Buku-buku yang sebelumnya ditinggalkan kini mulai dibaca lagi oleh warga Kota Medan, berkolaborasi dengan perjamuan di kedai kopi ataupun restoran dan media sosial.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Kafe-kafe berbasis literasi menemukan nyawanya di Kota Medan. Buku-buku yang sebelumnya sempat ditinggalkan karena gencarnya serangan tren bermedia sosial kini mulai dibaca lagi oleh warga kota. Dalam buku, mereka menemukan hiburan, pengetahuan, juga ketenangan yang dapat menjadi penyeimbang dari keriuhan dunia maya. Terlebih ketika membaca buku di kafe yang nyaman. Kafe, buku, dan media sosial menjadi bagian dari peradaban warga kota yang tengah tumbuh berkembang.
Sejumlah pengunjung berdiskusi tentang berbagai topik di Literacy Coffee, Jalan Jati II, Medan, Sumatera Utara, Kamis (21/7/2022). Jhon Fawer Siahaan (34), pendiri Literacy Coffee, sibuk membuat kopi dan menemani pengunjung berbincang. Di kafe itu, rak berisi buku berjejer di beberapa ruangan.
”Ini buku-buku koleksi saya yang umumnya bertema sejarah Sumatera dan sejarah Batak. Buku ini menjadi salah satu daya tarik di kafe saya,” kata Jhon.
Jhon memiliki lebih dari 500 judul buku. Sudah 10 tahun ia mengoleksi buku itu sejak lulus kuliah pada 2012. Buku itu pun menjadi daya tarik utama di kafe itu. Berbagai organisasi dan komunitas pun rutin melaksanakan diskusi di sana.
Selain itu, banyak juga mahasiswa datang ke kafenya untuk melengkapi literatur penelitian skripsi, tesis, dan disertasi. Beberapa buku penting yang sudah langka menjadi koleksi Jhon, seperti Sejarah Batak yang ditulis Batara Sangti dan Tuanku Rao oleh Mangaradja Onggang Parlindungan.
Jhon juga menyimpan buku berjudul Bataksch Leesboek, Tobasch, Mandailingsch, en Dairi SCH (1862) terbitan Amsterdam yang ditulis HN Van Der Tuuk. Buku itu termasuk buku pertama yang semua isinya dicetak dalam aksara Batak, kecuali sampul.
Jhon juga aktif di media sosial. Diskusi-diskusi di kafe itu disiarkan secara langsung di berbagai akun media sosial Literacy Coffee. Pada Kamis (21/7/2022) malam, beberapa organisasi mendiskusikan topik ”Ruang Bicara Publik, Revisi Rancangan Undang-Undang KUHP Aturan atau Ancaman?”.
Beberapa organisasi, seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumut dan Komite Nasional Pemuda Indonesia Sumut mengisi diskusi itu. Diskusi itu juga diikuti sejumlah peserta di media sosial.
Spirit Book and Coffee juga punya konsep yang memadukan kafe, buku, dan media sosial. Jika Literacy Coffee punya banyak koleksi buku sejarah, Spirit Book and Coffee hampir semuanya diisi buku novel dan komik. Ribuan buku itu disusun memenuhi semua ruangan kafe sederhana berukuran sekitar 4 meter x 6 meter.
”Taman bacaan ini mulai hidup kembali setelah saya padukan dengan kafe dan mempromosikannya melalui media sosial,” kata Simon Simanjuntak, pendiri Spirit Book and Coffee.
Simon mendirikan taman bacaan sejak 2006 untuk menyasar mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Beberapa tahun setelah membuka taman bacaan, ia bisa menyewakan 300-500 buku dalam sehari.
Simon bisa menghabiskan uang Rp 8 juta untuk membeli buku baru setiap bulan. Tidak ada pekerjaan membersihkan buku dari debu waktu itu karena sirkulasi peminjaman berjalan lancar.
Namun, budaya membaca komik dan novel pun redup seiring dengan munculnya media sosial. ”Mahasiswa-mahasiswa punya hiburan baru. Tidak banyak lagi yang menyewa buku,” kata Simon.
Pengunjungnya sekarang tidak lagi mahasiswa, tetapi para pekerja yang memang hobi membaca karya-karya fiksi.
Simon sempat hanya bisa menyewakan sekitar dua buku setiap hari. Kadang-kadang, tidak ada yang menyewa bukunya. Di tengah keadaan itu, timbul idenya untuk membuka kafe di taman bacaan. Simon memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan buku dan kopinya.
Para pengunjung pun mulai berdatangan dan mulai ada lagi peminjam buku. Namun, pengunjungnya sekarang tidak lagi mahasiswa, tetapi para pekerja yang memang hobi membaca karya-karya fiksi.
Vegan dan buku
Suasana taman bacaan juga sangat kental di Restoran Socrates Vegan di Jalan Airlangga, Medan. Begitu membuka pintu restoran, rak-rak buku lansung menyambut. Ribuan buku disusun di lantai satu dan lantai dua restoran itu. ”Ini buku-buku koleksi saya. Buku ini menjadi daya tarik restoran,” kata Benny Arron Martjius, pendiri Restoran Socrates Vegan.
Pengunjung restoran itu umumnya adalah para vegan, termasuk juga ekspatriat. Pada Senin (18/7/2022) malam, beberapa pengunjung tampak melihat dan membaca sekilas buku-buku di sana sebelum menyantap hidangannya.
Benny mendirikan restoran vegan itu sejak 2005. Sejak awal restoran didirikan, buku-buku itu sudah menjadi daya tarik di sana. Buku koleksinya umumnya adalah buku pengembangan diri, filsafat, dan desain interior. Banyak buku koleksi yang digemari pengunjungnya, salah satunya adalah buku Rhenald Kasali berjudul Change.
Buku-buku di sejumlah kafe dan restoran itu kini semakin digemari pengunjung. Lewat buku, pengunjung kafe mendapat hiburan, pengetahuan, juga ketenangan, bahkan kawan baru untuk berdiskusi atau sekadar mengobrol. Menyesap kopi sembari membaca buku menjadi keseimbangan baru sebagian warga kota yang selama ini begitu terpengaruh oleh riuh rendah berbagai isu yang disuguhkan media sosial.
Buku, kafe, dan media sosial pun menjadi bagian dari peradaban kota metropolitan Medan.