja-raja federasi empat wilayah di sana membubarkan kerajaan untuk bergabung dengan Republik Indonesia Serikat.
Namun, arsip dan catatan soal Bolaang Mongondow justru kebanyakan didapat dari luar negeri, terutama Belanda dan Swedia. Kini, nama Bolaang Mongondow malah tak jadi bahasan di buku sejarah sekolah dasar dan jarang terdengar di pemberitaan nasional.
Dampaknya terasa hari ini. Sumitro mengatakan, lima kabupaten/kota di wilayah Bolaang Mongdondow Raya tertinggal dalam pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur dari tetangga seprovinsi, Minahasa Raya.
Ia mencontohkan, keberadaan universitas di Sulut sangat terkonsentrasi di Manado dan sekitarnya yang terpaut 200 kilometer dari Kotamobagu. Indeks pembangunan manusia di empat kabupaten Bolaang Mongondow Raya pun hanya berkisar 65,00-67,89, di bawah rata-rata Sulut 72,93. Hanya Kotamobagu (72,97) yang sedikit di atas rerata provinsi.
Bagi Sumitro, ini dikarenakan pemerintah tak menjadikan sejarah sebagai rujukan dalam proses bina negara (state building). Wacana pendirian Provinsi Bolaang Mongondow Raya yang kini terus digulirkan, kata Sumitro, tidak lebih dari sekadar hasrat warga untuk membangun daerahnya.
Sebagai pegiat sejarah, Sumitro menilai hak otonomi daerah telah dijamin oleh undang-undang dan negara wajib memberikan. “Apalagi, negara punya utang terhadap Bolaang Mongondow, yang bersedia bubar untuk bergabung ke Indonesia. Tapi, bicara dalam kapasitas sebagai anggota Polri, keputusan itu ada pada pemerintah pusat,” kata dia.
Apa yang Sumitro lakukan hari ini adalah membangun kesadaran identitas dan politik sebagai orang Bolaang Mongondow dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Media sosial lah yang ia pilih sebagai ruang menggemakan wacana dan pengetahuan soal Bolaang Mongondow.
“Kalau dengan cara yang terlalu ilmiah, susah menjangkau kalangan awam di bawah. Padahal, kesadaran akan identitas dan politik paling mendesak di kalangan awam,” kata Sumitro, yang selalu yakin sejarah akan menuntun bangsa menuju kehidupan yang lebih baik.
Bripka Sumitro Tegela
Lahir: Desa Kopandakan, Bolaang Mongondow (sekarang Kotamobagu), 12 Februari 1984
Pendidikan: Sekolah Bintara, Sekolah Polisi Negara Polda Sulut (2004)
Istri: Sindy Hindaya Modeong (35)
Anak: Suci Inayah Tegela (14), Silvio Aryasatya Tegela (10)
Pekerjaan: Anggota Satuan Reserse Narkoba Polres Kotamobagu